Pertanyaan Ibu

1032 Kata
"Hati-hati, Sebastian!" Sienna menepuk bahu Sebastian dan membuyarkan lamunannya. Dan pria itu segera menginjak rem ketika dia tersadar sehingga mesin roda empat yang dikendarainya perlahan berkurang kecepatannya. "Ada masalah apa?" Sienna kemudian bertanya. "Umm … tidak ada, aku hanya … sedikit tidak enak badan." Sebastian menjawab. "Benarkah? Kenapa? Apa kau kelelahan?" Secara refleks Sienna menyentuh kening Sebastian untuk memeriksa keadaannya. "Aku tidak apa-apa!" Dia menghindar, seperti biasa. "Kau mau aku yang mengemudi? Ayo, menepi dulu agar kita bisa bertukar posisi?" ujar perempuan itu yang hampir melepaskan sabuk pengamannya. "Tidak usah, kita hampir sampai." Namun Sebastian menolak seraya membelokkan mobilnya ke arah komplek perumahan di mana rumah mereka berada. Dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi tiba di depan pagar rumah. "Sepertinya ayah sudah datang?" Sebastian merunduk agar penglihatannya lebih jelas, di mana dia mendapati sebuah mobil yang dikenali sebagai milik ayahnya terparkir di halaman. "Bagus sekali, mungkin Ibu akan segera pulang setelah ini." Pria itu bergumam sambil menyeringai. Dia sempat merasa lega karena mungkin sebentar lagi akan terbebas dari kepura-puraan ini, dan rasa tidak nyamannya akan segera hilang karena tidak akan tidur dalam ruangan yang sama dengan Sienna. Setidaknya pada malam hari dirinya tidak akan terus merasa terganggu dengan keberadaan perempuan itu yang bisa seharian menemaninya bekerja. "Ayah, lihat! Mereka sudah pulang. Benar kan apa yang Ibu bilang?" Suara Utari terdengar dari dalam rumah. "Hmm …." Dan gumaman khas milik sang ayah menjadi hal pertama yang Sebastian dengar atas keberadaan pria itu. "Aku pikir Ayah satu minggu di luar kota? Ternyata baru tiga hari sudah pulang. Pasti karena tidak tahan berpisah dengan Ibu?" Sebastian berkelakar saat ayahnya menyambut kepulangan mereka. "Satu minggu hanya perkiraan, Nak." Danar menjawab. "Baiklah." Kemudian mereka duduk di sofa ruang keluarga. "Bagaimana usaha Ayah?" Segera saja, mereka berbincang seperti ayah dan anak pada umumnya. "Lancar, seperti biasa." Danar menyeruput teh hangat yang dibawa Utari beberapa saat yang lalu ketika mereka menunggu kedatangan anak dan menantunya. "Syukurlah. Aku harap tidak akan ada masalah apa pun." Sementara Sebastian menerima air putih yang diberikan Sienna kepadanya. "Pekerjaan apa pun selalu mempunyai resiko, Tian. Hanya saja tergantung kita menyikapinya seperti apa. Dan Ayah rasa pekerjaanmu juga." Sebastian terkekeh, lalu mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, memang." "Lalu bagaimana pekerjaanmu?" Danar balik bertanya kepada putranya. "Seperti biasa, menghadapi pasien dengan masalah mereka sendiri. Dan hari ini memang sangat sibuk. Banyak yang membutuhkan penanganan khusus untuk gigi mereka." Sebastian bercerita. Sebagai ayah dan anaknya, keduanya memang tidak terlalu akrab. Tapi beberapa topik percakapan nyatanya mampu untuk meredam itu semua dan menjadikan interaksi di antara mereka terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya. "Lalu Sienna? Bagaimana keadaanmu, Nak?" Danar kemudian beralih kepada menantunya. "Baik, Yah." "Sudah terbiasa menangani atasanmu yang agak rumit ini?" Pria itu sedikit tertawa, mengingat kelainan yang diidap oleh putranya, yang sempat membuat mereka frustasi karena menyebabkan Sebastian tak kunjung mendapatkan jodoh, padahal usianya sudah mencukupi untuk berkeluarga. "Sudah, Yah. Hanya masih agak sulit saja dalam beberapa hal. Yang lainnya biasa saja." Sienna pun tertawa karenanya. "Itu bagus. Hanya perlu sedikit bersabar untuk menghadapinya, iya kan?" ujar Danar lagi, dan Sienna pun mengangguk. "Baiklah, sepertinya aku harus membersihkan diri dulu. Hari ini cukup menguras tenaga dan melelahkan. Jadi kami akan mandi lalu istirahat sebentar. Bukankah begitu, Sayang?" Sebastian menghentikan percakapan untuk menghindar dari pembahasan yang sangat tak dia sukai. "Umm …." "Ayo, aku membutuhkanmu." Sebastian segera bangkit dan dia berjalan ke arah tangga. "Maaf Yah, Bu. Kami ke atas dulu?" Sienna berpamitan lalu segera mengikuti suaminya setelah kedua mertuanya menjawab dengan anggukkan kepala. *** "Apa yang kau lakukan?" Sebastian berdiri di ambang pintu kamar mandi saat menemukan Sienna juga berada di sana. "Menyiapkan air mandi untukmu?" Perempuan itu berbalik setelah selesai mengisi bathtub. "Totalitas sekali kau ini?" Dan Sebastian memasuki ruangan itu sambil melepaskan kemejanya. "Umm … bukankah kau yang memintanya tadi?" Sementara Sienna mundur beberapa langkah hingga mereka kini cukup berjarak. "Yeah, tidak mungkin aku membiarkanmu berbincang dengan kedua orang tuaku sendirian, bukan? Bisa-bisa kau kelepasan bicara nanti." Pria itu mulai melepaskan pakaiannya. "Umm …." Sienna membeku. "Kau mau tetap di sana?" Sebastian menoleh saat dia hampir saja melepaskan celananya. "Hah? A-aku …." Dan tiba-tiba saja Sebastian beralih mendekat kepadanya. "Tapi sepertinya bagus juga, bukankah kita memang seharusnya …." "Tidak! Aku akan membiarkanmu mandi kalau begitu." Hal tersebut membuat Sienna segera saja keluar dari kamar mandi, sementara pria itu hanya menyeringai. "Memangnya apa? Aku kan hanya mau mengambil shampo?" gumamnya, lalu dia meraih botol berisi produk perawatan rambutnya di rak. *** "Kau sedang apa, Sienna?" Utari masuk ke dalam kamar yang biasa menantunya tempati jika dirinya tak berkunjung. "Hanya mengambil pakaian, Bu." Sienna mengeluarkan beberapa helai pakaian dari lemarinya. "Memangnya di kamar Sebastian tidak ada?" Sang mertua masuk dan dia sedang mencari tahu keadaan rumah tangga putranya. Kecurigaan memang dia rasakan sejak mereka menikah dan hal tersebut tampak sangat jelas. Keduanya memang dijodohkan karena Utari merasa bahwa putranya memang kesulitan mendapatkan pasangan. Dan hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh kondisi kejiwaannya yang tak seperti orang lain. Dan menurutnya, menikahkan Sebastian dengan Sienna adalah pilihan terbaik. Perempuan itu akan merawatnya karena dia paham bagaimana harus menangani kelainannya. "Eee … ada, Bu. Ini hanya sebagiannya saja." Sienna menjawab sambil mengangkat tumpukkan pakaian itu dan hampir membawanya keluar. "Tunggu, Sienna." Namun Utari segera menghentikan menantunya. "Ya Bu?" Dan perempuan itu berhenti di ambang pintu lalu memutar tubuh. "Apa kali ini Sebastian memperlakukanmu dengan baik?" Utari bertanya. "Ma-maksud Ibu?" Tubuh Sienna tampak menegang dan pikirannya menerka-nerka apa yang akan mertuanya tanyakan lagi. "Ibu sudah pernah bertanya soal ini sebelumnya, kan? Masa kau tidak mengerti?" "Umm … soal itu …." "Sayang? Kau di mana? Mengapa pakaianku belum siap?" Panggilan Sebastian menginterupsi percakapan tersebut dan menyelamatkan Sienna dari kemungkinan rasa gugup yang mulai melandanya. Lalu perempuan itu memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah pintu kamar di seberang, di mana suaminya berdiri dengan sehelai handuk melilit pinggangnya. "Eee … ya, sebentar." Sienna terhenyak. Tentu saja dia terkejut, mereka memang tinggal serumah tapi hal seperti ini jarang dia lihat. Apalagi dirinya harus bersikap biasa saja di depan mertuanya yang sepertinya sedang mengorek keterangan. "Sebentar, Bu?" Sienna menghambur ke arah kamar Sebastian kemudian segera menutup pintu. "Ibumu bertanya lagi!" katanya, yang menempelkan punggungnya di ambang pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN