Waktu seperti sangat cepat berlalu, tak kusangka acara lamaran Mas Bayu tinggal seminggu lagi. Aku mematung saat melihat kalender dinding ini, berharap bisa menghentikan Sang Waktu berjalan.
Tak ada persiapan khusus untuk acara lamaran nanti, semua saudara Mas Bayu, sudah di beri kabar. Mas Adi sudah menyampaikan pesan akan menghadiri acara itu, sedang adiknya, Carissa. Memilih menolak untuk menghadirinya.
[Maaf, aku menolak hadir di acara lamaranmu, mas. Sejak ibu masih hidup, ia menolak keras hubunganmu dengan Kania, jika sekarang aku datang ke acara lamaranmu, aku akan merasa amat bersalah pada Almh. Ibu.]
[Terserah kau, jika ingin marah atau kesal padaku, tapi jika kau tetap menikahi wanita itu, aku tak akan pernah menganggapnya sebagai saudara iparku. Bagiku cuma Mbak Alina dan hanyalah dia saja yang kuakui sebagai kakak iparku.]
[ ... Kuharap kau tidak memaksaku untuk bersikap baik pada calon istri keduamu itu, maaf, aku tak bisa. Karena jika hal itu kulakukan, sama saja seperti mengkhianati dan menyia nyiakan usaha ibu yang berusaha keras menjauhkan kau dari wanita itu,]
Tolak Carissa tegas saat Mas Bayu menghubunginya lewat video call beberapa hari yang lalu, yang tidak sengaja terdengar olehku.
Saat itu, Mas Bayu terlihat pasrah, dari sorot matanya aku tahu ia kecewa, untuk sesaat ia melamun, entahlah, karena sedetik kemudian aku berlalu karena tak ingin ia menyadari keberadaanku disana.
Aku duduk disofa di ruang keluarga, tanganku cekatan mengupas sebuah apel sambil menikmati sajian acara disalah satu stasiun televisi, sambil sesekali mengajak janinku bicara. Mencoba menikmati kebersamaan dengan calon anak dalam kandunganku ini.
Terbayang wajah Kania, paras wanita itu cantik, begitupun anugerah fisik yang dimilikinya, tubuhnya tinggi dan ramping dengan kulit putih yang terawat. Ia juga berpendidikan tinggi, tak heran jika wanita itu selalu tampil elegan dan berkelas, disetiap kali pertemuan kami.
Wanita yang dicintai suamiku itu, bukan seorang wanita pengejar harta, yang biasa menjadi alasan para wanita untuk mau menjadi istri kedua. Kania juga bukan seorang janda, yang mengincar laki laki demi mengganti status, bahkan kehidupan Kania jauh lebih mapan dan kaya dari Mas Bayu yang hanya seorang Arsitek junior.
Lalu, mengapa wanita itu mau menjadi istri kedua? entahlah, sampai sekarang hal ini masih sulit ku mengerti. Benarkah Alasan cinta yang selalu mereka berdua gaungkan selama ini adalah benar? Hanya saja hatiku sedikit sangsi menerima alasan itu jika melihat dari perspektif Kania.
Kalimat terakhir yang diucapkan Carissa mengganjal di sudut kepalaku. Aku tahu, Almh. Ibu mertuaku sangat menolak hubungan Mas Bayu dengan Kania. Bahkan dihari pernikahanku, ia bahkan meminta seorang petugas keamanan untuk menghalau Kania menemui Mas Bayu, meski hanya sekedar memberikan ucapan selamat.
Mengapa ibu sangat tidak menyukai hubungan mereka? Adakah sesuatu hal yang tidak kuketahui tentang masa lalu Kania?
Berpikir keras seperti ini membuatku kepalaku tiba tiba mendadak sakit. Kusandarkan punggung disofa sambil memijat pelan pelipisku. Kuhela napas panjang, mencoba menenangkan sedikit perasaanku.
Deru mobil terdengar dari luar, tak berselang lama, derap langkah kaki yang berirama terdengar mendekat, membuyarkan semua hal yang tengah kupikirkan saat ini, kulirik sekilas jam dari ponsel yang kupegang, sudah hampir pukul delapan malam, sepertinya Mas Bayu pulang terlambat.
Dengan langkah gontai aku berjalan ke depan, membuka pintu lalu menghampirinya, seperti biasa, kuambil tas dari tangannya, membawanya untuk kuletakkan di kamar.
"Apa ini mas?" Tanyaku saat ia menyodorkan sebuah kantong plastik putih.
"Martabak manis, untukmu. Bukankah kau suka makanan itu?"
"Terima kasih," ucapku pelan.
Ia melirikku sebentar, sambil melepas sepatunya.
"Tadi ada janji bertemu dengan seseorang diluar, kebetulan pas arah pulang ketemu penjual martabak, entah kenapa, tiba tiba teringat denganmu," Jawabnya seolah tahu apa yang kupikirkan.
Aku hanya mengangguk, lalu mengambil sepatunya dan meletakkannya di atas rak .
"Kau mau makan, mas?"
"Nanti saja, aku mau mandi dulu," sahutnya.
Ia masih bersikap seperti biasanya. Datar. Tak ada yang berubah meski minggu depan ia akan melamar Kania, wanita yang dicintainya selama ini.
Aku membuka lemari, menyiapkan pakaian gantinya. Setelah itu ku langkahkan kaki menuju dapur, menghangatkan makanan yang sudah dimasak Bi Imah tadi siang.
Bau masakan ini sungguh membuatku mual. Untunglah, masih bisa ku atasi. Meski sesekali menghirup aroma minyak kayu putih untuk meredakan sedikit rasa mual, akhirnya perjuanganku selesai saat kulihat semua makanan ini bisa terhidang di atas meja dalam kondisi hangat.
Pandangan mataku tiba tiba sedikit kabur, tubuhku gemetar, aku mengucek mata untuk memastikan penglihatanku. Kupijat sebentar kepalaku yang mendadak pusing, aku tak mengerti mengapa tiba tiba tenagaku seolah hilang, hingga akhirnya semua terlihat gelap.
****
PoV. Bayu.
-Beberapa jam sebelum pulang-
Aku melirik Arloji di pergelangan tangan, sudah hampir pukul lima sore, aku ingat ada janji bertemu dengan seseorang hari ini.
Ku kemasi barang barang diatas meja kerja, tak lupa mematikan laptop dan memasukkannya kedalam tas, sambil menjinjing tas akupun melangkah menuju ke arah parkiran.
Menemui Tante Delia, membuatku sedikit merasa grogi dan canggung. Entah apa yang ingin Ibunya Kania itu bicarakan denganku. Membuatku kini mulai menduga duga.
Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Kania, sehingga calon mertuaku meminta bertemu denganku?
Meskipun bertumpuk pertanyaan dalam benakku. Aku tetap memenuhi permintaannya, bertemu denganku.
Setengah jam kemudian, mobilku berhenti di sebuah restoran, aku menepikan mobilku diparkiran restoran ini. Lalu melangkah masuk kedalamnya.
Seorang wanita berusia sekitar awal Lima puluh tahunan berdiri sebentar dari tempat duduknya, wanita dengan dandanan cukup mewah itu langsung melambaikan tangan padaku, ketika melihatku bertanya kepada seorang pelayan, aku membalasnya dengan anggukan kepala.
Ia tak datang sendiri, didampingi putri bungsunya, Keysa. Tante Delia langsung menyapa begitu aku menghampiri mereka.
"Silakan mau pesan apa Nak Bayu?" Ia bertanya padaku sambil memanggil seorang pelayan begitu aku duduk dihadapannya.
"Maaf Tante, aku minum saja," Jawabku.
Aku memesan segelas minuman pada pelayan yang berdiri didekatku ini, setelah memastikan pesananku, ia pun pamit.
"Maaf nak Bayu, jika Tante tiba tiba mengajak bertemu," ucapnya.
"Tak masalah, Tante."
"Kau tak memberitahu Kania jika Tante mengajakmu bertemu, kan?"
Aku menggeleng," sesuai permintaan Tante, aku tak memberitahunya."
"Maaf, ada masalah apa, Tante?"
Ia menghela nafas berat, lalu beradu pandang dengan putri bungsunya, Keysa.
"Tante sengaja mengajakmu bertemu untuk bicara masalah lamaranmu, Nak Bayu."
"Ada apa dengan hal itu, Tante?"
"Kau yakin ingin menikahi Kania?"
Pertanyaan yang langsung pada intinya itu, sedikit mengejutkanku, sebenarnya apa yang diinginkan ibunya Kania ini dariku?
"Iya, Tante. Saya serius dengan lamaran itu?" Ucapku.
Ia kembali menghela nafas, untuk sesaat keheningan menyapa kami.
"Tante tak akan mengganggu lamaranmu, Nak Bayu. Hanya saja Tante ingin bertanya sesuatu."
"Katakan saja, tante," ucapku.
"Tante tahu kau dan Kania menjalin hubungan sejak enam tahun yang lalu, dan Tante tidak mempermasalahkan hubungan kalian, tapi sekarang keadaannya berbeda. Kau sudah memiliki istri, apakah nantinya istrimu bisa menerima Kania? Maaf, jika tante menanyakan hal ini padamu. Tante hanya khawatir."
Aku mengulas senyum tipis, sejenak aku menunduk, mencoba mencari kalimat yang pas untuk menjelaskannya.
"Aku mengerti kekhawatiran Tante, itu wajar. Pernikahanku dengan Alina, istri pertamaku bukan karena keinginanku tapi kehendak Almh. Ibuku ..."
"Hal itu Tante sudah tahu, Kania sudah menjelaskannya," ia menyela.
"Aku dan Alina sudah membicarakannya, Tante. Alina menerima pernikahan keduaku ini," aku mencoba menjelaskan.
"Apakah kau bisa berlaku adil pada mereka berdua nanti? berpoligami itu tidak mudah nak," ucapnya.
Sorot matanya seolah mengintimidasi ku, untuk sesaat aku merasa tekanan darinya, kupalingkan wajahku darinya, aku tak ingin ia mempengaruhiku.
"Apa yang tante inginkan dariku?" Tanyaku langsung pada intinya.
Wajah Tante Delia tersenyum, lalu melipat kedua tangannya di atas meja.
"Apa kau sungguh sungguh mencintai Kania?"
Pertanyaan yang di ucapkan Tante Delia membuatku menelan ludah, aku mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Tak lama iapun kembali bicara.
"Tak ada orang tua yang ingin melihat putrinya menjadi istri kedua, ada nama baik keluarga yang dipertaruhkan disini. Jika memang kau ingin menikahi Kania, tolong buat anak perempuan tante menjadi satu satunya ratu dalam rumah tangga kalian, bisakah kau melakukannya, Nak Bayu?"