Menjelang sore, Lea baru bangun dari tidur nyenyaknya. Begitu bangun, beberapa pelayan wanita yang telah menunggu Lea bangun segera menarik Lea untuk mandi serta mengenakan gaun sutra merah marun yang sangat cantik dan telihat begitu cocok berpadu dengan kulit putih s**u Lea. Tapi Lea rasa jika gaun tidur ini terlalu tipis baginya. Karena Lea tak mengenakan pakaian dalam, Lea merasakan angin malam tampak menyapu kulitnya secara langsung. Ah ini gara-gara peraturan singa m***m itu! Leon memang memberikan peratuan khusus baginya, agar tak mengenakan pakaian dalam ketika saanya tidur.
Leon sendiri menjelaskan jika bagi wanita dewasa tidur mengenakan pakaian dalam berupa bra, akan memberikan efek negatif di kemudian hari. Jadi, Leon melarang Lea tidur menggunakan bra demi kesehatan Lea sendiri. Menurut Leon, karena dirinya baik, makanya Leon meminta Lea untuk tidak menggunakannya saat akan tidur. Ah maksudnya, memerintah Lea. Tapi demi apa pun, Lea tahu bukan itu alasan sebenarnya dari tingkah Leon itu. Ini hanya akal-akalan otak mesumnya itu.
Setelah makan malam, Lea hanya duduk di tepi ranjang dan menatap jauh pada dinding kaca yang gordengnya belum ditutup, sesuai dengan yang Lea minta. Dalam pandangan kaburnya, Lea larut dalam lamunan. Kehidupannya sekarang memang terlihat lebih baik. Ia makan makanan mewah yang lezat tiap harinya. Lalu gaun-gaun indah bisa Lea kenakan setia saat. Kehidupan yang jelas lebih baik daripada kehidupannya dulu. Tapi Lea sama sekali tidak merasa bahagia dengan semua ini.
Ya dengan semua kemudahan dan kemeawahan ini, Lea tetap tak mau hidup di sini. Selain karena Leon yang selalu bertindak kurang ajar dan mengusik harga dirinya sebagai seorang perempuan, ada alasan lain. Alasan yang terasa konyol, tapi memang benar adanya. Karena Lea merindukan senyum lembut Dante. Ia ingin melihat Dante. Ia juga merindukan suara Dante yang selalu berhasil membuatnya tenang disetiap kesempatan. Lea membaringkan dirinya dan meringkuk bak janin dalam rahim ibunya.
Aku baru sadar, jika rasa rindu bisa terasa seberat serta sesesak ini. Apa di sana kau juga tengah memikirkanku? Merindukanku seperti ini? Dante aku merindukanmu. Aku bahkan sudah terbiasa memanggilmu dengan nama saja. Jika kita kembali dipertemukan oleh Tuhan, aku tidak akan malu-malu lagi memenuhi keinginanmu untuk memanggilmu dengan namamu saja. Dante, aku benar-benar merindukanmu.
Lea menggigir bibitnya. Ini terlalu sesak. Rindu ini membuatnya sesak. Rindu ini terlalu menyiksa. Apa kamu juga merasa tersiksa seperti ini Dante? Atau apakah kamu sudah melanjutkan hidupmu kembali dan melupakanku?
Lea tersentak saat merasakan lehernya dikecup dan dihisap lembut. Ia segera mencoba untuk bangkit dari posisinya, tapi yang ada kini dirinya ditindih oleh sosok yang sebenarnya tak ingin Lea temui. Siapa lagi jika bukan Leon si berengsek m***m yang selalu memiliki ide gila yang sialnya selalu saja terasa sangat m***m. Belajar dari pengalaman, Lea tak berontak dan hanya berbaring diam. Membiarkan Leon setengah menindih dirinya. Tentu saja Lea tidak mau membuat Leon marah dan mendorongnya bertindak lebih gila.
“Kau sedang memikirkanku,” ucap Leon dengan kepercayaan diri yang terdengar begitu jela. Tentu saja, hal itu membuatnya ingin tertawa saat ini juga.
Lea mencibir dalam hati, Dasar pria m***m yang narsis! Apa kau tidak malu mengatakan hal itu padaku? berkacalah, memangnya kamu pantas aku pikirkan? Lagi, memangnya apa yang perlu aku pikirkan tentangmu? Apa maksudmu memikirkan kemesumanmu itu? maaf saja, aku bukan wanita seperti itu.
Lea tak berniat untuk menjawab dan memilih untuk menatap langsung mata hijau bening milik Leon. Meski dalam kekaburan, Lea tetap terpesona. Sayang sekali mata seindah itu dimiliki pria tak berperasaan seperti Leon. Ya, Tuhan. Seharusnya, Engkau tidak memberikan ketampanan dan keindahan seperti ini pada seseorang yang jahat seperti Leon.
“Saat ini, aku akan menagih janjimu,” ucap Leon tiba-tiba.
“Maksudmu?” tanya Lea kebingungan. Tentu saja bingung. Leon tiba-tiba mengatakan hal yang tidak dimengerti olehnya.
Leon menyeringai dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sebelum memperdengarkan rekaman perkataan Lea saar kondisinya setengah sadar. Mendengar rekaman itu, punggung Lea terasa dingin. Sepertinya ia telah menginjak ranjau yang sangat berbahaya, dan mengancam kelangsungan hidupnya. Ya, Leon memang telah menebar ranjau dan Lea telah masuk ke dalam ranjau tersebut. Sialan.
“Kau mendengarnya, bukan? Kau berjanji akan menjadi milikku seutuhnya, maka malam ini juga aku akan menagihnya,” ucap Leon yang kini mulai merabai tubuh Lea.
Lea bukan gadis yang bodoh, ia mengerti apa yang dimaksud oleh Leon. Ia segera menahan tangan Leon, dan menatap dengan penuh permohonan. “Aku mengatakan hal itu dalam keadaan setengah sadar, jadi kumohon beri aku keringanan,” ucap Lea sembari menampilkan ekspresi memohon yang amat sangat.
Sayangnya Leon sama sekali tidak tersentuk karena hal itu. Leon malah terkekeh senang. “Jangan pikir aku melakukan ini karena janjimu itu. Aku melakukan ini karena aku ingin, dan karena pada dasarnya kaumemang telah menjadi milikku. Janji itu hanya untuk mengikatmu lebih erat, karena sadar atau tidak ada banyak nyawa yang telah kau ikat dalam janji ini. kini, kau yang akan menentukan keselamatan nyawa-nyawa itu.”
“A-apa maksudmu?” tanya Lea ketakutan. Lea sudah tahu lebih dari cukup bagaimana karakter Leon. Pria ini gila, dan dia tidak segan-segan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Leon mendekatkan wajahnya pada Lea. “Aku, Leone de Mariano. Pemimpin klan Potente Re. Moto klanku adalah Omerta. Artinya, wajib untuk tutup mulut dan menuntut kesetiaan penuh. Pengkhianatan dalam bentuk apa pun akan membawa mala petaka. Aku tahu dirimu hingga hal terkecil, Lea. Ah apa aku perlu memanggil nama lengkapmu, Alea Dewi?” Leom menyeringai saat melihat tubuh Lea yang bergetar hebat saat dirinya memanggil Lea dengan nama lengkapnya.
“Aku tahu mengenai kecelakaan yang membuatmu cedera parah. Aku juga tahu keluargamu yang berada di panti asuhan. Ah banyak sekali anak kecil yang menggemaskan di sana. Aku yakin satu buah bom dengan daya ledak kecil saja, akan berhasil memporak-porandakan bangunan itu. Bagaimana pendapatmu Lea? Apakah aku harus melakukannya?” tanya Leon dengan nada yang terkesan main-main. Tapi Lea tahu jika Leon tidak tengah bermain-main.
Lea tentu saja merasa takut dengan ancaman Leon tersebut. Tapi Lea tidak boleh jatuh pada ranjau yang kembali ditebar Leon. “Kamu pikir aku akan percaya dengan apa yang kamu katakan? Bisa saja kau hanya memberikan gertakan palsu.”
“Ah benarkah? Bagaimana kalau kau mendengar ini?”
Dalam kekaburan, Lea melihat jika kini Leon tengah mengotak-ngatik ponselnya. Dan beberapa saat kemudian Lea mendengar sebuah suara. “Kalian harus bersikap baik. Nanti jika Kak Lea kembali, dia tidak akan pergi dari sini karena merasa kesal sebab kalian sering nakal.”
“Ini adalah rekaman dari kamera yang kusebar di bangunan panti asuhan itu. selain memasang kamera untuk mengawasi, aku juga sudah menyimpan orang-orangku di sana. Ketika aku sudah memberikan satu kode saja, maka puft! Maka bom yang kutanam di bawah bangunan itu akan meledak dan menghancurkan semuanya.”
Beberapa saat kemudian, Lea bisa mendengar suara anak-anak kecil yang memang tinggal di panti asuhan itu. Tidak, apa yang dikatakan oleh Leon sebelumnya bukanlah gertakan semata. Jika Leon memang sudah sampai mengawasi panti sampai seperti itu, bukan hal yang tidak mungkin jika kini sebuah bom memang tertanam di bawah bangunan panti.
“Lea, jika kau bisa melihat, kini aku sedang memperlihatkan di mana letak bom yang kuletakkan. Tapi mengingat dirimu yang tumbuh besar di bangun tersebut, aku rasa kau akan tahu jika mendengar sedikit saja penjelasan dariku. Aku meletakkannya di bawah lantai kayu ruang bermain. Ah sepertinya kini anak-anak tengah menghabiskan waktunya di ruangan bermain itu. Apa mungkin, aku ledakkan saja bom itu saat ini juga.”
Lea yang sejak tadi tengah menangis dengan tubuh bergetar hebat, menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia menggenggam tangan Leon yang tengah menyentuh pipinya. “Jangan, aku mohon jangan. Mereka sama sekali tak memiliki kesalahan.”
“Maka bersikap baik, buat aku senang dan semuanya akan baik-baik saja. Sekarang cium aku,” ucap Leon sembari menundukkan kepalanya. Lea melarikan tangannya menuju wajah Leon dan mulai menyentuhnya untuk memastikan letak bibir Leon. Lea harus berani, ini demi adik-adiknya di panti.
Begitu bersentuhan, Leon tampak tak bisa menahan diri untuk mengambil alih dan mengulum bibir lembut Lea dengan kasar. Lea sendiri kembali terisak. Menangisi nasibnya yang menyedihkan. Kenapa tak banyak hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Apa karena sikapnya selama ini tak pernah baik? Apa karena dirinya telah memiliki dosa yang terlalu banyak?
“Ahh …,” Lea mengerang saat Leon menyentuh dadanya. Saat itulah Lea tersadar dan menggeleng panik.
“Ti-tidak Leon. Aku tidak mau. Aku tidak mau membuat dosa yang lebih besar,” mohon Lea dan menahan d**a Leon untuk tidak menindih tubuhnya yang mungil.
“Aku baru saja merasa sedikit senang dengan sikap menurutmu. Tapi sekarang, kau malah kembali melakukan hal yang membuatku marah,” ucap Leon tajam. Sungguh dirinya tidak senang dengan penolakan Lea ini. Seharusnya Lea tetap bersikap manis, dan tidak membuatnya kesal seperti ini. Apa mungkin Lea sudah bosan hidup?
Lea meringis saat rahangnya kembali dicengkram kasar. “Apa yang tadi kamu katakan? Tidak mau berbuat dosa? Sayangya, aku sangat senang membuat dosa. Salah satu hobiku adalah menambah tabungan dosaku. Jadi, mari kita buat dosa bersama. Ini akan terasa sangat menyenangkan.”
Lea tetap menggeleng. “Tidak. Aku tidak mau. Jika kamu melakukan hal itu padaku, kamu sama saja membunuhku. Silakan lakukan itu, dan aku pastikan kamu akan menemukan mayatku keesokan harinya.”
Sungguh, Leon tidak merasa senang saat Lea mencoba untuk bernegosiasi bahkan mengancamnya seperti ini. “Apa sekarang kau sedang mengancamku? Dan kau pikir aku akan percaya dengan apa yang kau katakan?” tanya Leon dengan suara yang mendesis penuh amarah.
“Kamu sendiri tahu, apa sekarang aku tengah bercanda atau tindak?” tanya Lea dengan suara yang tegas.
Leon sendiri bisa melihat dengan jelas, jika netra hitam Lea menatap dengan penuh keteguhan. Bisa dipastikan jika Lea pasti akan melakukan apa yang telah ia katakan. Gila memang, tapi Leon yakin Lea bisa melakukan hal gila itu jika sudah didorong oleh kenekatan dan putus asa. Jika sudah seperti ini, tidak ada pilihan lain, selain mengikuti permainan yang telah dimulai oleh Lea.
Leon bangkit dari tubuh Lea. “Jangan bergerak dari atas sana, atau aku akan menghancurkan panti asuhan itu saat ini juga.”
Lea menurut, tapi telinganya bekerja dengan tajam untuk mendengar apa yang sedang terjadi. Tapi Leon yang kini tengah berbicara dengan seseorang menggunakan ponselnya, tidak menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Leon menggunakan bahasa Italia yang belum Lea mengerti dengan sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian, Leon menarik Lea untuk duduk dan segera mengenakan jubah tidur yang halus untuk menutupi gaun tidur Lea yang tipis. “Kau tidak mau melakukan dosa, bukan? Maka aku akan melakukannya dengan bersih. Dan kau tidak perlu takut dengan dosa yang akan kau lakukan.”
Tak lama, Lea sadar jika pintu terbuka da nada beberapa orang masuk ke dalam kamar pribadi Leon tersebut. jika salah satunya bisa dikenali oleh Lea sebagai Ken, maka yang satu lagi tak bisa Lea kenali. Dengan pandangannya yang memburam, Lea hanya bisa menangkap jiak itu adalah seorang pria yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, serta membawa sebuah kitab pada tangannya. Terlihat seperti seorang pendeta, tapi juga berbeda dengan pendeta yang sering Lea lihat.
“Lakukan sekarang,” ucap Leon pada Ken.
Setelah itu, Lea bisa mendengar jika Ken berbicara pada pria asing itu menggunakan bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh Lea. bahasa yang sebenarnya tengah Lea pelajari selama seminggu ini. sayangnya, ilmu Lea masih sangat rendah hingga dirinya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Apalagi keduanya bicara dengan cepat, hingga Lea sendiri tidak bisa menangkap denga detai satu persatu perkataan yang mereka ucapkan. Pada akhirnya yang Lea dengar hanya suara seperti orang yang tengah berkumur-kumur.
Beberapa saat kemudian, Leon duduk di tepi ranjang tepat di samping Lea. Lalu semuanya berjalan tanpa bisa dimengerti oleh Lea. Kepala Lea dan Leon disentuh oleh pria itu dan ia menggumamkan sesuatu yang tetap tidak Lea mengerti. Pria itu selesai berguman dan melihat pada Leon seakan-akan tengah bertanya dan mempersilakan Leon untuk menjawab pertanyaannya. Beberapa saat kemudian, Leon berbicara menggunakan bahasa asing kembali. Lalu Leon meremas tangannya dan berkata, “Lakukan seperti yang aku lakukan, atau bom itu akan meledak saat ini juga.”
Lalu di bawah ancaman Leon, Lea mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Leon. Setelah Lea menyelesaikan ucapannya, rupanya Lea mendapatkan sebuah firasat buruk. Apalagi saat tangannya di raih oleh Leon. Lea dipaksa untuk memegang bolpoint dan Leon berkata, “Tanda tangan.”
“Untuk apa? Aku tidak mau membubuhkan tanda tangan tanpa tahu berkas apa yang aku tanda tangani,” ucap Lea sembari melirik kertas yang yang diperintahkan oleh Leon untuk ditandangani. Sayang sekali pandangan Lea buram, dan dirinya sama sekali tidak bisa melihat tulisan yang berada di atas kertas putih tersebut.
“Aku hanya memerintahkanmu untuk menandatangi, bukan bertanya. Lakukan saja, atau kau akan mendengar jerit menyedihkan adik-adik kecilmu di panti asuhan,” ucap Leon tajam.
Lea menggigit bibirnya. Ia tak bisa melawan Leon jika pria itu sudah menggunakan anak-anak panti sebagai ancamannya. Pada akhirnya Lea membubuhkan tanda tangannya di tempat yang ditunjukkan oleh Leo. Tak lama, Ken dan pria asing itu ke luar serta tinggallah Lea dengan Leon di kamar luas itu lagi.
“Kalau begitu, kita bisa melanjutkan apa yang tertunda tadi,” ucap Leon lalu menerkam Lea tanpa permisi.
Lea memekik saat Leon tiba-tiba mendorongnya dan jatuh terbaring di atas ranjang. Leon memaksa untuk melepas jubah dan gaun tidur Lea. hal itu tentu saja ditolak oleh Lea. Ia tidak mau sampai Leon melihat tubuh telanjangnya.
“Apa yang kau lakukan Lea? apa kau benar-benar ingin melihat semua orang yang kau sayangi mati?” tanya Leon keras.
“Aku tidak mau. Tapi aku juga tidak mau membuat dosa.”
“Dosa apa yang kau maksud? Kita tidak akan berbuat dosa apa pun. Kita hanya akan bersenang-senang.”
“Tapi bersenang-senang yang kamu maksud adalah berbuat dosa. kita bukan suami istri, dan kita tidak boleh melakukan hal buruk itu.”
Leon tertawa keras. tangannya terulur dan mengusap lembut pipi Lea. “Hei, kita baru saja mendapatkan pemberkatan dan mendatangani berkas pernikahan. Kini kita sudah resmi menjadi suami istri. Jadi, bukanlah dosa jika sepasang suami istri melakukan percintaan yang panas di atas ranjang.”
Lea tertegun. “A-apa?”
“Sayang sekali, kau sama sekali tidak belajar dari pengalaman. Seharusnya kau lebih berhati-hati, Lea. Karena salah satu langkah saja, sudah dipastikan kau akan jatuh terperosok pada jurang yang dalam.”
Lea menggigit bibirnya. Tidak. Apa yang sebenarnya yang ia lakukan. Tidak mungkin. Tidak mungkin jika dirinya kini sudah berstatus sebagai istri dari pria jahat ini. “Apa pun yang kau pikirkan saat ini, aku tidak peduli, Lea. hal yang aku inginkan saat ini adlaah, kau harus menyerahkan dirimu sepenuhnya padaku. Karena kini, aku benar-benar sudah memilikimu.”
Tanpa bisa menolak. Lea benar-benar jatuh dan menjadi milik Leon seutuhnya. Malam itu, dengan sentuhan berpengalaman Leon, Lea kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, sekaligus mengenal sesuatu yang baru. Sesuatu itu tak lain adalah sensasi aneh yang membuatnya melayang ke awang-awang dengan begitu hebatnya. Lea sendiri tidak mengerti. Padahal awalnya terasa sangat menyiksa karena terasa sakit, tapi kenapa pada akhirnya sensasi menakjubkan itu yang terasa?
Sensasi itu pula yang sukses membuatnya begitu lelah. Saat ini saja, Lea terengah karena begitu lelah. Tangan Lea mulai mengusap kedua matanya berulang kali, dan baru berhenti saat Leon menahan keduanya. “Mengantuk?” tanya Leon lembut.
Lea hanya mengangguk dengan kedua matanya yang menyorot sayu. Leon mencium pipi Lea lalu berbisik, “Tidurlah. Untuk malam ini cukup sampai di sini. Persiapkan dirimu untuk hari-hari berikutnya, yang kupastikan akan lebih panas daripada malam ini.”
Lea tak bisa mendengar suara Leon dengan jelas, karena dirinya telah terlebih dahulu terlelap dalam buaian lembut Leon. Dalam tidurnya, Lea menangis dan menyesali keputusannya. Keputusan yang pada akhirnya membuatnya tak akan lagi bisa bersama dengan Dante, sosok yang telah menempati hatinya.