Di Balik Ilalang

2036 Kata
"Kalau boleh tahu, sosok yang bagi mas Ahmad paling berjasa untuk menjadikan mas di posisi saat ini, siapa?" Ia sempat terdiam. Wawancara sudah berjalan selama lima belas menit. Ia tak bisa lama karena memang harus segera bergabung dalam penyambutan anggota baru BEM kabinet baru tahun ini. "Almarhum ayah saya," ujarnya pelan. Ada alasan juga kenapa Ahmad masuk intel dua tahun lalu sembari meneruskan kuliah di sini. Tak menjadi masalah. Karena ayahnya dulu juga melakukan hal yang sama. Alasannya bergabung? Mencari tahu kebenaran soal ayahnya yang katanya sudah meninggal namun ia tak pernah percaya. Ia tahu kalau ada yang mungkin tak beres di dalamnya dan ia memilih untuk mengambil resiko. Veronica sempat terdiam mendengar jawaban itu. Bukan jawabannya yang menarik perhatian melainkan raut wajah Ahmad yang tampak berbeda ketika menyebutkan soal ayahnya yang memang sudah meninggal. Ya kan tadi menyebutkan almarhum bukan? "Lalu apa rencana mas Ahmad ke depannya? Kan tahun depan sudah lulus nih, mas. Mungkin mau mengembangkan sesuatu atau meneruskan cita-cita menjadi diplomat?" Ahmad berdeham. Ia mengalihkan pikirannya dari sosok ayah yang tentu saja masih sangat membekas di dalam hatinya. Bagaimana tidak? Ia hanya berdua dengan ibunya. Walau masih ada keluarga besar yang sangat mendukung mereka. "Kalau itu, masih belum tahu. Yang jelas fokus saya sekarang adalah menunaikan tugas di BEM dan juga perkuliahan." Ia enggan membeberkan rencananya. Meski ia juga tahu ia harus apa. Ia harus menjadi intel bukan? Walau tentu saja ia sedang mencari jalan untuk mewujudkan keinginannya menjadi diplomat. Ia sebensrnya ingin hidup normal seperti yang lain. Namun tentu saja sulit. Kehidupannya sejak awal memang tak pernah sama karena ayahnya memang bukan orang yang akan diam saja melihat banyak kezaliman. Tapi ia tak mau menyerang sendirian seperti ayahnya. Veronica mengakhiri sesi wawancara. Ia juga tak enak hati kalau harus melanjutkan lagi dengan beberapa pertanyaan. Karena ia melihat sendiri bagaimana raut wajah Ahmad sekarang. Ia berdeham. Setidaknya ingin bertanya sesuatu hal sebelum berpamitan tetapi lelaki itu malah berpamitan lebih dulu. Ia hanya bisa mengangguk. Ia memang tertarik dengan sosok Ahmad. Kenapa? Karena kepribadiannya sih yang menurutnya agak misterius namun menarik. Ia tak tahu kenapa begitu penasaran. Walau Ahmad sudah melangkah jauh, ia masih menatapnya. Lain kali, ia akan mencari kesempatan untuk lebih mengenal Ahmad. Ia merasa tak ada salahbmnya kok. Sosok Ahmad yang religius baginya juga istimewa. Meski jelas keyakinan mereka saling bertentangan. Rapi baginya, itu bukan masalah. Karena yang menarik baginya adalah sosok Ahmad bukan keyakinan Ahmad. Ahmad masuk ke dalam aula yang sudah gaduh. Tahu-tahu ia melihat Salwa sudah berdiri di depan sana. Tampaknya akan bernyanyi. Keberadaan videonya tentu saja sudah tersebar meski belum sampai sehari. Di sini ia diminta untuk bernyanyi lagi diiringi Fathur, sang ketua BEM, yang memainkan gitar. Yang semakin seru bagi anak-anak di sini. Setidaknya, pikiran Ahmad juga turut teralihkan dari sini. Ia tersenyum melihat Salwa di depan sana dan sudah mulai menyuarakn suara emasnya. Yaa ia juga tak pernah tahu sih kalau Salwa bisa bernyanyi. Banyak hal yang ia tidak tahu dan entah kenapa, ia ingin mencari tahu. Bagainana caranya? Walau di sisi lain, ia juga merasa berat. Tak ada orang yang ingin menikahi perempuan lalu membahayakannya bukan? Maka ia juga sama. Mengingat apa yang terjadi padanya dan umminya dulu sejak ia kecil, sungguh bukan sesuatu yang bisa dibilang tidak mengerikan. Sungguh sangat mengerikan. Ia tak bisa membayangkan umminya bisa begitu hebat menghadapi semua itu. "Wooooooww!" Suara tepuk tangan bergemuruh dikala Salwa selesai menyanyi. Ya termasuk Ahmad yang matanya juga terfokus pada perempuan itu. Ada yang agak curiga melihat wajahnya yang tersneyum sumringah. Walau kebanyakan cowok di sini juga seperti Ahmad. Namun karena ia sudah melihat Ahmad tampak dekat dengan gadis itu, ia tentu cemburu kan? Dan siapapun perempuan yang dekat dengan Ahmad, ia pasti cemburu. Wajar kan? Namanya juga ada rasa. Ia menoleh ke arah Salwa di depan sana. Ia tak tahu apakah Ahmad benar-bensr tertarik atau tidak. Namun kalau berbicara soal fisik, gadis itu manis. Bahkan sejak awal ia berada di sini, para anak-anak BEM sudah membicarakannya. Ya karena senyuman dan wajahnya yang manis itu. Yang katanya begitu menawan. Tapi baginya tentu tidak kan? Namun baginya perempuan itu seharusnya bukan apa-apa. Hanya pandai bernyanyi. Lantas prestasinya apa? Kalau hanya bernyanyi, ia juga yakin kalau ia bisa. Tapi ia tak mau melakukan itu. Abinya bisa marah besar. Itu bukan sesuatu yang menurut keluarga mereka pantas untuk dilakukan. Ia terus berpikir. Gak mungkin juga Ahmad akan tertarik kan? Lihat saja pakaiannya. Itu memang tak ketat tapi gadis itu ya seperti kebanyakan gadis hijab modis lainnya. Yang baginya tak istimewa. Yang menurutnya salah. Karena seharusnya pakaian muslimah itu tidak yang seperti itu. Baginya memang begitu. Tapi apakah benar? Apakah benar manusia bisa dengan sebegitunya menilai manusia lain berdasarkan kepahamannya? Bukan kah yang berhak menilai itu adalah Allah? Namun ia lupa. Karena ia sedang terbakar cemburu yang datangnya dari setan. Cinta tak seharusnya datang sebelum pernikahan bukan? Sementara bagi Ahmad? Ia tak melihat bagaimana Salwa berpakaian. Ia tak melihat itu. Ia hanya mengikuti hatinya maka baginya cukup. Sesuatu yang sulit diukur dengan penilaian manusia bukan? Bagaimana bisa mengukur hati manusia? @@@ "Waah.....turun gunung juga akhirnya." Ada yang menyapanya dari belakang. Ia sedang mengobrol dengan yang lain. Ya berkenalan. Berhubung temannya juga sedikit. Berkenalan dari teman-teman baru yang berasal dari jurusan yang berbeda-beda. "Eeh....kaak." Agak-agak kaget. Meski sedari tadi juga ia sudah melihat Fathur. Fathur juga yang membuatnya naik dan bernyanyi tadi. Ia tadinya juga mau menyapa tapi Fathur tampak sibuk berbicara juga dengan yang lain. Akhirnya ia mundur. "Selamat bergabung di BEM, Sal. Aku kirain gak ikut loh." Salwa terkekeh. "Ikut dong, kak." Fathur menahan senyum. Baru mau bicara eeeh Ahmad masuk. Hahahaha. Ikut mengajak bicara Salwa. Fathur bukan cemburu. Hanya kaget saja karena Ahmad bisa mengenal Salwa. Kok bisa? "Oh...kenal juga, Mad?" "Sama Salwa?" Ia mengangguk. "Mas Ahmad itu temennya bang Said, kak," ujar Salwa. "Oooh. Dunia sempit ternyata." Ahmad terkekeh. Ya begitu lah asal-usulnya. Ia juga tentu saja bertanya bagaimana Fathur bisa mengenal Salwa. Satu-satunya jawaban ya karena lelaki itu adalah kakak kelasnya Salwa di SMA yang sama. Ia benar-benar baru tahu. Jadi lah itu obrolan bertiga. Hahaha. Padahal tadinya Fathur mau menanyakan nomor ponsel Salwa. Karena ada Ahmad, ia mengurungkan niatnya. Takut terlihat jelas kalau menyukai Salwa. Sementara ia tak menangkap kalau Ahmad mungkin bisa menjadi pesaingnya. "Langsung pulang?" Hanya Ahmad yang akhirnya berjalan bersamanya menuju parkiran. Fathur tadi sudah dipanggil oleh yang lain. Ia juga sibuk sij. Tapi kalau hanya sebentar begini ya masih sempat lah. Toh hanya mengobrol saja kok dengan Salwa. Ya mumpung bertemu. Mungkin juga akan sering bertemu di sini? Ya kita lihat saja. Hahaha. "Iya, mas. Ada banyak tugas soalnya." Ahmad mengangguk-angguk. "Berarti hanya dua tahun di sini?" "Yaaa. Kan memang studinya begitu." Ahmad mengangguk-angguk. Salwa menoleh ke arahnya sembari mengenakan helm. "Mas Ahmad gimana? Kan tahu depan udah lulus tuh." Abangnya juga sih. Tapi setahunya ya abangnya sih berencana melanjutkan kuliah lagi. Mungkin juga meneruskan papanya. Ya pekerjaan sebagai seorang intel. Tapi ia juga tak tahu aoa pasti atau tidak. Kalau ia? Sebagai calon arsitek, ia hanya meneruskan perusahaan arsitek papanya. "Kerja sih." Salwa tertawa. Ia meras abertanya bodoh. Tapi Ahmad juga terkekeh. "Banyak hal yang harus dilakukan sih, Sal. Kamu gimana? Begitu lulus akan meneruskan ayahmu?" Ia mengangguk. "Emang gak ada pilihan lain juga." Ahmad terkekeh. Ya Said juga bilang sih semalam soal itu. Karena Said sendiri merasa tak mampu menggambar. Ia tak punya banyak jiwa seni. Berbeda dengan Salwa. "Ya udah. Aku balik dukuan yo, mas." "Ya, hati-hati. Kalo jatuh, langsung berdiri ya?" Salwa terkekeh. Gadis itu memundurkan motornya dan dibantu Ahmad. Lalu menyalakan mesin motornya. Tak lama ia sudah melaju dengan motornya. Baru kemudian kembali ke ruangan BEM untuk bertemu teman-teman yang lain. @@@ "Benerkan kata aku, Re. Dia itu yang cewek nyanyi itu. Si anak arsitek." Ia juga sudah tahu saat tadi melihatnya menyanyi di depan mata. Padahal, ia mengira kalau ia yang mungkin akan diajak maju ke depan meski tak bisa menyanyi. Tapi ternyata bukan dirinya. Ya iya lah. Ini jelas acara untuk anak baru kan? Namun ia memang selalu haus perhatian. "Mas Ahmad kayaknya emang deket deh sama dia, Re. Sampai diantar ke parkiran tuh. Kamu aja belum pernah. Iya kan?" Bahkan Ahmad cenderung menghindarinya kalau urusannya tak penting-penting amat. Ia jadi sebal. Kan sudah cantik negini masa gak suka sih? "Cakepan kamu kok, Re, tenang aja." Ya. Tapi tetap saja ia sebal. Karena ia tak suka kalau ada saingan. Ketika ia menoleh ke arah gadis lain yang tampak mengobrol dengan anggota BEM lainnya, ia senewen juga. Karena gadis itu yang selama ini menjadi pesaing besarnya. Mana dikabarkan kalau keduanya akan tunangan. Ya kabar itu sih didengar dari teman-temannya gadis itu. Walau ia sudah bertanya pada teman-teman dekat Ahmad dan tak ada yang mengiyakan. Justru kaget mendengar rumor itu. Karsna Ahmad sendiri menyangkal di depan mereka. Ahmad juga bingung bagaimana rumor semacam itu bisa tersebar. "Mas!" Ia segera memanggilnya begitu Ahmad kembali. Tapi Ahmad malah berjalan ke arah lain. Hal yang membuat Renita ditertawakan teman sendiri. Kontan saja ia dongkol. "Tuh kan. Dia tuh selalu gitu kalo aku yang manggil. Pasti pura-pura gak denger." Ia kesal. Sebenarnya teman-temannya juga sudah tahu kalau Ahmad tampak tak tertarik dengannya. Tapi mau bagaimana ya? Kan mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Sudah berkali-kali juga bilang kalau mengejar Ahmad itu susah tapi yang namanya Renita ya semakin merasa tertantang. Semakin penasaran. Semakin ingin mengejar. Ahmad tentu tahu jadi menhhindar. Soal Zahra juga sama. Meski ia belum begitu yakin karena Zahra tak tampak agresif seperti Renita yang justru membuatnya risih. "Susul aja gih. Paling juga ngobrol doang itu. Bukan yang penting." Ia didorong untuk segeramenyusul langkah Ahmad. Ia buru-buru beranjak sebelum disalip yang lain. Bahu Zahra ditepuk oleh salah sagu temannya. Laku menunjuk ke arah Renita yang sudah memanggil Ahmad. Ahmad sempat menoleh. Tapi sialnya, justru Hawa yang menghalanginya kali ini. "Anak-anak udah pada kumpul sama divisinya masing-masing." Ia diingatkan. Tapi wajahnya tampak masam. Renita mendengus. Ia terpaksa berbelok mengikuti Hawa. Teman-temannya yang lain jelas langsung memanggilnya. "Lah gimana dah si Re? Kok malah ikut nenek lampir itu?" @@@ Rumah kontrakannya sepi. Iya lah. Lagi sibuk di warkop. Sementara ia malah hendak ke kampus sebentar untuk mengambil barangnya yang ketinggalan di ruang BEM. Ia pergi ke sana dan masih menemukan beberapa orang di ruangan BEM. Lalu kembali ke parkiran begitu selesai. Ia juga hendak mencari makan dulu sebelim kembali ke kontrakan. Ia berbelok menuju area asrama. Ya masih lurus dari situ akan masuk ke perumahan di mana ia mengontrak. Namun dari sebelah kiri, ia mendengar suara perempuan yang tampak menangis. Ada juga suara bentakan meski bisik-bisik. Anehnya kan di sebelah kiri itu hanya ilalang. Ia sempat memelankan motornya namun tak melihat ada orang. Akhirnya melajukan motornya lagi. Tapi kemudian ia berhenti lagi. Karena matanya tertuju pada motor yang terparkir di pinggir jalan. Ya pas di persimpangan. Hanya ada sebuah motor dan entah ke mana pemiliknya. Namun Ahmad sungguh familiar dengan pemilik motor itu. Ia sungguh mengenalnya. Dan lagi, lokasi ini juga yang sering ia lewati dan melihat Nayla dan..... Ia akhirnya turun. Ya mencoba masuk ke area lahan kosong dan ditumbuhi ilalang itu. Setahunya ada semacam gazebo di dalamnya yang meski sudah terbengkalai tapi masih bisa digunakan. Terutama untuk...... Kakinya sempat terhenti sebentar. Ia melihat bagaimana Peter entah melakukan apa karena memang sedang duduk membelakanginya. Namun tepat di depan Peter, ada seorang perempuan yang kalau dilihat dari depan, sebenarnya sedang berusaha menarik tangan Peter dari tubuhnya. Walau tubuhnya benar-benar direngkuh penuh dari belakang. Namun cowok itu tentu saja memaksa. Ia memegang sesuatu yang tak seharusnya. "Kamu kenapa sih?" Ia heran. Karena biasanya Nayla tak pernah seperti ini. Maksudnya agak melawan. Biasanya kan pasrah meski menangis. Karena selalu takut dengan ancamannya. Tapi ini? "Aku lagi haid, Peet!" "Aku lihat makanya! Kamu sering bohongin aku!" Ia berusaha membuka celananya. Tapi Nayla terus menjauhkan tangannya. Ahmad yang hanya mendengar saja rasanya seperti mendidih. Ia perduli pada Nayla. Sebenarnya gadis itu baik. Namun mungkin salah memilih pasangan karena keteledorannya sendiri. Alih-alih bahagia malah masuk lembah hitam. Ia menangis saat tangan itu menerobos begitu saja. Peter sudah menduga kalau ia berbohong. Bertepatan dengan itu, Ahmad menarik kerah belakang Peter hingga cowok itu jatuh terjengkang. Nayla buru-buru berdiri dan menutup tubuh bagian depannya. Ia panik dan tak berani menoleh ke belakang sama sekali. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN