Perasaan Yang Masih Sama

1083 Kata
"Oi!" Ia sama sekali tak terkejut. Ahmad terkekeh melihatnya begitu sibuk di dalam kamar. "Amin bilang kamu lagi semedi. Sepertinya benar." Semedi yang dimaksud adalah duduk tegak di depan laptop. Yeah, Said belum meninggalkan kursinya sejak tiga jam yang lalu. Ia diberi helar semedi karena jemarinya bahkan bisa terus menari di atas keyboard selama lima jam. "Aku tadi ketemu Salwa. Kamu gak bilang kalo dia kuliah di sini." "Oh? Aku belum bilang yah?" Ia bahkan tak ingat. Ia sedang sibuk sekali. Ya kalau Ahmad sibuk organisasi, ia sibuk dengan paduan suara dan teater. Kali ini ia sedang membuat naskah film pendek untuk dikirim ke sebuah rumah produksi. Ya kali-kali saja ia bisa menggarap film bersama sutradara terkenal. Ia adalah seniman Filsafat yang sangat romantis. Hingga kini, Said tak pernah tahu kalau ia menyimpan perasaan untuk adiknya. Tak berani juga menyampaikannya. Ia tak berani bertanya soal pendapat Said mengenai hal itu. Ia sudah lama tertarik dengan adiknya Said sejak datang ke rumah lelaki itu bertahun-tahun silam. Ia bahkan masih ingat detil ketika melihat Salwa yang sedang duduk bermain catur dengan ayahnya di deoan televisi. Gadis itu manis. Kini tampil cantik pula. Tidak bosan melihatnya. "Kamu sibuk apalagi? Naskah baru?" Ia hanya menebak-nebak. Said sering vakum dari organisasi padahal terdaftar dalam kabinet baru yang diketuai oleh Fathur. Ia melihat tampilan layar laptopnya. Ya sesuai tebakannya, si wajah manis dengan badan kekar ini nyatanya melankolis loh. Hatinya sangat lembut meski ia tampak sangar. "Yah sedang berupaya menyelesaikannya. Kamu sudah makan?" "Malam maksudmu?" Ahmad hendak keluar dari kamarnya. "Sudah malam?" Ahmad tertawa. Ia geleng-geleng kepala. Said memang sering error begini. Ia terllau banyak mengerjakan sesuatu. "Jangan bilang belum soltat magrib." "Udah magrib?" Ia melotot kali ini. Ahmad tertawa melihatnya berlari menuju kamar mandi. Yah setidaknya masih ada waktu untuk solat magrib. "Kalau mau makan bareng, aku tungguin, Id. Tapi nangung nih. Bentar lagi isya. Abis isya aja. Aku ke masjid dulu." "Kalau mau ke masjid, aku ikut!" "Oke!" Ia juga hendak mandi dulu. Jadi kini masuk ke kamar untuk mengambi baju ganti. Tubuhnya lelah hari ini padahal hanya rapat kecil dan mengawasi prosesi wawancara anggota baru tadi. Ia tersenyum kecil. Masih teringat senyuman gadis manis yang menyita perhatiannya. Lalu bergerak mandi begitu Said keluar dari sana. Sekitar lima belas menit kemudian ia keluar dan berjalan masuk ke dalam kamar. Begitu selesai mengganti baju dan membuka pintu kaamrnya, ia dikagetkan dengan kehadiran Said yang juga sudah rapi dengan sarung dan baju koko. Khas mereka di pesantren dan gontor dulu. "Id," ia memanggilnya ketika mereka baru saja keluar dari rumah kontrakan. "Adik kamu punya pacar?" "Salwa punya pacar?" Ia langsung menaikkan suaranya dengan setengah kaget. Ahmad terkekeh. "Aku nanya, Id. Dia pacaran atau enggak?" "Aku jitakin dia kalo berani pacaran." Ahmad terkekeh. Yeah, lelaki ini sangat posesif dan menjaga adiknya. "Kamu tahu betapa mengerikannya pergaulan anak zaman sekarang. Jadi aku mewanti-wanti." "Sejauh ini tidak pacaran. Ya semoga kebenaran yang aku percaya sama dengan kenyataan itu." "Tapi Salwa juga bukan perempuan yang nakal seperti itu." "Kamu gak tahu aja, dia suka bolos saat SMA." Ahmad tertawa. Menurutnya itu hal yang wajar. Ya anak-anak seusianya dulh juga kan begitu. Kalau sedang bosan ya kabur dari gontor. Ada saja caranya agar bisa menghibur diri dengan keluar dari gontor untuk sementara waktu. "Kamu juga sering dulu. Bahkan meracuni yang lain untuk protes dan demo heh!" "Itu kan karena aku sering teracuni pikiran-pikiran politikmu itu!" Ahmad tertawa. "Aku heran, kenapa kamu gak mau mencalonkan diri sebagai ketua BEM. Padahal kalau kanu mencalonkan diri, posisi itu akan menjadi milikmu sekarang." Ia tersenyum kecil. "Aku hanya suka bidang-bidang yang aku sukai." "Iya lah. Yang intel." Ia diolok. Ahmad geleng-geleng kepala. "Om bagaimana? Aku sudah lama tak mendengar kabarnya." "Paman maksudmu?" Ia mengangguk. Ia sempat menatap Ahmad. Salah menggunakan kata-kata. Cowok ini sudah tak memiliki seorang ayah sejak lama. Maka ia yang memegang tugas dan menggantikan posisi ayahnya. Menjadi turunan intel itu tak mudah. Said tahu karena ia juga merasakan hal yang sama. Mereka bersekolah di pesantren, gontor hingga kampus yang sama tentunya bukan tanpa alasan bukan? "Ya seperti yang kamu tahu. Kesibukannya tak akan jauh berbeda dengan ayahmu." "Kamu sudah memutuskan, Mad? Aku tahu mimpimu menjadi politikus atau diplomat. Tapi kamu tahu kalau butuh lobi-lobi besar untuk itu semua." Ia menarik nafas dalam. Ya memang benar. Kenyataan itu memang tak bisa dibantah. "Aku masih belum tahu. Kamu tahu bagaimana beratnya. Memikirkan masa lalu yang pernah terjadi pada keluargaku sendiri masih tampak mengerikan." "Tapi mereka pasti akan mengincarmu. Papaku bilang kalau tak ada jalan lain selain mengikutkanmu. Bahkan kamu....," ia mendekatkan telinganya. "Aku tahu soal kamu nge-hack website beberapa KBRI waktu SMP heh. Kanu pikir, aku gak tahu?" Ia terkekeh. Ia waktu itu hanya merasa frustasi. Karena tak tahu di mana keberadaan ayahnya. Meski beberapa bulan kemudian sudah dipastikan mati. Namun ia juga tak pernah melihat jasadnya. Ia ingin percaya kalau ayahnya masih hidup tapi itu juga sesuatu yang teramat mustahil baginya. "Aku pikir, siapapun yang akan mendampingimu juga harus cekatan, Mad. Seperti ibumu." Ya kalau tak ada ibunya, ia mungkin sudah mati saat itu. Ahmad termenung mendengar kata-kata itu. Said ada benarnya. Ini adalah rahasia yang hanya bisa mereka bicarakan berdua tanpa melibatkan orang lain. Keduanya berbelok ke masjid untuk solat isya berjamaah. Masjid tentu tampak sepi kalau masuk solat isya begini. Usai solar, keduanya berjalan menuju rumah kontrakan. Kali ini agak sepi karena yang lain mungkin masih nongkrong atau sibuk dengan urusan organisasi. "Mau makan di mana?" tanya Ahmad. Said keluar dengan mengenakan jaketnya. "Bagaimana kalau ajak adikku? Aku sekalian perku pendapatnya soal naskahku." Tentu saja ia berninar mendengar tawaran itu. Hahaha. Tak perlu menolak kalau begini. "Oke!" Dengan cepat ia mengiyakan. Biasanya mereka akan berboncengan. Tapi berhubung Said akan membawa Salwa, ia mengendarai motornya sendiri. Setelah memastikan pintu rumah kontrakan terkunci, mereka segera bergegas ke rumah kontrakan Salwa. Ia baru tahu kalau Salwa tinggal tak begitu jauh. Ya masih di sekitar rumah sakit. Ia agak ememelankan motornya ketika hampir sampai. Sementara itu, Said sudah memarkirkan motornya di depan rumah kontrakan. Dari radius sekian meter ini saja, ia sudah gugup setengah amti. Apalagi saat mendengar sayup-sayup suaranya menyahut panggilan Said. Perasaan ini tampaknya sebuah pertanda keseriusan yang harus ia putuskan. Walau terlalu muda juga untuk serius. Karena ia tahu pemikiran modern orang-orang zaman sekarang. Meski ia tak menganut hal yang sama. "Tuh ada Ahmad juga. Masih inget gak kamu? Temen mas yang dari pesantren sama gontor." Said memperkenalkannya. Padahal baru saja tadi bertemu di kampus. Saat Salwa melihat ke arahnya, waktu seolah berhenti berputar. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN