Ibu Dan Orang Dari Masa Lalu

1512 Kata
Dua orang itu sama-sama terdiam dengan pikirannya masing-masing. Sebastian duduk di sisi kiri, sedangkan Sienna duduk memeluk bantal di sebelah kanan dan mereka menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ini kedua kalinya mereka berada dalam satu ruangan dan di tempat tidur yang sama setelah pernikahan. Yang pada awal terjadi adalah saat malam pengantin ketika Sebastian menjelaskan bagaimana kondisi mental dan kejiwaan serta kelainan yang diidapnya. Dan luar biasanya bisa dia jelaskan secara gamblang kepada Sienna. Dan hal ini kembali terulang ketika Utari sang ibu memutuskan untuk menginap di rumah mereka, yang membuat keduanya dengan terpaksa harus berinteraksi seperti suami istri pada umumnya karena tak ingin menimbulkan kegaduhan dari omelan perempuan itu. Kemudian semuanya menjadi semakin rumit saja ketika malam menjelang, dan keduanya hendak pergi tidur setelah makan malam juga bercengkrama sebentar. Dan Sebastian dengan terpaksa harus mengizinkan Sienna masuk ke dalam kamarnya meski sempat membuatnya tak nyaman. "Aku tidur di sofa saja." Perempuan itu beringsut. Dia meraih bantal kemudian pindah ke sofa di ujung ranjang besar itu. Sebastian sedikit terperangah sehingga dia mendongak, mengikuti Sienna dengan pandangan. "Tapi, Sienna?" Pria itu buka suara. "Selamat malam, Sebastian." Sienna meringkuk sambil memeluk bantal dan berusaha memejamkan mata. Namun, kemudian dia mengerjap ketika merasakan sesuatu menutupi tubuhnya yang hanya berbalut piyama. Yang ternyata adalah selimut milik suaminya. "Maaf karena harus merepotkanmu seperti ini." Pria itu setengah berbisik, lalu setelahnya dia kembali ke tempatnya semula. Dan ruangan itu kembali hening setelah mereka sama-sama memejamkan mata. *** Sienna mengintip dari tangga paling atas. Mencari tahu kegiatan mertuanya pada pagi harinya. Setelah dia membersihkan diri dan berdandan rapi lalu memutuskan untuk turun. "Padahal Ibu tidak usah repot-repot." Dia mencoba untuk bersikap biasa, lalu berhenti di dekat meja makan di mana hidangan sarapan sudah tersaji. "Hanya sedikit sarapan." Utari memastikan semuanya rapi. "Ibu yakin kalian tidak sarapan dengan benar. Di kulkas hanya ada buah dan sedikit sayur sementara daging tidak ada." Perempuan itu merinci apa yang ditemukannya di dalam rumah sang putra, termasuk mengira-ngira apa saja kebiasaan mereka sejak tinggal bersama. "Tidak, Bu. Aku hanya belum sempat belanja bulanan. Beberapa hari ini kami kedatangan banyak pasien dan itu menjadikan waktu pulang menjadi lebih sore." Sienna menjelaskan kepada ibu mertuanya. "Iya, Ibu tahu. Makanya barusan ibu memesan bahan makanan yang akan memenuhi lemari es dan penyimpanan kalian. Sebagai dokter dan perawat seharusnya kalian punya banyak makanan sehat." Utari duduk di kursinya. "Mana suamimu?" Lalu dia menoleh ke arah tangga, dan tak lama kemudian putranya turun dalam keadaan sudah rapi. "Selamat pagi, Bu?" Sebastian menyapa ibunya kemudian duduk di kursinya seperti biasa. Dan kegiatan paginya di meja makan dimulai dengan menata ulang peralatan dan segala apa yang ada di depannya, sehingga dia merasa semuanya sudah ada di tempat yang seharusnya. "Selamat pagi, Sayang? Tidurmu nyenyak malam tadi?" Utari meletakkan dua potong roti panggang, dan dia menatanya seperti yang selalu dilakukan sang anak. Yakni meletakkannya bertumpuk di tengah-tengah lalu menaburinya dengan blueberry yang dia temukan di kulkas. Sebastian tersenyum lalu melirik ke arah ibunya. "Nyenyak, Bu. Terimakasih." "Ayo Sayang, makanlah." Lalu Utari beralih kepada menantunya yang memilih duduk berseberangan dengan Sebastian, sementara dirinya ada di tengah-tengah. *** "Aku rasa mulai malam nanti kau harus memindahkan sebagian barangmu ke kamarku." Sebastian memulai percakapan saat mereka tiba di ruangannya. "Kenapa?" Sienna meletakkan tas dan mengeluarkan seragamnya dari lemari penyimpanan. "Agar memudahkanmu selama ada ibu dan menghindarkannya menginterogasi kita seperti tadi." Pria itu mengingatkan percakapan mereka saat sarapan, ketika sang ibu yang memeriksa segala hal termasuk Sienna yang masih mandi dan merapikan diri di kamarnya sendiri. Dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin jika dijawab dengan jujur akan menimbulkan kekecewaan terus keluar dari mulut ibunya. Beruntung mereka sudah mengantisipasinya sehingga Sienna mampu menjawab dengan cukup masuk akal. "Setidaknya, pindahkan sebagian pakaianmu ke kamarku," lanjut pria itu, dan Sienna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik." Lalu dia segera masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian, yang kembali menarik perhatian Sebastian untuk mengintip ketika pintu tak benar-benar Sienna tutup rapat. Dan benar saja, perempuan itu menanggalkan apa yang barusan dikenakannya kecuali sepasang pakaian dalam berwarna hitam yang cukup menggoda, yang membungkus area pribadinya. Membuat Sebastian mengerjap-ngerjap lalu menggelengkan kepala ketika pikiran kotor melintas di kepala. "Yang benar saja!" Dia mengusap keringat di dahi yang muncul padahal AC di ruangan itu cukup dingin. "Hari ini ada jadwal bedah mulut dari pasien periodontitis yang tempo hari melakukan pemeriksaan." Sienna keluar dari kamar mandi dengan seragam yang cukup rapi membalut tubuh semampainya. "Ya, aku ingat." "Akan aku siapkan semuanya sehingga jika mereka sudah datang bisa kita mulai oprasinya?" Sebastian menganggukkan kepala. *** Seorang pasien pria dengan keadaan mulut yang cukup parah sudah siap di tempatnya untuk ditangani. Dan Sebastian pun sama siapnya begitu Sienna selesai dengan semua peralatan. Lampu yang sangat terang dinyalakan menyorot ke dalam mulut, dan perempuan itu membantu Sebastian memasangkan sarung tangan khususnya setelah dia membersihkannya terlebih dahulu. Kemudian tindakan oprasi kecil itu segera dilakukan. Sebastian menjejalkan kapas khusus di antara gusi, dan memasangkan sebuah alat sehingga menahan mulut pasiennya untuk tetap terbuka. Beberapa kali dia menyuntikkan obat bius berdosis rendah untuk menghilangkan efek rasa sakit yang nantinya akan timbul karena tindakan. Lalu sekali lagi dia mengecek sebelum akhirnya benar-benar melakukan apa yang memang harus dilakukan untuk pasiennya. Yakni memberikan pembedahan kecil pada benjolan gusi yag muncul karena infeksi. Darah bercampur nanah keluar lewat luka sayatan yang dibuat dan menyerap pada kapas yang sudah dia jejalkan sebelumnya. Dan begitu seterusnya Sebastian melakukan tugasnya hingga selesai. *** Disinfektan Sienna semprotkan di beberapa tempat hingga aromanya yang tajam menguar ke seluruh ruangan, namun membuat Sebastian tersenyum seperti biasa. Dia suka aroma ini karena membuatnya merasa berada di tempat yang benar-benar bersih. Perasaan tidak tentu setelah menangani pasiennya menghilang seketika begitu dia mencium aroma dari cairan anti kuman tersebut. "Pasien selanjutnya?" Sebastian duduk di kursinya setelah yakin tangannya sudah bersih, dan dia bersiap untuk pemeriksaan berikutnya. Sienna melihat buku catatannya, lalu dia berjalan ke arah pintu dan membuka benda tersebut untuk melihat ke ruang tunggu. "Pasien atas nama … Meghan?" Perempuan itu memanggil. "Meghan sebelas tahun, anak dari Ibu Marissa?" ulangnya saat pasien yang dimaksud tak menyahut. Namun Sebastian sempat memalingkan perhatian dari apa yang sedang dia persiapkan saat mendengar nama itu. "Meghan? Ibu Marissa? Oh, baik silahkan …," ucap Sienna yang menerima dua orang ibu dan anak tersebut. Sebastian tertegun menatap dua orang yang masuk ke ruangannya. Dan seperti dugaannya, ternyata dia adalah orang yang dikenal. Seseorang dari masa lalu yang sempat mengisi hari-harinya dan meninggalkan kenangan paling dalam yang pernah Sebastian rasakan. "Marissa?" sapanya yang tentu membuat Sienna dan perempuan beserta anak remaja yang baru saja masuk itu tertegun. "Sebastian?" jawab perempuan yang dimaksud dan semakin membuat suasana menjadi canggung tak menentu. "Eee …." "Apa kabar?" Marissa yang segera mengulurkan tangan untuk bersalaman. Namun Sebastian tertegun menatap uluran tangan dan wajah perempuan yang baru ditemuinya lagi setelah hampir sebelas tahun lamanya itu secara bergantian. "Oh, maaf aku lupa." Marissa terkekeh sambil menarik uluran tangannya. "Apa kabar? Senang bertemu lagi denganmu?" Dia mengangguk, dan tampaknya mengerti dengan keadaan pria itu. "Ba-baik, aku baik." Sedangkan Sebastian tampak sedikit tergagap. "Rupanya ini benar kau, aku kira Sebastian yang lain," ucap Marissa yang duduk di kursi, begitupun anak remaja yang datang bersamanya. "Ya, benar … bukankah ini kebetulan?" Pria itu tampak berusaha menguasai keadaan. "Benar." Namun Marissa hanya tersenyum. "Jadi … ada keluhan apa?" Sebastian mengalihkan topik pembicaraan saat dia menyadari Sienna memperhatikan. "Ini untuk putriku." Dan Marissa menjawab sambil menyentuh bahu putrinya. Pria itu melirik remaja perempuan di samping Marissa dan menatapnya untuk beberapa saat. Dia yang berwajah cantik seperti ibunya dan memiliki postur tubuh yang sempurna. Manik matanya kelam dan tampak tak asing dalam pandangannya. "Meghan. Kenalkan, Sayang. Ini Om Sebastian, teman Mama waktu SMA," ujarnya kepada sang putri. "Hallo Om." Menghan mengangguk kepada Sebastian yang dibalas anggukkan pula oleh pria itu. "Baik. Apa keluhanmu, Meghan?" Dia bertanya dan tak melepaskan pandangan dari anak perempuan itu. "Tidak ada keluhan, hanya pemeriksaan rutin. Sejak kembali ke Jakarta dia belum memeriksakan kondisinya lagi." "Baik kalau begitu, silahkan." Sebastian bangkit lalu mempersilahkan pasiennya untuk pindah ke tempat pemeriksaan seperti biasa. "Kondisinya bagus, giginya rapi, gusinya sehat dan secara keseluruhan keadaan mulutnya sangat baik." Pria itu berujar setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. "Dia memang pandai merawat diri," jawab Meghan yang duduk di dekatnya. "Baik sekali, Meghan. Lanjutkan." Gadis remaja itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Nah, pemeriksaan selanjutnya bisa tiga atau enam bulan yang akan dayang ya? Tetap rawat gigimu agar keadaanya selalu baik." Dia mengakhiri sesi pemeriksaan hari itu. "Baik, Om." "Terima kasih, Sebastian. Kami pamit." Dan mereka segera keluar setelah pemeriksaan tersebut selesai. "Kau benar mengenalnya?" Sienna menginterupsi lamunan Sebastian yang menatap pintu ketika baru saja dilewati pasiennya. "Hah? Umm … ya … aku memang mengenalnya." Pria itu menjawab dengan tergagap. "Teman? Atau mantan pacar?" Istri sekaligus asistennya itu memiringkan kepala, dan pertanyaannya tersebut membuat Sebastian menoleh. "Teman sekolah ya? Aku dengar dari percakapan barusan sepertinya dia baru saja kembali ke Jakarta?" "Mm … ya, dulu setelah ujian dia pindah ke Kalimantan." "Hmmm, pantas." Sienna mengangguk-anggukkan kepala, kemudian dia beranjak untuk merapikan apa yang baru saja digunakan suaminya. Sementara pria itu kembali tertegun di tempat duduknya dengan pikiran yang berkecamuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN