Terlalu Tinggi

3090 Kata
Ia pulang ke rumah dengan agak murung. Sungguh bukan hal yang bisa ia duga. Mendadak ada lamaran semacam itu jelas menhulitkannya. Terlebih.... "Karena kamu minta saran eyang, ya eyang akan menerimanya. Tentu dengan pertimbangan pertama, yang meminta itu guru kamu. Kedua, insya Allah anaknya juga solehah. Bisa menjadi istri yang baik. Terlebih kamu juga mengenalnya. Meski belum suka atau tertarik tapi perasaan itu bisa muncul. Hanya ya eyang menghormati pilihanmu juga. Walau saran dari eyang ya begini." Kakeknya bukan berpihak. Tapi hanya berpikir logis. Karena mau seribu kali ia pikirkan, hasilnya juga sama. Apa yang dikatakan oleh kakeknya memang benar. Ia tak bisa menyangkalnya dari segi apapun. Ia menarik nafas dalam. Tiba di rumah ya sudah agak siang. Padahal teman-temannya sudah bersemangat untuk keluar. "Sudah sarapan?" Ia mengangguk. Kemudian menoleh ke arah teman-temannyanyang sedang bercanda dengan Salwa dan yang lain. Ia menarik nafas dalam. Tak sadar kalau ibunya menatapnya. Mencoba mencari perempuan yang ia sukai. Pasti ada di antaranya kan? "Mau ke pantai?" Ia menawarkan. Ya kalau pantai sih cukup dekat lah dari sini. Jadi mereka bisa segera berangkat. "Mau lah. Kita udah nungguin dari tadi." Si Ino bawel. Ia terkekeh. Ia bersiap dulu. Baru kemudian berpamitan dengan ibunya. "Bagus tuh mobilnya." Said dan Ino tertarik dengan mobil klasik yang ada di garasinya. Ia terkekeh. Itu memang miliknya. Para perempuan juga berdecak ria melihatnya. Kagum dengan desainnya. Sayangnya, mereka tak akan bisa muat di dalam mobil itu. Jadi ya naik mobil lain yang bisa memuat mereka semua. Tentu saja Ahmad yang menyetir. Di sampingnya ada Ino. Said di belakang bersama Salwa. Paling belakang ya tiga teman Salwa. "Itu emang desain sendiri." "Jadi kayak balik ke zaman kemerdekaan." Andai Said di depan Ino, Ino pasti sudah menoyornya. Hahaha. Sayangnya ia berada di Said. "Kayak udah lahir aja di zaman itu." Ia terbahak. Ya memang jauh dari situ sih. Tapi ia bisa membayangkan kekerenan mobil itu. Walau kini sudah tak terlihat. Iya lah. Kan mobil yang dikemudikan Ahmad sudah meninggalkan rumah menuju pantai terdekat. Siang nanti setelah bermain di pantai, Ahmad berencana mengajak mereka melihat Lawang Sewu sebentar. Ya baru kemudian Ahmad mengajak untuk wisata kuliner. Setidaknya perjalanan ini sedikit mengalihkan kesesakan dadanya soal obrolan dengan kakeknya tadi. Tentu saja ia tak menginginkan hal itu bukan? Kenapa harus Zahra? Karena sejak awal pun ia tak tertarik. Tentu saja ia sudah lama mengenal Zahra. Rumor gadis cantik itu sudah menyebar sejak mereka masih di pesantren. Said juga tahu. Cowok itu juga awalnya heboh bersama yang lain. Tapi kemudian ya biasa saja. Mungkin bagi mereka ya karena tak ada yang istimewa. Hanya merasa tertarik di awal saja. Hanya sebatas itu. Tak lebih. Begitu masuk UGM ya ternyata bertemu lagi dengan Zahra. Gadis itu baru terkenal di tahun kedua kuliah. Ya setahu Ahmad sih. Akhir tahun pertama kuliah cukup menghebohkan anak BEM karena ia bergabung di sana. Tahun kedua ya ada perlombaan di mana gadis itu mewakili kampus lalu ya boom sampai sekarang. Banyak yang kagum. Tapi kalau Ahmad ya biasa saja. Karena......gadis di belakangannya ini. Ia mungkin mendengar rumor anak cantik kyai pesantrennya lebih dulu. Tapi ia baru melihat Zahra secara langsung itu ya ditahun kedua ia pesantren. Zahra yang melihatnya lebih dulu. Zahra juga yang jatuh cinta lebih dulu. "Aku baru tahu kalo Salwa adikmu, Id. Kok ndak mirip yo?" Mereka terbahak bersama. Bahaha. Said tentu saja mengomel. Teman-temannya Salwa juga mengatakan itu. Said ya manis kok. Dari segi wajah mungkin agak berbeda. Tapi fitur dan bentuk wajah ya mirip. Salwa tak berhenti tertawa dibuat mereka. Setidaknya ini juga cukup menghibur Ahmad yang baru saja membelokan mobilnya memasuki area pantai. Di Jogja juga ada panyai sih. Salwa juga sudah pernah ke sana kok. Tapi ke Semarang dan pantai rasanya baru pertama kali. Mereka turun dari mobil. Lalu berlarian menuju pantai. Ahmad pergi menyewa salah satu pondok untuk mereka duduk bersama lalu memesan air kelapa. Cowok itu sibuk mengobrol dengan penjual air kelapa. Ya Ahmad memang begitu. Sementara teman-teman Salwa lebih tertarik dengan lagar belakangnya Ahmad sih. Dari rumah yang klasik, mobilnya juga klasik. Foto keluarga tak terlihat. Sosok Ahmad tampak misterius. "Ayahnya mas Ahmad masih ada, kak Said?" Raisa bertanya. Yang lain sih asyik berfoto. Kalau Raisa? Si gadis cantik bin anak kedokteran ini sejujurnya sudah lama suka pada Said. Hahahaha. Meski Salwa bilang kalau kakaknya gak ganteng, Raisa tetap suka. Ia suka karena Said itu cowok yang baik dan lurus. Itu sesuatu yang menurutnya susah dicari di zaman ini. "Udah lama meninggal sih." Ia sebenarnya tak tahu pasti. Tapi seingatnya saat mereka akhir pesantren atau menjelang masuk ke gontor. Kejadian itu sudah cukup lama tapi menghebohkan BIN. Ya termasuk papanya yang berada di sana kala itu. Itu adalah sebuah misteri yang tak terpecahkan. Namun Ahmad sebetulnya belum ingin percaya kalau ayahnya sudah tiada. Ia yakin kalau ayahmya pasti bertajan. Meski tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Raisa mengangguk-angguk. Ia melirik Said yang mengambil foto pemanangan dengan kameranya. Ia agak bingung sih dengan Said yang punya banyak hobi. Tapi paling tergila-gila pada naskah film. Kata Salwa, ia sangat ingin menjadi sutradara atau direktur untuk perfilman. "Rumahnya mas Ahmad unik banget ya. Jarang ada rumah seperti itu." Ia tak begitu ditanggapi. Hahahaha. Said sibuk dengan dunianya. Makanya Salwa pernah mengatakan pada Raisa kalau kakalnya itu tak tertarik dengan perempuan. Hahahaa. Bagi Said sih wajar kalau Ahamd begitu kaya. Ia tentu tahu pekerjaan gelap Ahmad bukan? Ia bukan hacker pencuri sih. Tapi banyak membuka jasa untuk membantu dunia perbankan. Bukan level nasional. Lebih banyak yang luar negeri. Tidak hanya perbankan juga tapi banyak sekali perusahaa di luar sana. Ia kaya hanya dari internet. Sebab ayah Ahmad sendiri tak begitu suka dnegan kemewahan. Dari ya hidup mereka dulu ketikaasih ada ayahnya ya teebilang sangat sederhaha. Ahmad bangkit. Ia bukannya ingin kaya. Ia ingin hidup layak sembari mencona mencari ayahnya. Kan harus ada uang. Semua itu butuh. Ia sadar itu. Lalu Ahmad? Cowok itu sesekali tersenyum ketika melihat Salwa asyik berfoto ria dengan tenan-temannya hingga akhirnya ia dipanggil untuk bergabung. @@@ Sia-sia menunggu di depan stasiun. Orangnya tak muncul. Walau ia sudah menunggu. "Kita pulang saja lah." Ia malah diajak pulang. Tapi tentu saja tak mau. Ia sudah menunggu kedatangannya tapi malah tak ada. Menunggu hingga subuh pun tak berguna. Akhirnya ya mau tak mau diajak pulamg. Siang besoknya baru mendapatkan kabar keneradaan orang yang ditunggunya sejak semalam. Ia baru saja menguap. Baru bangun sesiang ini. Ada telepon dari laki-laki lain pun tak ia pedulikan. Ia hanya fokus dengan yang satu ini.. "Sorry tapi aku gak bisa jemput." "Gak apa-apa. Aku bisa sendiri." Ia buru-buru masuk ke kamar mandi. Sebetulnya ia butuh uang. Tapi untuk sementara malah memilih bertahan dulu dengan kondisi yang ada. Ia tahu kalau ia seharusnya mencari uang lagi. Tapi ia ingin fokus pada lelaki yang satu ini. Usai mandi, ia buru-buru bersiap lalu langsung berangkat. Ia melengos begitu keluar kamar. Ya karena ada Renita di sofa depan televisi. Gadis itu tentu saja menatap julid ke arahnya. Tapi ia tak mau ambil pusing. Ia baru putus dengan lelaki beristri sekitar dua minggu yang lalu. Berhubung ia selama ini nebeng tinggal di apartemen lelaki itu ya kalau putus mau tak mau keluar dong. Terlebih memang ada kejadian yang cukup menghebohkan di apartemen itu sih. Kejadian apa? Ya dilabrak lah sama istrinya lelaki itu. Makanya ia mendadak pindah ke kosan ini. Lalu ia hendak menemui siapa? Lelaki yang dulu pernah ia pacari ketika SMA. Dulu juga punya istri. Tapi hingga sekarang, istri lelaki itu tak pernah tahu kok kalau oa adalah selingkuhannya. Dari sekian banyak lelaki di mana ia menjadi baby sugar untuk mereka, baru yang ini yang membuatnya jatuh cinta parah. Makanya tak pernah bisa ia lupakan. Tapi lima tahun terakhir ia tak pernah bertemu lagi. Yang ia tahu, lelaki itu sempat masuk penjara. Kemudian apa? Divonis sakit mental sehingga dirawat di rumah sakit jiwa. Tapi lihat lah sekarang kabarnya sudah kembali ke Jogja. Dulu memang lelaki itu sempat tinggal di Jakarta. Bekerja di sana dan sempat hidup bersama istrinya kan? Tapi yang ia tahu beberapa tahun terakhir, kabarnya sudah bercerai dari istrinya. Jadi ia bebas dong ingin mendekatinya lagi. Ya kan? Ia tiba di apartemen itu. Kemudian segera naik. Ia langsung tiba di lantai yang ingin ia tuju. Kemudian berjalan menuju apartemen yang katanya menjadi tempat tinggal baru lelaki itu. Kenapa kembali ke Jogja? Tentu saja menjadi pertanyaan baginya bukan? Ia memencet bel. Sudah tak sabar ingin bertemu. Tapi berapa kali pun ia memencet, tak ada yang keluar. Ia menghembuskan nafas. Mau mencoba menelepon nomor yang baru ia dapatkan itu juga sama. Tak diangkat. Apa ia sudah dilupakan? Sementara ia masih menyimpan perasaan yang sama. Ya oke. Usia mereka terlampau cukup jauh. Tapi 10 tahun baginya tak berarti. Apalagi ia juga sudah suka sejak lama. Baru mau berjalan kebali ke lift eeeh cowok itu muncul di depan matanya dengan membawa dua plastik besar. Ia tersenyum senang. Sudah lama tak bertemu. Tapi anehnya cowok itu berjalan melewatinya begitu saja. Kenapa? Apa yang salah? "Mas Awan!" Lelaki itu menoleh. Ia baru saja memindahkan satu plastik di tangan kanan ke tslangan kiri agar bisa membuka password pintu apartemennya. "Lupa ya, mas, sama aku?" Ia masih diam dan menatsp lurus. Caranya menatap masih sama seperti dulu. Masih tanpa ekspresi. "Aku Linda, mas!" Ia dulu beberapa kali sempat mencoba ke rumah sakit jiwa yang ada di Jakarta untuk menjenguknya. Tapi tak pernah berhasil. Lelaki iti tak diperbolehkan dijenguk oleh yang bukan keluarganya. "Linda, mas. Yang harusnya jemput mas di stasiun. Lupa denganku? Aku dulu mssib SMA waktu bersama mas." Rasnaya butuh waktu beberapa menit bagi lelaki itu untuk mengingat kembali kenangan yang pernah ada. Meski tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi anggukan kecil itu pun sudah cukup menjadi pertanda untuknya. Ia tersenyum senang. Baru mau ikut masuk, tahu-tahu pintu apartemen itu sudah kembali tertutup. Ia terpaku. Apa yang salah? Apa sudah lupa? Ia menelepon lelaki yang menemaninya semalam. Kenapa lelaki ini lupa dengannya? "Kok mas Awan gak inget aku sih?" "Gak inget gimana maksudnya?" "Dia gak inget akuuuuuu!" Ia sebal. Kejadian sungguh sulit dipercaya. "Mungkin karena udah lama." "Tapi kamu bilang, dia masih suka nanyain aku." "Itu empat tahun lalu." Haaaaaaaah. Terus bagaimana? Ia saja belum bisa lupa. "Nanti aku bicara dengannya, Lin." @@@ Usai solat zuhur, mereka makan siang di restoran pinggir pantai. Tentu saja ditraktir Ahmad. Tentu saja berkat rayuan Ino dan Said. Mereka memang selalu nomor satu kalau soal menghabiskan uang Ahmad. Hahahaha. Dari makan siang ya berjalan sebentar sebelum menuju parkiran dan mereka ke Lawang Sewu dan menghabiskan sore di sekitsr Kota Lama Semarang. Raisa berjalan bersama Ino dan Said di depan sana. Di belakangnya ada July dan Ana yang asyik berfoto ria. Ya sesekali berhenti sih. Di belakangnya? Ada Salwa. Gadis itu banyak sekali mengambil foto untuk kenangan. Ya sekaligus untuk posting diakun media sosialnya. Cukup tertinggal juga dari yang lain. Meski ternyata di belakangnya sedari tadi ada Ahmad. Cowok yang tak berhenti menatapnya. "Pernah pacaran?" Tahu-tahu melontarkan pertanyaan itu. Salwa terbatuk-batuk. Kaget sih. Tapi begitu melihat wajah Ahmad yang malah terkekeh. "Kenapa? Anak gontor pernah pacaran?" Ahmad tersenyum kecil. Ia ingin tahu. Tapi gayanya bertanya sengaja dibuat seperti itu biar tak terlalu kentara. "Anak gontor memang gak semuanya lurus sih." Ya masih ada beberapa dari mereka yang ternyata ilmu agama itu tidak untuk diterapkan. Hanya dipelajari tapi tak sampai ke hati apalagi untuk keimanan. "Mas juga? Pacaran? Tapo gak mungkin deh." Ahmad terkekeh. "Gak laj. Untuk apa aku jauh-jauh masuk gontor." Salwa mengangguk-angguk. Menurutnya gak mungkin. Sementara Ahmad menoleh ke arahnya. "Kamu pernah?" "Menurut mas?" "Aku gak tahu." Karena ia tak pernah tahu sebelumnya, Salwa itu seperti apa. Selama ini kan hanya melihatnya dari jauh. Maksudnya ya dari foto atau mendengar Said ketika menelepon Salwa selama di pesantren dan gontor. Sisanya tak pernah. Jadi ia memang tak pernah tahu seperti apa Salwa. Hingha sekarang ia mulai tahu. Gadis ini tampaknya agak tak terduga sih. "Pernah sih terbersit pengen oacaran gitu." "Hanya terbersit?" Ia mengangguk. Karena ia tak pernah berani mendekati lelaki yang ia sukai. Ia juga tak tahu bagaimana perasaan Fathur padanya kan? Waktu SMA ya hanya mengenal sebentar lalu lelaki itu lulus SMA. Tak pernah bertemu kahi setelahnya. Tapi ia tahu kalau cowok itu melanjutkan kuliahnya di Jogja. "Kenapa hanya terbersit?" "Mau tahu aja." Ia tertawa. Ya memang ingin tahu. Ia selalu ingin tahu apa-apa yang berhubungan dengan Salwa. Keduanya tak sadar kalau berjalan berbarengan. Meski bagi Ahmad terasa singkat. "Kenapa pengen pacaran?" "Yaa namanya juga anak muda. Kadang gak mikir dosanya." Ahmad tertawa mendengar keterusterangannya. Salwa tak mencoba untuk menjadi jaim seperti gadis lain. Ia memang apa adanya. Ya persetan juga sih dengan penilaian orang. Toh ketika dibalik pada mereka, ia yakin juga mereka tak akan mau dinilai seperti itu. Ya kan manusia memang begitu. Maunya mengatai tapi tak mau dikatai. Maunya memaki tapi tak mau dimaki. "Sekarang masih mau pacaran?" Ia terkekeh. "Nanti dijitak bang Said." Ahmad tertawa lagi. "Pertanda kalau dia menyayangimu." Ya memang. Ia tahu. Apalagi Said daat ketat dengan pergaulan semacam itu. "Mas Ahmad gak punya saudara ya?" Ia mengangguk. Ia memang satu-satunya anak di rumah. "Enak jadi kakak atau adik?" "Adik lah. Aku suka moroti bang Said." Ia tertawa. "Said sangat menyayangimu." Ia tentu tahu. Apapun Said lakukan untuknya. Dulu bahkan lebih sering menghubunginya dari pada papa dan mama mereka. Hahaha. Ia juga sayang sih. Jadi suka cengeng karena kangen sama Said. Kalau sekarang? Ia agak malu memikirkan itu. Hahahaha. "Terpikir untuk nikah muda?" Itu pertanyaan yang sangat ingin ia lontarkan sejak tadi. Hahaha. "Ada dong." Ahmad terkekeh. "Sekarang nikahnya?" "Gak sekarang juga lah, mas. Abis lulus mungkin? Tapi itu impian semua cewek sih. Ya sebelum tahu realitanya kalau abis lulu situ gak ada yang indah. Yang ada malah diburu buat nyari kerja." "Abis lulus mau gitu?" "Yaaaa tapi gak tahu juga sih," ia nyengir. Ahmad mengangguk-angguk. "Kalo mas Ahmad?" Ia hanya bertanya iseng sih. Kan tadi Ahmad bertanya padanya. Jadi ia hanya bertanya balik. "Aku kalo ceweknya mau ya aku nikahin deh." Salwa malah tertawa. Ya kaget sih. Ia menoleh ke arah Ahamd yang sedari tadi menatap ke arah pantai di sebelah kiri. "Udah ada calonnya?" Ahmad berdeham mendengar pertanyaan itu. Jawab jujur? Ya kali. Hahahaa. Tapi setidaknya ia bersyukur karena Said sudah memanggil. Ia dan yang lain sudah sampai lebih dulu di parkiran. Mobil melaju menuju Lawang Sewu. Sekitar satu jam baru sampai di sana. Mereka solat ashar dulu sebelum menjelajaji Lawang Sewu. Ya suasana yang sungguh berasa jadulnya meski duah puluhan tahun berlalu. Di sini Salwa baru tahu sih kalau Ahmad itu tahu banget soal sejarah. "Kamu bawa Ahmad ke Kota Tua Jakarta, dia udah kayak tour guide." Salwa terkekeh mendengar kata-kata Said. Justru ia kagum sih. Karena Ahamd tahu banyak hal. Cowok itu memang terlihat berpengetahuan luas sih. Justru yang seperti itu yang harus dicari. "Makanya dia selalu dinawa tuh kalo ada tamu ke gontor." "Buat jadi tour guide gitu?" Said mengangguk serius. "Mulutnya itu banyak berguna." Salwa terkekeh. Ya enak juga mengobrol dengan Said. "Kalau kamu sama dia, waah abang setuju banget sih." Ia terdiam mendengarnya. Itu kata-kata yang tercetus begitu saja sih dari mulutnya. Tanpa maksud apa-apa. Ia juga tak tahu kalau Ahamd menyukai adiknya. "Kenapa?" "Abang udah lama kenal Ahmad. Tapi....," ia menatap Salwa dari atas sampai bawah. Celana jeans belel, baju kaos, dan pashmina kekinian yang dikenakannya menjadi pusat perhatian Said. Yaa adiknya memang anak gaul sih. Gaya pakaiannya juga selalu modis. "Kalo kayak gini sih bukan tipenya Ahmad deh." Hahahaa. Tentu saja Salwa mencubit lengannya. Kesal. Hahahaha. Said terpingkal. Tapi ia juga sadar sih. Tampaknya ia memang bukan tipenya Ahmad. Ia justru berpikir kalau Ahmad itu ya akan mencari perempuan muslimah seperti Zahra tuh. Si kakak tingkatnya yang anggun dan cantik. Muslimah sempurna dan banyak dikagumi. Gak hanya dari gaya pakaian, fisik, kecerdasan, aah bahkan turunan keluarga baik-baik. Ia kan sudah tahu rumor kalau ayahnya gadis itu adalah kyai pemilik pesantren dan gontor di mana kakaknya ini belajar dulu. Jadi ya menurutnya juga Ahmad jauh lebih cocok dengan Ahmad. Dan baginya, Ahmad itu cowok yang terlalu tinggi untuk ia jadikan standar calon jodoh. @@@ Gak di warteg atau rumah makan manapun ya yang dibicarakan pasti gak jauh-jauh dari Ahmad. Kalo cowok-cowok ya Zahra dan Renita. Dua perempuan itu seolah dijadikan standar siapapun harus mencari sosok pasangan idaman yang dari segi fisiknya seperti mereka. "Eh tapi si anak baru yang jago nyanyi itu juga cantik loh." "Manis....manis....." Yang lain mengangguk-angguk. Hawa yang mendengarnya sedari tadi jadi agak-agak panas kuping sih. Tapi berhubung ia tak mengenal para bocah itu siapa jadi ia tak bisa menceramahi mereka. "Mbak Hawa! Udah jadi nih!" Ia sudah dipanggil. Malam ini sih ia lagi kepengen banget nasi Padang. Jadinya ya belinya nasi Padang. Lalu pulang berjalan kaki menuju kosannya. Kosannya berbeda dengan Renita atau yang lain. Ia sengaja tinggal agak jauh dari kebanyakan anak-anak UGM. Ya justru lebih dekat ke Universitas Veteran sih. Teman-teman satu kosnya juga lebih banyak anak-anak kampus swasta. Anak UGM? Tak ada kecuali dirinya. Kenapa ia tinggal sejauh itu? Tak mengapa. Tak perlu ada alasan selain tempatnya nyaman bukan? Kosannya juga besar dan bersih. Ya intinya sih memang tempat yang enak untuk ditinggali. Ketika berbelok memasuki g**g buntu di mana bangunan kosannya berada, dari kejauhan ia sudah melihat sebuah motor di depan kosannya. Semakin dekat melangkah, ia semakin terkejut. Orang ini ia telepon dan kirimi pesan sejak pagi tak dibalas. Tiba-tiba sudah di sini. "Iiih!" Ia langsung menamparnya. Lelaki itu terkekeh. "Kamu tuh kebiasaan deh. Nongkrong atau apa lagi hari ini sampai gak berkabar?" "Biasa lah. Ada agenda sama anak-anak. Yang ukhti gak kumpulkan?" "Gak ada kabar dari ketuanya juga." Yang dimaksud tentu saja Zahra. Ya jadi ia tak tahu. Lelaki ini berdeham. Ia juga menjabat sebagai ketua untuk laki-laki. Ahmad kan sudah turun jabatan. Kini ia yang pegang. Ahmad memang ingin pensiun dari dunia organisasi mereka dan memilih untuk fokus dengan yang lain. "Ngapain?" Walau ia senang karena cowok ini ke sini. "Ada orang gak?" Keduanya sama-sama menatap ke arah motor-motor yang terpakir di garasi. Ya kan dari gerbang itu langsung terlihat parkirannya. Ada motornya juga. "Eung....aku lihat dulu. Tapi biasanya pada keluar sih." Berhubung ini malam minggu. Kalau ia? Mana mungkin keluar lah. Apalagi bersama lelaki ini. Kalau ketahuan anak-anak kampus yang mereka kenal bagaimana? Tapi ya biasanya juga bisa diakali sih. Mereka kan selalu memakai motor masing-masing untuk keluar bersama. "Mau makan di luar? Aku bekum makan." "Aku udah beli makan. Kamu beli aja tuh di sana. Aku tungguin sambil mastiin ke atas dulu." Ia mengangguk. Hawa membiarkannya memutar balik motor menuju rumah makan Padang yang dimaksud olehnya. Siapa cowok itu? Apa hubungan dengannya? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN