Malam ini adalah malam bahagia baginya, sudah satu minggu dia memutuskan berhenti. Dan lebih bantah mencari uang dengan pekerjaan part time. Entah dari mana hari ini dia mendapatkan rejeki nomplok dari orang yang tidak dikenalnya kemarin. Tidak diduga-duga Yeri akan mempunyai pelanggan kaya hari ini. Dan itu sangat mengasyikkan baginya. Apalagi dia akan menyewa jasa kencannya setiap saat, uang akan terus mengalir di tangannya.
Selesai mandi, Yeri segera berdandan mempercantik dirinya, memakai gaun selutut berwarna putih, yang sangat indah dengan renda-renda di belahan dadànya. Setelah melihat dirinya yang begitu pas dengan.
Cantik juga aku, tapi kenapa tidak ada boss kaya yang melirikku. Apa aku kurang cantik? Atau apa badanku kurang bagus." Yeri berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin, sembari melenggak lenggokkan tubuhnya, memutarnya, melihat setiap inci, sudut, dan setiap lingkar tubuhnya. Apa sudah pas dengan gaunnya atau tidak dengan bajunya di depan semua orang.
Merasa sudah pas, Yeri segera duduk. merias wajahnya dengan bedak, tak lupa lips untuk bibir mungil tipis miliknya. Merasa sudah pas dengan make up sederhana. Yeri beranjak berdiri, mengambil tas milikinya, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.
Sampai di ruang tamu, langkah Yeri terhenti di saat seseorang menghubunginya.
Drttt.. Drttt...
Getaran dari ponselnya membuat langkah Yeri terhenti. Dia mengambil ponselnya, melihat nomor pelanggannya itu lagi yang menghubunginya membuat dia kegirangan seketika. Tak sabar membuka ponselnya dan mulai bisa melihat wajah tampannya nanti itu.
"Aku tunggu kamu di alamat yang aku berikan di atas. Dan ingat jangan sampai telat,"
Yeri mengerutkan keningnya, bibirnya semakin menguntupkan bibirnya kesal. "Kenapa dia tidak mau jemput aku," decak kesal Yeri. "Kalau aku keluar nanti jalan kaki… emm.. Nanti, gimana dengan make up ku.. Tidak! Tidak, bisa.. bisa make up ku berantakan sampai tujuan." gerutu Teri menggaruk kepala belakangnya yang tidak terasa gatal sama sekali.
Yeri segera membalas pesan laki-laki itu. Agar dia datang langsung ke rumahnya. dan tidak menunggu lama dia membalas pesan Yeri. Dan menyetujui jika dia akan datang ke rumahnya.
Semoga dia laki-laki tampan, siap tahu melirikku. Meski hanya sekilas saja. Apalagi kalau dia mau mendekatiku. Dengan senang hati aku akan menerimanya. Gumam Yeri, mengembangkan bibirnya, dan beranjak pergi menuju depan rumahnya. Yeri beranjak duduk menunggu jemputan mobil mewah dalam pikirannya itu.
Hanya butuh lima belas menit menunggu, Sebuah mobil sport warna merah itu berhenti tepat di depan rumahnya. Perlahan kaca mobil terbuka, pandangan Yeri tak lepas melihat wajah tampan di depannya.
"Naiklah!"
Yeri berdiri dengan mata berbinar, takjub dengan pemandangan indah di depannya. Laki-laki tampan dengan mobil mewahnya menjemput dirinya.
Apa aku sedang mimpi?" gumam Yeri, mencubit lengannya.
"Aw---"
"Ternyata sakit! Berarti ini tidak mimpi? Tapi ini seakan hal tabu bagiku." gumam Yeri, menggelengkan kepalanya masih tidak percaya.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" ucap laki-laki itu, yang masih di dalam mobil, dengan tangan kiri membuka pintu mobilnya.
"Sekarang?" tanya Yeri bengong, menunjuk dirinya sendiri.
"Gak usah, tahun baru saja." canda laki-laki itu. "Ya, sekaranglah. Memangnya nunggu kapan lagi?"
Yeri terkekeh kecil. "Oke, fix, ya. Aku naik mobil kamu sekarang, kamu gak keberatan, kan? Atau nanti kamu menyesal lagi kalau aku naik di mobil mewah kamu ini,"
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, menarik dua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Kamu benar-benar lucu, ya. Aku yang menghubungi kamu buat temani aku ke pesta." ucap laki-laki itu. "Ya, pastinya aku tidak masalah."
Yeri menelan ludahnya gugup, dia mengibaskan ke dua tangannya ke depan.
"Aku wanita gak punya apa-apa, lo. Jadi jangan goda aku. Atau sampai suka denganku."
Laki-laki itu tidak berhenti tersenyum, dia menepuk jidadnya harus berhadapan dengan wanita seperti dia.
"Aku benar-benar harus ekstra sabar," ucap laki-laki itu.
Yeri mengerutkan keningnya bingung,
"Sabar? Siapa dia? Tetangga aku tidak ada, yang namanya sabar. Dia gak ada di sini," ucap Yeri membuka pintu mobilnya? dan duduk memberikan posisi seenak mungkin untuk duduk.
"Astaga, siapa yang tanya tentang sabar, memangnya siapa yang namanya sabar di sini?"
"Ya, mana... aku tahu."
"Aku bilang harus sabar jika menghadapi kamu."
"Sabar? Dia tidak pernah mengahadapiku."
Laki-laki itu berdecak kesal dalam hatinya, menghela napasnya. "Kenapa kamu, oon, gitu?" ucap laki-laki itu menghina.
Yeri tertawa kecil melihat ekspresi wajah laki-laki itu yang sudah benar-benar datar tanpa senyum Seakan dia perlahan mulai ilfil dengan nya.
"Jangan di anggap serius, aku hanya bercanda." gumam Yeri, menepuk bahu laki-laki di sampingnya itu.
"Udah ayo jalan," lanjutnya.
"Pakailah dulu sabuk pengaman kamu,"
Laki-kaki itu merah seat belt Yeri.
Membuat Yeri mengerutkan keningnya, dia menatap gugup wajah yang perlahan semakin dekat di depannya itu. Seketika wajahnya tertunduk mencoba mencari seat belt di sampingnya dengan tangan gemetar.
"Di sini?" ucap laki-laki itu, memasangkan seatbelt menyilang di tubuh Yeri, membuat tubuhnya semakin gemetar gugup. Wajahnya begitu sempurna di hadapannya.
"Jangan terlalu gugup menatapku." gumam laki itu.
Yeri menarik kepalanya sedikit ke belakang. "Kenapa?"
"Awas jika kamu suka denganku," bisik laki-laki itu. Menepuk bahu Yeri, hembusan napas beratnya perlahan mengalir di pipi kirinya menjalar sekujur tubuhnya.
"Namaku Gio Wijaya. Panggil aku Gio," bisiknya lembut.
Suara lembut Gio seakan menggetarkan hati Yeri, membuat wanita itu tertegun, menatap ke depan dengan wajah kosong. Bahkan pikirannya sudah terbang melayang jauh penuh dengan kesenangan.
Gio hanya tersenyum, dan kembali di tempatnya. Perlahan Gio mulai melaju dengan kecepatan sedang keluar dari halaman rumah Yeri, dan membiarkan dia masih melamun dengan fantasinya.
"Jangan kebanyakan menghayal, kalau kamu ketagihan gimana? Apa kamu mau hidup dalam dunia khayalan."
Yeri yang mendengar hal itu, dia segera membangunkan dirinya dari lamunannya. Menatap cepat ke arah Gio.
"Maksud kamu?"
"Apa kamu mau hidup dalam dunia khayalan?"
"Lebih indah di dalam dunia hanyalah yang jauh dari ekspektasi sendiri. Apalagi bisa hidup dalam dunia n****+, yang ujungnya berakhir bahagia." jawab Yeri, menatap ke atas, tak hentinya Yeri terus ber-ekspektasi.
"Lebih baik jalani dunia nyata yang jauh lebih mengasyikkan," sambung Gio
"Apa asyiknya? Hidup aku terlalu monoton." jawab Yeri.
"Apa perlu aku masuk dalam dunia kamu,"
Yeri menatap ke arah Gio, mengerutkan wajahnya bingung dengan ucapannya. "Apa kamu sadar?"
"Sangat sadar!" ucap Gio. "Memangnya kenapa?" tanya lagi.
"Gak apa-apa, aku hanya bingung kenapa kamu bisa bicara seperti itu."
"Jangan bilang kamu baper," goda Gio tersenyum samar.
Yeri mengatupkan bibirnya. "Yee... Sapa juga yang, baper. Lagian aku hanya tanya." ucap kesal Yeri.
Gio terkekeh kecil.
"Oya, nama kamu siapa?" tanya Gio.
"Jadi dari tadi kamu menghubungiku belum tahu namaku?" tanya Yeri heran.
"Belum tahu nama lengkap kamu,"
"Buat apa tanya nama lengkap,"
"Biar nanti gampang, kalau aku belajar ucap ijab kabul, dengan kamu?"
Wajah Yeri merah malu seketika, dia melebarkan matanya tak percaya.
"Basi!"
"Memangnya makanan basi,"
"Aku serius," ucap Gio, melirik sekilas ke arah Yeri. Kemudian kembali fokus dengan kemudi mobilnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Gio.
"Yeri Angelista." jawab datar Yeri.
"Nama yang begitu indah, seindah orangnya." goda Gio, tersenyum mengarah pada Yeri.
Wajah Yeri semakin malu dibuatnya, sia memegang dadanya yang merasa sudah mau copot di buatnya. Bahkan rayuannya membuat jantung dan hatinya terus memberontak ingin sekali keluar.
Gio memegang tangan Yeri yang berada di dadanya. Tanpa sadar nalurinya membuat Yeri menepis kasar tangan Gio dari tangannya.
"Maaf! Maaf!"
"Tidak masalah," ucap Gio.
"Oya, nanti kamu berakting seperti kamu biasa menemani laki-laki untuk kencan. Dan aku tidak mau jika kamu berulah di sana." jelas Gio. Perjalanan mereka hampir sampai di rumah mewah milik kakaknya. Dan Gio memang sengaja ingin mengenalkan seorang wanita untuk kakaknya, yang sudah lama tidak punya kekasih. Dan semua rencana sudah diatur sedemikian rupa, agar mereka bisa dekat.
"Baiklah!" jawab Yeri.
Mobil Gio sampai di halaman rumah mewah, yang kini telah di suguhkan beberapa pelayan yang berdiri tegap menunggu kedatangan Gio, untuk mempersilahkan dia masuk.
Yeri hanya diam, tangannya memegang kaca mobil, menatap dengan bibir membulat melihat rumah yang begitu megah di depannya, dengan pemandangan taman dan banyaknya pelayan di sana membuat dia semakin kagum.
"Silahkan turun," ucap Gio mempersilahkan Yeri untuk turun.
Yeri beranjak turun dengan wajah kosong menatap ke depan. Dengan pikiran melayang.
Apa rumah ini miliknya? Atau temannya? Rumah yang begitu megah dan mewah. Seandainya aku bisa tinggal di sini Pasti ayah aku bisa hidup tenang nantinya.
"Mau sampai kapan kamu berdiri disitu, cepat jalan!" pinta Gio, yang ternyata dia sudah jalan di depannya lima langkah.
Yeri tersentak dari lamunannya, ia berlari kecil menghampiri Gio. Gio menarik tangan Yeri, melingkarkan tangannya masuk ke dalam tangan kirinya. Memeluknya erat membuat dadanya sedikit menempel.
"Bisa jauhkan milik kamu," ucap Gio, wajahnya mulai memerah gugup.
"Apa?" jawab Yeri bingung.
"Itu,"
"Itu apa?"
"Yang dua itu!!"
"Yang mana?" Yeri menoleh ke kanan dan ke kiri tak paham dengan apa yang di maksud Gio.
"Dua benda milik kamu terlalu menempel," ucap Gio menunjuk daerah d**a Yeri, seketika membuat wanita itu diam sejenak, lalu menatap ke bawah melihat dadanya yang memang sangat nempel di lengan Gio
"Aaa... Kamu sudah beraninya menyentuhku,"
"Hello.. Kamu sadar gak, kamu saja yang terlalu menempel."
"Tapi kamu cari kesempatan, kan?" decak kesal Yeri, melepaskan pelukannya.
"Tidak ada di kamus bahasa dalam hidupku untuk menggoda wanita lebih dulu. Kebanyakan yang dekat denganku. Bahkan menawarkan dirinya untuk tidur satu hari denganku."
Yeri memalingkan wajahnya seakan mau muntah mendengarkan rayuan maut Gio.
"Apa yang kamu lakukan, baby!!' gumam Gio.
Yeri menatap Gio, mengerutkan keningnya semakin dalam, membuat garis halus di keningnya. "Jangan terus merayuku. Cepat jalan,"
"Kenapa jadi kamu yang bawel,"
Yeri memicingkan matanya. "Bawel? Siapa juga yang bawel. Aku hanya ingin cepat selesai dan pulang."
"Jangan terburu-buru. Kita nikmati saja malam ini," goda Gio, melangkahkan kakinya pergi, dengan langkah ringan kedua kaki mereka melangkah masuk ke dalam rumah megah itu.