PoV. Bayu
Brakk!
Terdengar suara berdebum cukup keras dari arah dapur, disusul suara dentingan beberapa alat makan yang berjatuhan, membuatku terkejut.
"Alina ...!"
Aku memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika atmosfir rumah ini terasa hening membuat perasaanku mulai tidak enak.
Khawatir terjadi sesuatu pada Alina, aku berjalan cepat kearah dapur, tampak tubuh Alina yang tergolek dilantai, dengan mata tertutup.
"Ya tuhan, Alina!"
Aku menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuanku, ku tepuk pipinya beberapa kali, mencoba membuatnya sadar, namun, mata itu masih terpejam, seolah usahaku tak berarti.
Ku gendong tubuh kurus ini menuju kamar kami, dengan perasaan yang tak menentu, kurebahkan tubuhnya diatas ranjang kami. Wajah itu sangat pucat, seolah tak ada aliran darah disana.
Aku berusaha untuk tenang, meskipun hatiku sangat cemas. Perlahan kubuka hijab dikepalanya, tampak rambut Alina yang panjang dan harum. Aku mengoleskan minyak kayu putih ke sekujur tubuhnya, lalu kembali menepuk pelan pipinya. Dengan harapan ia segera membuka matanya.
Perlahan, mata Alina pun terbuka, untuk beberapa saat ia memandangku dengan tatapan sayu.
"Mas!" Panggilnya pelan.
"Kau sakit?" Tanyaku.
Ia memegang kepalanya, lalu memijat pelan bagian atas pelipisnya, mencoba untuk bangkit dari tidurnya.
Aku membantunya duduk, ku sandarkan sebuah bantal di punggungnya agar membuat tubuhnya sedikit terasa nyaman.
"Aku tak apa apa, tadi hanya pusing sedikit," ucapnya beralasan, memaksakan diri tersenyum padaku.
"Aku akan siapkan mobil, kuantar kau periksa kedokter," ucapku.
Alina cepat meraih tanganku, saat aku mencoba bangkit dari tepian ranjang ini, genggaman tangannya cukup kuat, seolah menahanku untuk pergi.
"Tak perlu, mas. Aku hanya butuh istirahat saja," ucapnya.
"Kau yakin, tak ingin ke dokter? Aku khawatir padamu, bagaimana jika hal terjadi padamu lagi saat kutinggal sendiri dirumah."
Lagi lagi ia menggeleng, mencoba meyakinkanku jika keadaannya tak seperti yang kucemaskan.
"Terima kasih, sungguh aku tak apa apa, mas. Percayalah."
Aku menghela nafas, menyerah dengan keputusannya. Entah mengapa untuk beberapa saat aku merasa jika akan kehilangan dia, Namun, segera saja kutepis jauh prasangka itu. Mungkin saja karena aku terlalu lelah berpikir.
"Ya sudah, mas tinggal dulu. Jika kau perlu sesuatu, panggil saja."
Ia mengangguk pelan, aku melangkah keluar dari kamar, ada perih terasa menusuk setiap menatap mata Alina. Seolah menyiratkan kesedihan dan kekecewaannya padaku.
Aku duduk dalam diam, berteman sepi memikirkan banyak hal. Pertemuan dengan Tante Delia tadi siang, menambah berat pikiranku saat ini.
[Tak ada orang tua yang ingin melihat putrinya menjadi istri kedua, ada nama baik keluarga yang dipertaruhkan disini. Jika memang kau ingin menikahi Kania, tolong buat anak perempuan tante menjadi satu satunya ratu dalam rumah tangga kalian, bisakah kau melakukannya, Nak Bayu?]
Pertanyaan dari Tante Delia membuatku sedikit kesal. Aku mengerti dan bisa memaklumi keinginannya, cukup berat bagi orang tua untuk melepas putri kesayangan mereka menjadi istri kedua. Mengingat hal tersebut bisa mencoreng citra dan nama baik.
[Saya mencintai Kania.]
[Tante juga sudah mengetahui alasan ku menikahi Alina. Untuk permintaan Tante kali ini, maaf saya tidak bisa mengabulkannya, saya sudah berjanji pada Almh. Ibu saya agar menjaga Alina, dan saya tidak akan melanggar janji itu,"
[Saya dan Kania sudah membicarakan tentang ini sebelumnya, dan Kania menerimanya, ia bersedia menjadi istri kedua, dan kurasa tak akan jadi masalah.]
Jawaban yang ku berikan tidak membuat Tante Delia puas. Beberapa kali kami beradu argumen. Jujur, Ia membuatku berada diposisi sulit.
Aku mencintai Kania, tapi aku juga tak bisa melepaskan Alina. Menceraikan Alina sama saja seperti melanggar janjiku pada Almh. Ibu.
Keputusan apa yang harus kuambil? Haruskah jalan perceraian kupilih, sebuah perbuatan yang dibenci Allah itu kulakukan disaat berpoligami di perbolehkan dalam agama? Mampukah aku berlaku adil pada mereka?
[ ... Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (QS. An-nisa 3)]
Kutipan sebuah Ayat Al-Qur'an tiba tiba melintas dikepalaku, Mungkin aku egois, menginginkan semua itu bisa berjalan berdampingan. Tapi, aku juga tak bisa mengabaikan cinta dan penantian Kania selama ini demi bisa menjalin Sakinah dan Mawadah bersamaku. Enam tahun bukan waktu yang singkat bagi seorang wanita untuk menunggu tanpa kepastian.
Ku usap kasar wajahku lalu meremas rambutku, Sungguh dilema, aku merasa hidupku kini diujung tanduk. Haruskah rasa cinta pada Kania, kupendam saja sendiri, lalu menjalani hidup bersama Alina? Atau kah sebaliknya, melanggar janjiku pada Almh. Ibu. Menceraikan Alina, dan menghabiskan sisa hidupku bersama Kania, wanita yang kucintai?
***
Aku menatap pantulan wajahku dicermin, pucat dan tirus. Ku usap pelan wajahku, kehamilan ini benar benar membuat selera makan ku hilang.
Wajah Mas Bayu terlihat cemas kemarin malam, sungguh aku tak menyangka akan merepotkan dirinya. Semua terjadi begitu tiba tiba, aku pun tak menyangka akan jatuh kemarin.
Mas Bayu sudah berangkat kekantor dua jam yang lalu, sebelum pergi ia masih terlihat mengkhawatirkanku. Bahkan, ia meminta Bi Imah, membuatkan bubur untukku.
Ting ... Tong!
Terdengar suara bel berbunyi, sepertinya ada yang datang bertamu. Tak ingin membuat tamuku menunggu kama, aku pun melangkah keluar meninggalkan kamar.
"Siapa Bi?"
Tanyaku pada Bi Imah, yang mengintip dari balik gorden.
"Cewek Mbak, rasanya bibi pernah lihat, tapi gak tahu namanya," Jawab Bi Imah.
Aku mengernyitkan dahi, tak ingin lama menerka nerka. Dengan cepat tanganku menyingkap gorden. Tampak disana, seorang wanita sambil menenteng sebuah tas branded mewah berdiri membelakangi jendela.
Wanita dengan rambut sebahu yang tampak sedikit di Curly itu sedang memandang ke arah arloji ditangannya, dengan wajah yang terlihat sedikit kesal.
"Kania ...!"
"Untuk urusan apa dia sampai nekat datang kesini?" Gumamku.
Aku membuka pintunya setelah Bi Imah pamit berlalu meninggalkanku, wajah Kania langsung menoleh ketika pintu ini terbuka sempurna.
"Hai, Alina!" sapanya.
Aku mengangguk pelan, lalu mempersilakannya masuk.
"Maaf, aku tinggal sebentar, kau mau minum apa, Kania. Panas atau dingin?"
"Tak perlu, aku kesini karena ingin bicara sebentar denganmu!" Tolaknya.
Aku mengabaikan ucapannya, melangkah menuju dapur, membuat segelas teh hangat untukku dan segelas minuman dingin untuknya.
"Biar bibi yang bawakan ini ke depan, Mbak," ucap Bi Imah.
"Baiklah, tolong ya bi."
Aku mengikuti langkah Bi Imah dari belakang, dengan cekatan tangan Bi Imah meletakkan dua gelas minuman itu dimeja.
Aku dan Kania kini duduk saling berhadapan. Mata itu menatapku tajam. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya hembusan nafas panjang yang terdengar.
"Ada perlu apa kau sampai datang kerumahku, Kania?"
Ia belum bicara, hanya menyungging senyum sinis padaku. Sikapnya mulai terlihat tak bersahabat.
"Berapa harga yang harus kubayar, Alina?"
Sebuah kalimat yang diucapkannya, sontak membuatku langsung membuka mata lebar-lebar.
"Apa maksud ucapanmu, Kania?" Balasku tersinggung.
Ia memandangku sinis, jujur aku masih belum mengerti apa maksud kedatangannya kesini.
"Aku punya sebuah rumah di daerah Cibubur, harganya lebih dari dua milyar rupiah. Rumah itu akan diberikan untukmu, Alina, jika kau meminta cerai dan pergi sejauh mungkin meninggalkan Mas Bayu."
Untuk sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Manusia kah yang ada dihadapan ku ini? beberapa detik berlalu akhirnya mengembalikan kesadaranku.
"Kau takut padaku, Kania?"
"Katakan padaku, apalagi yang bisa kau tawarkan padaku?" Aku mengejeknya.
"Apa saja yang kau inginkan, Alina. Yang penting kau menjauh dari sisi Mas Bayu," jawabnya cepat.
Aku terkekeh geli. Kusandarkan punggungku di bantalan sofa, lalu kembali menatapnya.
"Kau ingin segera mendepakku, Kania? Kenapa? Bukankah katanya kau sudah bersedia menjadi istri kedua. Mas Bayu sendiri bilang, jika kau tak ada masalah dengan itu," sindirku.
"Alina!" Wajahnya memerah menahan amarah, kulihat tangannya mengepal erat.
"Aku tak sudi menjadi istri kedua. Kau tahu rasanya menunggu selama enam tahun? Aku bersabar karena cintaku pada Mas Bayu, dan sekarang saat kami ingin bersama kau menjadi penghalangnya."
"Bagaimana jika kenyataan itu terbalik? Sadarkah kau, ternyata penghalang itu adalah kau sendiri, Kania?" Balas ku.
"Apa yang ingin kau katakan, Alina?"
Aku mengulas seringai tipis di wajahku. Mata itu kini menatapku dengan tatapan menusuk.
"Kau tahu apa maksudku, Kania! Wanita secerdas dirimu, tak mungkin tak mengerti," Ejekku.
"Kau ...!" Geramnya.
"Kau menjadi duri dalam pernikahanku, perusak rumah tanggaku," Sentakku sambil mengepalkan tangan.
"Cukup, Alina!"
Tangannya mengarah ke wajahku, kurasa ia sudah berada di puncak kemarahannya padaku. Aku berdecih pelan, sambil membuang muka darinya.
Ia masih mengepalkan tangannya. Bibirnya terlihat bergetar, sepertinya ia berusaha meredam amarahnya.
"Kau istrinya, bukan? Kau menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya, tidakkah sedikit saja kau memikirkan apa yang diinginkan oleh Mas Bayu? Tentang Kebahagiaannya? Keinginannya?"
Suaranya kini mulai terdengar pelan. Namun, penuh sindiran padaku. Aku masih berdecak pelan. Berusaha mengatur emosiku.
"Kalau begitu, kau saja yang katakan hal itu pada Mas Bayu. Kurasa kau sudah tahu bahwa hak menjatuhkan talak hanya diberikan Allah kepada seorang suami?"
"Alina, jangan menguji kesabaranku!" Bentaknya.
"Mengapa, kau tak bisa, Kania? Tentu saja kau tak mampu melakukannya, jika kau bisa membujuknya menceraikanku, kau takkan menemuiku dan menawarkan hartamu padaku."