Si Berengsek Gila

2561 Kata
    Lea berubah. Tatapannya yang biasanya selalu dipenuhi dengan binar indah setiap kali menatap dunia, kini tampak kosong tanpa harapan. Hal tak lepas dari  semua luka yang melukai jiwa dan raganya. Ya, Lea terluka. Tiap harinya, luka yang baru kembali tergores pada luka lama yang belum tersembuhkan. Sayangnya penyebab luka ini, tampaknya tak pernah merasa bersalah. Ya Leon sama sekali tak merasa bersalah, dan mungkin tak akan pernah merasa bersalah.     Dua minggu, dua minggu yang begitu menyiksa bagi Lea. Tiap malamnya Leon akan tidur bersamanya. Tidur, setelah berhasil memporak-porandakan tubuhnya, dengan segala cara dan idenya yang selalu berujung pada pelecehan padanya. Sebenarnya, jika dipikirkan hal yang terjadi bukan lagi sebagai pelecehan karena Leon hanya meminta haknya sebagai suami pada Lea. Ya, Leon adalah suami Lea.     Sayangnya, Lea sama sekali belum menerima statusnya sebagai istri dari Leon. Ada perasaan tidak rela ketika setiap paginya Lea akan terbangun dengan aroma khas yang menempel di tubuhnya. Aroma yang selalu berhasil membuatnya mual sepanjang hari. Lea bahkan harus menghabiskan waktu hampir satu jam di kamar mandi untuk meghilangkan jejak-jejak menjijikan yang ditinggalkan Leon itu.     Tetapi seberapa pun Lea berusaha, jejak-jejak keunguan yang menghiasi kulitnya sama sekali tidak bisa dihilangkan. Yang ada, usaha Lea untuk menghilangkan semua itu hanya membuat luka baru pada kulitnya. Kulit Lea memerah karena iritasi dan lecet. Terasa begitu perih ketika terkena air. Tapi luka itu mengalahkan luka yang mendera jiwanya. Lea merasa hati nuraninya dibunuh dengan kejamnya. Lea memang melakukan semua ini demi orang-orang yang ia cintai, tapi ternyata hati Lea tidak sepenuhnya bisa menerima imbas dari keputusan yang telah ia ambil.     Lea sungguh tersiksa. Lea tersiksa dengan pikirannya sendiri. Kini Lea menilai jika dirinya ini telah kotor. Begitu kotor karena telah memperbolehkan seorang pria yang tak ia kenali dengan baik, untuk menyentuhnya. Walaupun sebenarnya pria itu sudah berstatus sebagai suami Lea sendiri, Lea tetap merasa kotor. Hal itu terjadi karaena dirinya tidak mau menerima statusnya. Lea tidak bisa mengikhlaskan apa yang telah terjadi.     Lea meringkuk di atas sofa yang berada di kamarnya. Kini dirinya tampak sangat menyedihkan dengan rambut hitam yang tergerai setengah basah, serta gaun tidur putih yang ia kenakan. Lea memang baru saja selesai mandi dan memilih menenggelamkan diri dalam lamunannya. Toh selama ini, Lea tidak memiliki pilihan selain tetap berada di kamar karena Leon memant tidak pernah mengizinkan Lea untuk melangkah ke luar dari kamar.     Sudah tiga hari Lea tidak makan dan minum, semua makanan yag dikirim pelayan selalu Lea buang ke closet. Alhasil, kini tubuh Lea benar-benar lemas. Perutnya bahkan terasa sangat sakit, tapi Lea tak peduli. Ia hanya berniat memberikan kejutan saat Leon pulang dari perjalanan bisnisnya selama lima hari. Lea berharap dua hari ke depan dirinya telah menjadi raga yang tak bernyawa.     Lea bisa membayangkan, betapa terkejutnya Leon yang ketika pulang nanti hanya menemukan mayatnya. Membayangkannya saja sudah sangat menghibur. Bibir Lea tertarik menjadi sebuah senyuman, tapi air mata Lea tampak menetes. Sepertinya Lea tidak sadar, jika apa yang ia lakukan saat ini sungguh tidak masuk akal. Lea mencoba melukai dirinya sendiri demi melukai Leon. Padahal belum tentu hal yang Lea lakukan ini akan melukai Leon.     Lea sendiri sadar, jika semua orang yang melihatnya seperti ini pasti mengira bahwa dirinya gila. Ah mungkin Lea memang telah gila, karena sebuah kemungkinan yang membebani hatinya. Kemungkinan bahwa kini tak ada lagi kesempatan baginya untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang ia sayangi, terutama Dante.     Sekalipun Tuhan berbaik hati dan memberikannya kesempatan untuk bertemu dengan Dante, Lea  tak yakin jika ia akan mengambil kesempatan itu. Karena kini keberadaan Lea bak sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja, saat sang pemegang kendali menginginkannya. Salah-salah, langkah yang Lea ambil bisa membuat orang-orang disekitarnya terancam keselamatannya. Tentu saja, Lea tidak mau hal itu terjadi.     Karena itu Lea sadar, jika hidupnya ini memang menjadi sebuah bahaya bagi orang-orang yang ia  sayangi, mengapa Lea harus hidup? Mungkin mati memang pilihan yang terbaik. Mati pada akhirnya juga akan mempertemukan Lea dengan keluarganya yang telah lama berpulang. Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik. Lea tersenyum saat mengingat wajah kedua orang tua dan kakaknya. Ya, Lea ingin bertemu dengan mereka.     Rupanya, kini Lea telah sampai pada titik depresi yang tak tertolong. Merasa usahanya selama ini tidak makan dan minum untuk mengakhiri hidup tak memuaskan, Lea kembali berpikir untuk mencari cara lain. Mendapat ide yang lebih gila. Lea memilih menggigit pergelangan tangan kirinya dengan kuat, berharap jika usahanya bisa memutus nadinya dan membuatnya mati dengan cepat.     Lea mendesah lega saat merasakan bau karat dan amis membasuh lidahnya. Akhirnya, akhirnya Lea bisa bertemu dengan orang tuanya dan melepas semua beban yang menyakitkan ini. Mata Lea mulai berkunang-kunang. Tubuhnya juda sudah terasa lebih lemas daripada sebelumnya. Sepertinya, rencana gila Lea akan berjalan dengan lancar.     Tuhan selalu bersama dengan umatnya. Tuhan tidak membiarkan umatnya mati dengan cara yang menyedihkan dan menyisakan sebuah penyesalan yang mendalam. Ya Tuhan tidak mengizinkan Lea untuk mengakhiri hidupnya sendiri dan pada akhirnya menyesal karena sudah melakukan kesalahan besar dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Karena itu, Tuhan mengirimkan seseorang yang menghentikan aksi nekat Lea.     “Lea! Apa kau gila?!” bentak Leon saat melihat tampilan mengerikan Lea. Mulut, dagu, serta leher Lea telah dibasahi oleh darah segar yang mengucur dari nadi Lea. Bahkan darah telah membasahi sebagian gaun putih yang Ana kenakan. Penampilan Ana yang bersimbah darah, benar-benar terlihat mengerikan.     Leon segera mengambil tindakan dan menghentikan aksi gila Lea. Tentu saja Lea tak akan membiarkan Leon menghentikan aksinya begitu saja, ia berontak liar. Untungnya, Leon yang berpikiran tajam telah menyiapkan beberapa suntikan berisi obat bius di laci meja. Ia mengambilnya dan menyuntik Lea yang masih berusaha menggigit tangannya sendiri.     Begitu obat bereaksi, Lea melemas dan jatuh tak sadarkan diri. Saat itu pula Leon mengangkat tubuh Lea sembari berteriak memanggil Ken agar menyiapkan peralatan medis. Ken datang tergesa dengan sebuah meja dorong berisi peralatan medis yang pasti dibutuhkan oleh Leon. Saat melihat kondisi Lea yang mengerikan, pria berkacamata itu tak bisa menahan diri untuk terkejut. Ia ta bisa membayangkan, apa yang sebenarnya terjadi dan membuat Lea seperti itu.     Leon mengenakan sarung tangan untuk menjaga kesterilan, ia lalu membersihkan luka Lea dan mengecek kondisi luka di tangan Lea, sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Ken sendiri berdiri di samping meja dorong dan bertugas untuk mengambil peralatan yang dibutuhkan Leon. Ken sendiri sudah terbiasa membantu Leon dalam hal seperti ini, ia sudah terbiasa.     Itu adalah hal yang wajar. Bagi Leon dan Ken yang memang adalah anggota dari klan mafia terbesar di Italia, setiap harinya adalah waktu untuk perang. Bisa saja, saat waktu sarapan atau tengah bersantai di taman, sebuah proyektil kiriman musuh datang dan menerjang salah satu bagian tubuh mereka. Karena itulah, bisa dibilang setiap anggota klan memiliki keterampilan untul melakukan pertolongan pertama atau penanganan darurat yang lainnya.     Leon yang merupakan pemimpin klan Potente Re tak terhitung berapa kali menjadi target pembunuhan, dan harus merasakan terjangan demi terjangan timah panas pada tubuhnya. Karena Leon tidak suka disentuh oleh orang asing, dan tidak mudah memercayai orang lain, Leon secara khusus mempelajari penangan medis untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Hingga saat ini, kemampuan Leon tidak perlu diragukan lagi.     Leon mendesah lega saat selesai membalut jahitan di pergelangan tangan Lea. Ia kemudian memasang infus untuk menyuplai nutrisi bagi tubuh Lea. Leon menatap tajam wajah pucat Lea. Ia marah, benar-benar marah. Setelah melihat rekaman kamera tersembunyi yang ia pasang di kamar Lea, Leon juga tahu jika selama tiga hari Lea tidak makan atau minum. Bisa-bisanya wanita ini berpikiran menghabisi nyawanya sendiri, dan ke mana perginya orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya? Apa yang mereka lakukan sampai-sampai Lea bisa melakukan semua hal gila ini?     “Panggil orang-orang itu!” perintah Leon pada Ken.     Ken mengangguk dan undur diri, beberapa saat kemudian Ken kembali datang dengan beberapa penjaga serta pelayan yang ditugaskan untuk melayani serta menjaga Lea beberapa hari ini. Leon tak mau repot-repot menatap wajah mereka satu persatu. Atensinya kini masih tetap tertuju pada wajah pucat Lea. Leon mulai berbicara, “Kalian lalai menjalankan tugas.”     Semua orang bergetar karena rasa takut. Tentu saja mereka tahu jika mereka telah lalai dalam menjalankan tugas mereka untuk menjaga sang nyonya muda. Bahkan kini nyonya muda mereka jatuh tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah dan mal nutrisi karena aksinya selama ini yang tidak makan dan minum. Mereka juga mengaku salah. Seharusnya mereka tidak menuruti permintaan Lea yang meminta semua pelayan dan pengawal berada di luar ruangan, ketika Lea makan. Padahal saat itu terjadi, Lea membuang semua makanannya.     “Pilihlah! Pilih aku yang memberi hukuman, atau kalian sendiri yang mengambil hukumannya.”     Semua pelayan serta penjaga yang kini berlutut di tengah kamar, mulai menggigil. Mereka tahu dengan jelas, apa yang dimaksud dengan Leon yang memberi hukuman secara pribadi. Itu artinya, Leon akan membasmi targetnya hingga seluruh keluarganya tanpa terkecuali.     Para pelayan dan penjaga, tahu apa yang harus mereka lakukan jika ingin selamat. Mereka segera menggigit pergelangan tangan mereka sendiri dengan kuat, hingga menyebabkan darah segar menyembur bak air mancur dari nadi mereka. Ken yang melihat itu hanya bisa mendesah, semua ini akan menambah pekerjaan baginya.     Sedangkan Leon tampak tak peduli dan mulai mengangkat tubuh Lea ke dalam gendongannya. “Jangan berikan obat bius, lalu jahit luka mereka! Lalu kurung mereka selama tiga hari, tanpa makan dan minum.”     Ken mengangguk. Apa yang ia bilang? Sekarang saja ia sudah mendapat tugas tambahan dari tuannya itu. Kini Ken memilih untuk mengamati punggung tuannya yang menjauh dengan Lea dalam gendongannya. Ken belum bisa menebak, sebenarnya apa tujuan Leon mempertahankan Lea? Dan mengapa Lea membawa dampak sebesar ini pada Leon? Tuannya masih menyimpan rahasia dibalik semua sikapnya dan Ken sama sekali tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu. Mungkin kini sudah saatnya Ken untuk mencari tahu mengenai apa yang terjadi.     ***         “Apa kamu sudah mendapatkan izin dari Leon?”     Ken mendesah dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa di kamarnya. Ken memang sudah pulang karena semua pekerjaannya telah selesai, dan Leon mengizinkannya untuk mengambil waktu istirahat. Kini dirinya terlihat santai tanpa rambut klimis serta kemeja rapih yang ia kenakan. Ken hanya mengenakan kaos lengan panjang serta rambutnya yang basah dibiarkan begitu saja setelah dikeringkan seadanya oleh handuk.     “Awalnya aku ingin mencari tahu dengan diam-diam. Tapi dia lebih dulu mengetahui apa yang ada di kepalaku, dan memintaku unuk menanyakan detailnya padamu.”     Ken mendengar suara tawa yang mengalun lembut. ah jika saja saat ini dirinya bertemu tatap dengan orang yang ia ajak bicara, Ken sama sekali tidak akan menahan diri untuk memeluk dan menciumnya. Ya, kini Ken tengah berbicara dengan kekasihnya. “Kapan kau selesai bertugas? Aku sungguh merindukanmu.” Ken benar-benar tidak berbohong karena dirinya sungguh merindukan kekasihnya itu. Mungkin sudah dua bulan dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ia cintai itu.     Tawa lembut semakin terdengar mengalun dengan indahnya. Membuat Ken memejamkan matanya, guna membayangkan wajah kekasihnya yang tampak semakin cantik saat tertawa dan tersenyum. “Jangan berlebihan. Aku hanya pergi sebentar, kenapa kau sampai seperti ini? Biasanya saat aku bertugas berbulan-bulan di luar negeri,  kau tidak pernah sampai serindu ini padaku. Kini aku hanya bertugas dua bulan dan kau malah sudah bersikap seperti ini. Aku mencium bau-bau kebohongan di sini.”     “Kau tidak tahu saja. Leon selalu menempel pada Lea, dan itu sungguh membuatku kesal. Jika saja kau ada di sini, aku tidak akan terlihat semenyedihkan ini. Padahal aku memiliki kekasih yang cantik dan bisa dibanggakan serta bisa kuberikan perhatian yang melimpah seperti yang dilakukan oleh Leon, tapi aku seperti perjaka tua tanpa pesona yang kesepian.”     Seketika gelak tawa terdengar kembali di ujung sambunga telepon. Ken yang mendengar itu tak bisa menahan diri untuk menarik sebuah senyuman tulus. Ken berbicara sesantai ini tentang tuannya tak lain karena dirinya dan Leon memang bersahabat, sebelum menjadi atasan dan bawahan. Jadi, disaat-saat santai dan tidak terkait dengan pekerjaan atau klan, Leon selalu meminta Ken untuk berbicara santai.     “Jadi, bisakah kamu ceritakan apa yang terjadi?” tanya Ken lagi.     “Apa benar Leon sudah mengizinkannya?” tanya balik orang di ujung sambungan telepon.     Ken berdecak. “Hei, aku ini juga teman Leon dan kekasihmu. Lebih dari itu, aku adalah penasihat yang merupakan otak dari klan Potente Re. Seharusnya kalian tidak menyembunyikan apa pun dariku, apalagi Leon. Dia adalah pemimpin klan yang merupakan inti dari klan ini sendiri. Jika Leon menyimpan rahasia, seharusnya aku mengetahui hal itu sebelum para musuh kita mengetahuinya. Satu kesalahan saja bisa membuatku kesulitan untuk membuat pondasi klan kita tetap solid. Kalian tentu tahu apa yang aku maksud, bukan?”     Suara helaan napas terdengar. “Sayang, tenanglah! Cobalah untuk sedikit menahan amarahmu itu. Aku tahu apa yang kau maksud. Tapi cobalah mengerti apa yang Leon rasakan juga. Terlepas dirinya yang menjadi seorang pemimpin klan yang harus memiliki hati dingin, Leon adalah seorang pria biasa. Dia juga memiliki sisi kehidupan yang normal, Sayang.”     “Tapi tetap saja, harusnya kalian tidak menyembunyikan apa pun dariku. Ini juga untuk keselamatan kalian. Coba pikirkan, jika pihak musuh tahu perihal rahasia ini, sedangkan aku tidak? Kemungkinan terburuk adalah, mereka akan menggunakan rahasia ini untuk menyerang klan. Bukan hanya keberlangsungan klan yang terancam, keselamatan kalian dan para anggota klan juga dipertaruhkan!” Kemarahan Ken bukan tanpa alasan. Selama ini dia berusaha untuk tetap tenang meskipun tahu jika Leon menyimpan sesuatu darinya.     Tapi setelah mendengar jika kekasihnya yang juga tahu perihal rahasia Leon berbicara seakan-akan rahasia yang disimpan Leon adalah hal yang begitu besar, Ken tidak bisa menahan diri untuk marah. Kemarannya sungguh terasa berdasar, karena apa yang dilakukan Leon ini sungguh tidak bijak. Menyembunyikan sebuah rahasia pada penasehat klan, sama saja dengan bunuh diri.     Di sebuah klan besar seperti klan Potente Re, selain pemimpin utamanya yang menjadi kepala dari semua anggota, penasehat adalah orang kedua yang memiliki peran penting pada klan. Jika penasehat ini tidak mengenal dan tidak mengetahui setiap detail mengenai apa yang terjadi pada klan dan anggota klan, bisa dipastikan jika klan tersebut tinggal menunggu waktu untuk hancur. Entah hancur karena perpecahan, atau karena kalah saat diserang oleh musuh yang tahu akan celan yang dimiliki klan tersebut.     “Sayang, coba tenang sedikit. Rahasia ini memang besar, tapi aku pikir ini sama sekali bukan hal yang buruk,” ucap kekasih Ken dengan nada lembut. mencoba untuk meredam kemarahan Ken yang meledak-ledak. Ken memang tipe orang yang tenang dan selalu memasang senyum. Tapi Ken akan berubah menyeramkan saat marah.     “Apa maksudmu?” tanya Ken sembari mengerutkan dahinya.     “Leon memang memiliki rencana mengenai wanita itu. tapi aku tahu jika Leon memiliki lebih dari sekedar rencana semata. Sadar atau tidak, wanita itulah yang akan membawa perubahan pada diri Leon dan mengubah klan kita menjadi semakin baik,” jawab kekasih Ken dengan nada bijak dan meyakinkan Ken.     Tapi nada bijak itu tidak bisa membuat Ken mengerti. Ken masih tetap mengerutkan dahinya, saat otaknya yang cerdas memikirkan kemungkinan-keumungkinan yang dimaksud oleh kekasihnya. Setelah beberapa detik, barulah Ken mendapat satu kesimpulan. “Tunggu, jangan bilang ….”     “Ah kekasihku memang sangat pintar. Tanpa perlu menjelaskannya lebih lanjut, kamu pasti sudah mengerti, bukan?” tanya suara di ujung sambungan dengan nada yang menggoda.     Ken mendesah. “Ya, bodohnya aku karena tidak memahami apa yang terjadi. Ternyata, si berengsek gila itu benar-benar jatuh cinta. Hal yang mustahil, tapi rupanya menjadi sebuah kenyataan. Entah aku harus bersyukur atau meratapi hal ini.”     Ken menutup matanya. Ia membiarkan masalah ini begitu saja. Sedangkan telinganya masih setia mendengarkan cerita kekasihnya yang tengah menceritakan kegiatannya. Setidaknya mendengarkan cerita kekasihnya ini bisa membuat Ken merasa jauh lebih baik daripada sebaliknya. Kekasihnya ini memang selalu memiliki cara untuk membuatnya kembali tenang dan menggunakan akal sehatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN