Kinara Gantari. Seorang wanita cantik kelahiran Jawa Barat, Indonesia, yang memiliki nama korea Kim Na Ra. Terpaksa tinggal di Seoul, Korea Selatan, sejak berusia sepuluh tahun, setelah dijadikan jaminan piutang oleh sang ayah kandung yang hartanya habis tak bersisa karena judi. Belum lagi, harus menjadi bulan-bulanan warga akibat kasus penipuan yang dilakukan ibunya.
Harus tinggal di sebuah panti asuhan daerah Pyongyang milik sang kreditur, yang isinya adalah para penjamin asal Indonesia, Malaysia, juga Singapura, yang berusia sekitar 4 sampai 12 tahun. Namun, entah kenapa, Na Ra malah merasa bahagia tinggal di tempat tersebut, karena ia bisa mendapat ketenangan dan kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
Ya ... Kisah masa lalu yang cukup ironi, hingga berhasil menghancurkan memori masa kecil yang seharusnya menjadi kenangan terindah bagi setiap anak untuk dikenang. Akan tetapi, sampai detik ini, Na Ra masih berusaha meyakinkan dirinya, dan mengambil sisi positif, bahwa semua yang terjadi di usianya sepuluh tahun–saat sang kreditur membawanya ke negara lain, adalah takdir terbaik dari Tuhan agar ia bisa terbebas dari keluarga toxic, beserta lingkungannya.
Setelah penculikan yang dialami beberapa waktu lalu, kini Na Ra hanya bisa duduk termenung di tempat tidur meratapi nasib yang menimpanya. Menunduk, dan membenamkan wajah di atas lutut yang terlipat, sembari menghela napas berulang kali. Apalagi, kala mimpi buruk dari masa lalu yang sudah susah payah ia kubur dalam-dalam, malah kembali berputar dalam ingatan.
Dia bahkan tidak peduli pada kehadiran seorang wanita cantik berambut pendek, yang saat ini sudah duduk di tepian tempat tidur, memperhatikan dirinya.
“Apa yang terjadi? Mengapa pakaianmu lusuh seperti ini?” tanyanya.
Masih dalam posisi yang sama, Na Ra menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya terjatuh saat ingin mengambil foto untuk berita,” jawabnya berbohong, terdengar sangat lirih.
Wanita itu berdecak. “Kau tidak pandai berbohong, Na Ra. Jadi, sia-sia saja kau melakukan hal itu.”
“Hee Jin, aku benar-benar merasa buruk hari ini,” gumam Na Ra di sela helaan napasnya.
Sahabat, sekaligus teman satu kamar Na Ra itu seketika mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi?”
Perlahan, Na Ra mengangkat kepala, menatap Hee Jin dengan tatapan kosong. Air matanya seakan sudah mengering, hingga tersisa sorot keputusasaan di dalamnya. “Geunyang ....”
*(Aku hanya ....)
“Apa ada seseorang yang melukaimu? Atau ... Mengancammu?“ tebak Hee Jin, mengingat berita yang sahabatnya buat, menjadi trending topik di berbagai media sosial.
Na Ra membulatkan mata. “Bagaimana kau mengetahuinya?”
“Jadi, tebakanku benar?” Bukannya menjawab, Hee Jin malah balik mengajukan pertanyaan.
Dengan wajah memelas, Na Ra mengangguk pelan. “Ya, kau benar.”
“Apa karena berita yang kau tulis?” tebak Hee Jin lagi, dan dijawab oleh anggukan kepala.
“Dennis Oh?” tanyanya lagi.
Na Ra semakin membulatkan mata. “Apa kau cenayang? Bagaimana kau mengetahuinya?”
Hee Jin melempar boneka besar milik Na Ra, tepat ke wajah wanita itu. “Dasar bodoh! Beritamu menjadi spotlight! Mana mungkin aku tidak mengetahuinya!”
Na Ra kembali melemas. “Ah, ya ... Kau benar, Hee Jin.”
“Jadi, benar, Dennis Oh yang mengancammu?“ tanya Hee Jin lagi meyakinkan.
Na Ra mengangguk.
“Isi berita yang kau tulis benar-benar hanya tertuju padanya saja. Bahkan, secara terang-terangan, kau melibatkan O’Neil Chemical di dalamnya, dan menerakan nama lengkapmu, tanpa inisial. Menurutku, itu terlalu berani. Mustahil jika Dennis Oh hanya berdiam diri saja ketika berita tentangnya menjadi topik hangat di setiap penjuru negara,” jawab Hee Jin.
“Aku terlalu bersemangat, hingga melupakan hal itu,” sahutnya penuh sesal.
Hee Jin menghela napas. “Kau benar-benar gegabah dalam memilih lawan, Kim Na Ra. Dennis Oh terlalu berkuasa untuk orang-orang kecil seperti kita.”
“Aku menuliskan berita tersebut, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh narasumber. Tidak ada yang dilebih-lebihkan, atau dibuat-buat. Apa aku tetap bersalah?” tanya Na Ra.
Hee Jin mengangguk. “Jika Dennis Oh menyangkal semua berita buruk tentangnya yang sudah beredar, dan melaporkan kepada kepolisian atas pasal pencemaran nama baik, sudah jelas, kau akan kalah. Apalagi, tanpa adanya bukti penguat.”
Na Ra mengacak rambutnya dengan frustasi. “Jika saja Tuan Park tidak terus menerus menekanku untuk mendapatkan berita eksklusif yang sedang memanas, aku tidak akan mungkin melakukan semua itu, Hee Jin. Kau bahkan tahu itu.”
“Tua bangka itu benar-benar selalu menyulitkanmu. Aku sangat membenci dia!”
“Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Na Ra mulai terdengar putus asa.
Hee Jin terdiam, nampak berpikir keras. “Apa kau sudah mencoba untuk bertemu dan bernegosiasi dengannya?”
“Tanpa harus aku yang meminta untuk bertemu, dia bahkan sudah lebih dulu menculikku, Hee Jin.”
Mendengar jawaban sang sahabat, Hee Jin seketika membelalak. “K-kau diculik?” tanyanya meyakinkan pendengaran.
Na Ra mengangguk. “Ya. Tetapi, dia melepaskanku kembali. Entah aku harus merasa senang, atau sedih. Aku benar-benar bingung.”
“Apa yang dia katakan? Bernegosiasi denganmu?” tebak Hee Jin lagi.
Karena tebakan Hee Jin selalu benar, Na Ra pun seketika memincingkan kedua sudut matanya. “Apa kau salah satu tangan kanan Dennis Oh?” tanyanya.
“Astaga, bisa-bisanya kau berpikir seperti itu. Apa kau sudah gila?!” teriak Hee Jin sembari menyentil kening Na Ra cukup kencang, hingga membuat wanita itu meringis kesakitan.
“Ah ... sakit sekali!” gumamnya pelan, bahkan hampir tak terdengar.
Hee Jin mendelik. “Kau pantas mendapatkan itu agar kembali pada kesadaran penuh, Na Ra!”
“Aku hanya bertanya, karena kau selalu menebak dengan benar. Apa salahku?” gerutu Na Ra kesal.
“Salahmu adalah berurusan dengan seseorang berkuasa seperti Dennis Oh, yang bahkan bisa membeli putusan hakim sekalipun. Jadi, untuk menyingkirkan orang kecil seperti kita bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Cukup dengan satu panggilan telepon saja, semua bisa hancur sampai ke akarnya. Bukankah itu sudah menjadi rahasia umum? Dangkal sekali pikiranmu!” jelas Hee Jin. Rupanya, wanita itu bisa menebak dengan benar karena berpikir menggunakan logika.
Na Ra terdiam sejenak, mencerna perkataan sahabatnya. “Ya, kau benar. Bahkan, orang awam pun pasti akan berpikir hal yang sama denganmu, jika membaca berita yang kubuat kemarin,” ucapnya melirih.
“Apa dia menawarkan sesuatu padamu?” tanya Hee Jin lagi. Cukup dibuat penasaran dengan masalah yang sedang dihadapi oleh Na Ra.
Wanita itu mengangguk. “Ya. Dennis Oh sempat bernegosiasi denganku siang tadi, agar aku bertanggung jawab atas berita yang sudah tersebar sejak kemarin malam.”
“Lalu?”
Na Ra melemas, dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan mata menatap lurus tanpa arah. “Aku menolaknya, hingga membuat Dennis Oh semakin marah.”
“Kau sudah melewatkan kesempatan emasmu, Na Ra. Hidupmu benar-benar akan tamat kali ini!” balas Hee Jin.
Perlahan, mata wanita itu mulai terpejam, mengingat kejadian malam lalu, ketika dirinya menyamar sebagai pramusaji, dan berakhir tidur bersama pria b******k yang ternyata adalah sang pemeran utama dalam badan beritanya.
Ya ... Meskipun saat itu kondisi keduanya mabuk berat, harus Na Ra akui jika dirinya masih bisa merasakan pangutan bibir manis Dennis Oh, yang berhasil membuatnya melayang. Tidak ada kesan pria gay, seperti yang dituduhkan oleh istrinya–Kim Ae Ri. Bahkan, wanita itu pun sempat dibuat goyah oleh perasaan yang dibawa Dennis Oh ketika mengingat semuanya.
Apa-apa saja yang pria itu katakan, apa-apa saja yang pria itu lakukan, termasuk desahan berat nan sensual yang diperdengarkannya. Cara dia bermain intim pun begitu lembut, hingga berhasil membuat Na Ra terbuai, dan sulit untuk menolak. Lalu, harus dengan cara apa lagi meyakinkan diri, jika Dennis Oh benar-benar seorang pria gay?
Menyadari dia baru saja melamun memikirkan pria gay yang mengambil keperawanannya itu, Na Ra seketika merutuki dirinya, dan memukuli kepalanya pelan. ‘Sadarlah, Kim Na Ra! Kau bisa benar-benar menjadi gila jika memikirkan itu!’
Di waktu bersamaan–di tempat lain, Dennis Oh yang baru saja selesai membersihkan diri, segera berjalan memasuki kamar, dan mengambil ponsel di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.
Duduk di tepian tempat tidur pribadinya, hingga suara bariton seorang pria pun terdengar dari seberang telepon sana.
“Ada apa kau menghubungiku malam-malam begini?” tanyanya.
Sembari memijat keningnya yang berdenyut nyeri, Dennis Oh menjawab, “bagaimanapun caranya ... segera hentikan berita buruk tentangku, dan tarik semua artikelnya dari media sosial dan laman berita! Tuntut media-media tersebut atas pencemaran nama baik. Termasuk NJT Media!”
“Apa beritanya sudah sampai ke telinga komisaris?” tebak pria itu.
Dennis Oh menghela napas. “Aku rasa begitu.”
“Sepertinya, ini tidak akan mudah,” balasnya.
“Ya, aku tahu itu. Apalagi, Ayah sedang memiliki project khusus untuk memperluas jaringan O’Neil Grup,” jawab Dennis Oh.
“Pergilah, dan temui komisaris di London. Jelaskan kepada beliau, apa yang sebenarnya terjadi. Untuk urusanmu di sini, serahkan semuanya padaku!”
Dennis Oh menatap foto pernikahannya dengan Kim Ae Ri–begitu tajam, sembari mengepalkan kedua tangan. Penuh amarah, penuh kebencian. “Johan, perintahkan anak buahmu untuk segera temukan Ae Ri dalam keadaan hidup, dan bawa wanita jalang itu ke hadapanku sebelum matahari terbenam!”
“Dennis–“
“Jangan bertanya apapun, dan ikuti saja perintahku!”
***