Rowena melihat sekelilingnya, terdapat gedung tinggi di depannya. Dia menoleh ke arah Jordan yang sejak tadi hanya diam saja. Gadis itu juga tidak merasa repot-repot untuk berbicara dengan Jordan sepanjang perjalanan.
"Kemana kamu akan membawaku pergi?"
"Ke perusahaan."
"Untuk apa? Lebih baik aku pergi berbelanja dan menghabiskan uangmu." Rowena memandang bosan pada gedung pencakar langit di depannya.
Meski terlihat tinggi dan mewah, namun dia tidak tertarik. Karena dia tahu pasti bahwa di dalamnya hanya berisi para orang-orang yang sedang sibuk bekerja. Tidak akan ada keseruan di dalamnya. Dia tidak ingin bekerja atau menonton orang yang sedang bekerja, jadi untuk apa dia datang ke tempat ini?
"Temani aku bekerja."
Rowena langsung mengernyitkan keningnya, terlihat jelas keengganan yang tidak berusaha dia tutupi. Rowena memandang Jordan dari atas ke bawah, tidak heran setelan baju pria itu tampak formal. Ternyata datang ke rumah orang tua hanyalah formalitas sesaat. Tujuan utamanya tetap berkerja. Dia sepertinya harus mulai terbiasa dengan sikap pekerja keras suaminya. Setidaknya dengan kerja keras Jordan, dia akan bisa menjamin untuk terus mendapatkan subsidi uang belanja yang tanpa batas. Itu tidak terlalu buruk pikirnya.
"Kenapa aku harus menemanimu bekerja? Kamu memberiku black card untuk dibelanjakan, bukan untuk dianggurkan dan menemanimu bekerja sepanjang hari. Itu sangat membosankan, aku tidak akan masuk."
Tatapan Jordan tampak menajam, menatap istrinya dengan tatapan penuh ancaman. Sayangnya Rowena tidak peduli dan bersikap sembrono. Dia malah memainkan ponselnya dan tidak ada niat untuk menuruti permintaan Jordan.
Jordan hanya bisa menahan dirinya, dia lalu turun dari mobil. Membuat Rowena hanya bisa menaikkan sedikit alisnya karena berpikir pria itu telah menyerah untuk membujuknya untuk ikut masuk menemaninya. Namun siapa sangka pintu samping mobilnya dibuka oleh pria itu. Jordan membungkukkan badannya, membuka sabuk pengaman milik Rowena dan tanpa repot-repot menggendong gadis itu sekali lagi.
Rowena melotot kaget, masih secara refleks mengalungkan kedua tangannya pada leher pria itu.
"Turunkan aku!"
"Tidak, aku memaksa."
Meski kesal, Rowena pada akhirnya hanya bisa pasrah. Karena dia tahu jika dia memberontak juga hasilnya akan percuma. Malah dia akan menjadi wanita yang tidak masuk akal dan diperhatikan oleh orang banyak. Itu tidak sebanding dengan citra elegannya.
Karena sudah terlanjur, Rowena dengan sengaja membenamkan wajahnya pada leher Jordan. Menunjukkan taringnya dan mulai menggigit leher pria itu. Berani bermain api dengannya, pria itu harus siap menerima konsekuensinya. Dia bukan orang yang penurut. Sekalian saja menunjukkan kasih sayang di depan umum untuk memperkokoh posisinya.
Di koridor lantai tempat Jordan membawa Rowena dalam gendongannya, tak sedikit para karyawan yang saling memandang dan tampak penasaran mengapa bos mereka membawa seorang gadis di pelukannya. Ini adalah kali pertama mereka melihat Jordan membawa seorang wanita ke perusahaan. Seketika hal itu membuat grup pekerja menjadi heboh dengan gosip terbaru dan berita ini dengan mudah menyebar di antara para karyawan.
Sayangnya baik Jordan maupun Rowena sama-sama tidak peduli. Mereka tampak intim dalam perjalanan menuju lift eksklusif untuk orang-orang penting di perusahaan. Barulah setelah keduanya memasuki lift, Jordan sedikit melepaskan ketegangan dalam dirinya. Dia bukan merasa tegang karena diperhatikan oleh orang banyak. Namun karena perlakuan nakal istrinya yang membuat tubuhnya menjadi panas dingin.
"Berhenti bermain-main jika kamu tidak ingin menanggung konsekuensinya." Suara Jordan terdengar serak dan dalam, hembusan napasnya terasa hangat menerpa telinga Rowena.
"Ini di kantor, memangnya apa yang bisa kamu lakukan di sini?" Rowena berkata dengan acuh tak acuh, melirik pada tanda memar yang dia buat di leher pria itu dengan puas.
"Aku adalah pemilik perusahaan ini. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan."
Rowena merasa bergidik, ini tidak sesuai dengan rencananya. Tentu saja dia tidak ingin "dimakan" oleh pria ini di tempat kerja. Dia datang ke sini karena terpaksa, bukan untuk menjadi santapan macan yang kelaparan.
"Beruntung bibi flo-ku masih ada, aku tahu kamu adalah binatang buas." Sarkas Rowena hanya dianggap angin lalu oleh Jordan, setidaknya dia merasa lega karena gadis ini tidak lagi memprovokasinya di tengah jalan. Atau dia takut tidak akan bisa menahan diri lebih lama lagi. Bagaimanapun, dia adalah pria normal.
"Itu karena kamu terlalu menggoda dan aku adalah pria normal."
Jordan membawa Rowena memasuki ruangannya, memberikan instruksi pada sekretarisnya untuk tidak mengganggunya jika bukan untuk suatu hal yang penting. Jordan meletakkan Rowena di atas meja kerjanya, tatapan matanya masih tampak dalam. Hasrat yang sudah dia tekan kini kembali muncul tanpa coba dia tutupi. Hanya ada mereka berdua di tempat ini. Jordan tidak akan segan lagi.
"Kamu-"
Rowena tidak sempat melanjutkan perkataannya sejak bibirnya dibungkam oleh Jordan. Menyesap bibirnya secara bergantian dan menekan tengkuknya untuk mencegah istrinya memberontak guna melepaskan diri.
Beberapa menit telah berlalu, namun Jordan tetap tidak mau melepaskannya. Rowena merasa pernapasannya mulai terhambat, ciuman pria ini benar-benar terlalu panjang dan dia tidak terbiasa. Karena kesal, Rowena berniat menggigit bibir Jordan. Beruntung pria itu seperti menyadari kekesalannya dan melepaskan bibirnya yang sudah membengkak.
Dahi keduanya menempel, embusan napas satu sama lain saling berderu hangat. Rowena memandang kesal pada pria dewasa di depannya. Jelas dia kesal karena selalu dikalahkan oleh pria itu. Bersama dengan pria dewasa, dia tidak bisa memimpin karena ditekan oleh pria ini. Dia benci menjadi pihak yang pasif dan lemah.
"Kapan bibi flo-mu akan berhenti?"
"Aku tidak akan memberitahumu." Rowena tahu dengan jelas tujuan pria ini. Dia hanya takut tidak akan bisa bangun keesokan harinya jika Jordan tahu tamu bulanannya akan segera berakhir.
"Katakan," Jordan meletakkan kepalanya di ceruk leher Rowena, napasnya panas hingga membuat Rowena merasa geli. "Atau kamu mau aku melihatnya sendiri?"
Kedua mata Rowena melotot, dia mencubit perut Jordan dengan keras. Sayangnya perut pria itu lebih keras dari dugaannya. Membuat cubitan Rowena hanya terasa geli bagi Jordan.
"Kenapa perutmu terlalu keras?"
Jordan tidak menjawab, dia malah menggigit leher Rowena hingga meninggalkan bercak kemerahan.
"Aku ingin memakanmu."
"Aku ingin menceraikanmu!"
"Tidak akan ada perceraian." Jordan mengeratkan pelukannya pada pinggang Rowena. Jelas sekali dia tidak senang mendengar kata perceraian dari bibir gadis ini.
"Aku menikahimu hanya untuk balas dendam, apa yang membuatmu keberatan?"
"Karena kamu istriku, jangan harap aku akan melepaskanmu Nyonya Agustino. Haruskah kita membuat marga sendiri? Aku masih menantikan kamu memberiku bayi gemuk yang cantik dan tampan." Jordan menatap wajah cantik Rowena, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Siapa yang mau melahirkan anakmu, aku tidak ingin mempertahankan nyawa untuk sepasang bayi gemuk." Rowena memalingkan wajah, membayangkan banyak wanita melahirkan yang mati di ruang bersalin. Seketika dia bergidik ngeri, dia tidak mengharapkannya.
"Tidak masalah jika kamu tidak menginginkannya, aku masih bisa bersabar sampai kamu siap."
"Berdasarkan siklusmu, seharusnya besok atau lusa kamu sudah bisa melakukannya."
"Melakukan apa?" Rowena seketika merasakan krisis.
"Aku sempat melihat aplikasi bibi Flo di ponselmu. Rata-rata jadwal bibi flo-mu hanya 3 harian." Senyum di bibir Jordan menjadi semakin lebar, jelas penuh dengan penantian dan kilat jenaka.
"Siapa yang menyuruhmu membuka ponselku?"
"Aku sudah menyiapkan lingerie untuk kamu pakai besok."
Jika tatapan bisa membunuh, Rowena ingin membunuh Jordan berkali-kali. Bahkan Rowena mulai memikirkan cara untuk kabur agar tidak dimakan pria itu keesokan harinya.