"Apa kamu se gembira itu saya ajak nonton?"
GUBRAK!
"Aduh.. pala gue...," saking terkejutnya Sandra dengan apa yang Abram katakan, dia sampai mundur dan berakhir menabrak rak milik kucingnya.
"Sepertinya kamu memang se gembira itu," celetuk Abram, dia lalu kembali membenahi posisi berdirinya.
Sandra dengan mata menyipit menatap Abram. Dia sangat kesal karena baru saja dikerjai oleh bosnya, dan sekarang Abram justru menunjukkan betapa narsisnya pria itu. Wah...
"Bapak ngaco. Siapa juga yang seneng di ajak nonton sama bapak!" cibir Sandra, saking kesalnya, dia sampai tidak menyadari kalimat apa yang sudah meluncur dari bibirnya.
Abram hanya menatap Sandra datar lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. "Saya beri kamu setengah jam untuk siap-siap, kita akan nonton dan makan siang sekalian di luar."
Sandra bangkit berdiri karena merasa tidak terima disuruh-suruh bahkan dihari liburnya. "Tapi, pak—"
"Sudah 2 menit berjalan, Sandra," kata Abram acuh memotong kalimat Sandra.
Dengan jengah Sandra memutar bola matanya lalu mengehentakkan kakinya dengan kesal seraya berjalan ke arah kamarnya. Bibirnya tak berhenti menggerutu dan mengumpati Abram. Saat hendak masuk ke kamarnya, dia berhenti dan mengulurkan tinjunya untuk memukul Abram, tapi apa daya dia tidak seberani itu. Walau bagaimana pun dari belakang sini Abram tidak akan melihatnya yang sedang berusaha membuat jurus bayangan untuk melenyapkan bosnya itu.
"Saya lihat apa yang kamu lakukan, Sandra."
Sandra terkesiap. Tangannya yang sedang bergerak seakan meninju Abram tertahan di udara. Jantungnya kebat-kebit mendengar apa yang Abram katakan barusan.
"Ba-bapak li-liat?" mata Sandra berubah waspada.
"Dari layar televisi kamu saya bisa liat kamu sedang merencanakan pembunuhan saya," ujar Abram yang langsung membuat Sandra terdiam kaku di tempatnya.
Mata Sandra terbelalak lebar ketika menyadari apa yang Abram katakan benar. Pintu kamarnya dan posisi layar televisinya memang berhadapan. Jika televisi itu menyala jelas bayangan Sandra tidak akan kelihatan, tapi sekarang sialnya televisi itu sedang mati dan memperlihatkan dengan jelas bayangan Sandra disana.
"Sekali lagi saya lihat kamu melakukan itu di belakang saya, kamu akan tahu akibatnya."
Abram dengan mengintimidasi mengatakan kalimat itu pada Sandra. Meski yang Sandra lihat cuma punggung tegap Abram, rasanya punggung itu juga punya ribuan mata pisau yang mampu membuat Sandra menciut di tempatnya.
Ampun...
"I-iya.. pak...," Sandra bergegas masuk ke kamarnya lalu menutup pintunya dengan keras. Masa bodo dia bisa saja mengejutkan Abram.
///
Sandra berdiri kikuk di depan Abram yang ikut mengantre membeli cemilan. Untuk tiket Abram sudah lebih dulu memesannya lewat Aplikasi, hal itu membuat Sandra curiga seolah Abram sudah menyiapkan rencana nonton ini, bukan dadakan seperti tahu bulat.
Sandra menggeleng dan menepis pikiran konyolnya. Tapi sebenarnya yang dirinya khawatirkan adalah keberadaan mereka di bioskop ini. Meski bukan satu-satunya yang ada di Jakarta, tapi bukan tidak mungkin dia bisa bertemu dengan teman se kantornya dan temannya itu akan melihat kalau dirinya di bioskop ini bukan sendirian—oke-oke saja kalau itu pacar atau gebetannya—melainkan dengan Abram, manajernya, bosnya, titisan iblis yang selalu menjadi bahan ghibahnya setiap kali makan siang dengan geng divisi HRD.
Wah... bisa gawat kalo gue ke cyduk lagi jalan sama mahluk satu ini.. apa gue kabur aja, ya?
Setelah berpikir panjang dan matang, Sandra berencana kabur dengan pura-pura ke toilet—kebetulan juga dia kebelet—lalu setelah itu dia akan pergi meninggalkan Abram. Masa bodoh dengan gajinya yang akan dipotong apalagi bonus, pokoknya dia tidak mau kalau sampai ada rekan kerjanya melihat dirinya sedang bersama Abram. BIG NO!
"Mau kemana kamu?" Abram menahan lengan Sandra yang tiba-tiba saja akan keluar dari antrean.
"Saya pengen ke toilet, pak.. kebelet...." Dengan tambahan gestur juga mimik wajah ala-ala kebelet pipis, Sandra berhasil menjalankan setengah misi kaburnya. Dia meninggalkan Abram yang masih berada menunggu 1 orang lagi untuk bisa mendapatkan popcorn, juga minuman untuk menemani nonton film.
Sandra lekas masuk ke bilik toilet dan bernafas lega setelah berhasil sampai disana. Segera dia memesan ojek online untuk semakin melancarkan misi kaburnya. Sekitar 8 menit dia ada di toilet dan keluar setelah membenahi make upnya. Dengan senyum gembira dia melangkah keluar toilet dan langsung belok ke kanan dimana pintu keluar bioskop berada.
"Kamu salah jalan, Sandra."
Sandra langsung mengerem kakinya. Matanya membulat mendengar namanya disebut oleh suara yang dia kenal. Setelah memejamkan mata dan menggerutu atas kesialannya hari ini, Sandra menoleh pada Abram.
"Kenapa kamu mau ke pintu keluar?" Tanya Abram, dia menghampiri Sandra.
"Eh.. itu Pak.. sa-saya lupa...," dia hanya bisa nyengir, apalagi ketika wajah Abram lebih datar dari biasanya.
"Kalau gitu sekarang kita masuk, sudah dibuka pintu teathernya."
Setelah Abram berbalik dan berjalan menuju pintu teather, Sandra mengikuti langkah pria itu dengan berat hati. Wajahnya sudah ingin minta ditolong untuk bisa bebas dari cengkraman Abram di akhir minggunya yang harusnya damai sentosa. Sandra juga harus kehilangan saldo gopaynya karena membatalkan pesanan gojek, dia meminta si bapak untuk pura-pura mengantarnya saja dan tidak lupa meminta maaf.
"Tolong hamba, Tuhan...," Sandra merengut sebelum kemudian duduk di sebelah Abram, di bagian pojok kanan dan 3 kursi di sebelahnya kosong.
Mendadak dia merasa ngeri ketika ingat mereka akan menonton film horror dari boneka yang nggak Sandra suka. Dia sudah ingin nonton film action saja atau komedi, tapi Abram justru mengutarakan keinginan untuk melihat sequel dari film si boneka Chukki.
Nyebelin! Gue itu penakut, tahu... mana di paling pinggir lagi....
Berkali-kali Sandra melihat ke samping karena takut jika tiba-tiba saja ada penampakan disana. Abram yang sadar akan hal itu menatap Sandra.
"Kamu takut?"
Sandra menoleh pada Abram lalu mengangguk. Dengan jawaban Sandra itu, Abram segera saja meminta Sandra untuk tukar tempat duduk.
Mereka berdua kemudian larut ke dalam film yang di tayangkan di depan mereka. Abram terlihat sangat tenang tanpa terpengaruh reaksi berlebihan penonton di sekitarnya. Tapi Sandra yang jelas penakut tentu saja sudah ikut menjerit bahkan bergidik ngeri sejak musik-musik khas film horror terdengar.
Ingin sekali dia bersembunyi atau memegang tangan seseorang, karena setidaknya dia tahu dia tidak sendirian sebab tahu ada seorang yang bisa melindunginya jika benar-benar ada hantu di dalam bioskop. Lagi-lagi Abram melihat gelagat Sandra, atau sebenarnya sejak tadi dia sesekali memperhatikan wanita di sebelahnya ini.
"Kamu bisa pegang tangan saya kalau beneran takut,” bisik Abram di telinga Sandra.
Sandra sontak berjengit mendengar bisikan dari Abram yang sangat dekat dengan telinganya, nafas pria itu saja bisa terasa di lekuk lehernya membuatnya merinding dan geli.
"Bo-boleh, pak?" tanya Sandra memastikan.
"Hm."
Baiklah, karena Abram menyetujuinya, Sandra tidak ragu lagi untuk segera menyambar lengan Abram sebagai tempat persembunyiannya. Dia tidak akan memegang telapak tangan Abram, karena nanti setelah filmnya selesai pasti akan ada kecanggunggan di antara mereka, jadi Sandra memeluk lengan Abram saja.
Tapi ternyata efeknya sama saja, tubuh mereka yang menjadi lebih dekat membuat mereka seolah tersetrum oleh hal yang tidak bisa mereka mengerti. Untuk pertama kalinya mereka berdua bisa sedekat ini setelah menjadi rekan kerja selama 2 tahun.
Diam-diam Abram tersenyum lalu melemaskan tubuhnya yang tegang karena Sandra memeluk lengannya.
///
"Saya kira kamu bukan penakut, tapi ternyata nonton film saja harus pegangan."
Sandra sudah ingin menyumpal mulut Abram dengan potongan sushi agar tidak mengungkit ketakutannya itu. Tapi lagi-lagi mana dia berani melakukan hal senekat itu dan membiarkan mulut Abram berbusa mengejek dirinya yang penakut.
"Saya ingat kamu pernah rame-rame sama anggota divisi kita nonton Pengabdi Setan, kan?" Abram mengingat-ingat lagi kejadian lebih dari 1 tahun lalu itu.
"Iya.. tapi saya juga takut liatnya. Dan saya pegang tangan Urdha," sahut Sandra cuek.
"Apa?! Kamu pegang tangan Urdha?" Abram memekik hingga menarik beberapa pengunjung di restoran sushi tempat mereka makan.
"Bapak, ih.. ngapain tereak, sih?"
"Ya kamu.. kenapa kamu pegangan sama Urdha? Kenapa ngga sama Oni aja?"
Sandra menatap Abram tidak mengerti. "Lah.. kan yang duduk di sebelah saya itu Urdha, Pak.. Oni sama mbak Ina duduk di barisan depan aku sama Urdha karena saking ramenya film itu sampe nggak bisa pesen buat 4 orang sekaligus di satu baris," jelas Sandra, dan dia kemudian merasa heran karena menjelaskan sepanjang itu hanya untuk Abram yang sedang bertingkah konyol di depannya.
"Tapi—"
"Udah deh, Pak.. lagian udah lama banget itu." Potong Sandra, tidak mau berdebat dengan Abram. Lagi pula kenapa juga Abram mempermasalahkan hal ini?
Abram menghela nafasnya, dia menaruh sumpitnya di atas piring tampak sudah tidak tertarik dengan makanan di depannya ini, lalu dia duduk bersandar dengan tangan bersedekap di depan d**a menatap Sandra.
"Lain kali, kalau kamu mau nonton film horror harus sama saya."
Sandra mendongak menatap Abram. Dahinya berkerut karena otaknya sedang bekerja keras mencerna kalimat Abram. Dan hasilnya dia tetap tidak mengerti apa yang Abram katakan.
"Bapak jangan ngaco, deh.. lagi pula saya juga nggak akan nonton film yang cuma buat nakut-nakutin orang itu," balas Sandra.
"Bagus kalau begitu," kata Abram lagi, dengan matanya yang semakin lekat menatap Sandra yang sedang menyunyah sushi.
///
Purwokerto, 8 Oktober 2019
Tertanda,
Orang yang sedang ingin minum boba lagi :')