03 - Insiden

1155 Kata
“Coba dikit, Alea! Dikit doang nggak akan bikin kamu mabuk,” ucap Rendy. Akhirnya, Alea pun mulai menempelkan ujung gelas itu pada bibirnya. Ia menyesap minuman itu pelan. Dan begitu lidahnya mulai mencecap cairan itu, Alea merasa begitu aneh. Alea langsung menjauhkan gelas tersebut dari bibirnya. “Rasanya memang seperti ini?” bingung Alea. “Kenapa? Manis, kan?” tanya Victoria. Alea mengangguk, kemudian kembali menggeleng. “Ada manis-manisnya sih. Tapi pahit juga. Aku rasa lidahku kurang cocok sama minuman ini.” “Hah? Masa sih? Biasanya itu minuman kesukaan para pemula loh. Coba lagi deh!” “Nggak ah, makasih,” tolak Alea. “Ya ampun, dikit lagi, Al! Paling enggak habisin deh satu gelas itu! Satu gelas doang nggak akan bikin mabuk, Al!” paksa Victoria. Alea menghela napas panjang. Kemudian, ia pun kembali menegak minuman beralkohol itu hingga nyaris tandas. “Beneran aku nggak cocok.” Namun, entah kenapa, tiba-tiba saja Alea jadi teringat kembali dengan masalah-masalah yang akhir-akhir ini ia hadapi. Alea meremas kencang gelas yang masih berisi minuman beralkohol itu. Emosinya terasa seperti dipermainkan. Dan entah keberanian dari mana, akhirnya ia menegak sisa minumannya hingga benar-benar tandas. “Dih, katanya nggak cocok. Dihabisin juga akhirnya.” Victoria berkomentar. “Gimana, Al? Nggak seburuk yang kamu kira, kan? Mau nambah nggak nih? Tenang, pokoknya malam ini aku traktir kamu sepuasnya,” sambung Rendy. “B- boleh minta satu lagi?” Rendy terkekeh mendengar permintaan Alea itu. Ia pun segera menuang kembali cairan yang sama ke dalam gelas Alea. Dan perlahan, Alea mulai meminumnya. Gadis itu tersenyum saat perlahan pikirannya jadi kembali relaks. Semakin lama, ia merasa pikirannya semakin ringan. Ingatan-ingatan tentang permasalahan hidupnya itu perlahan mulai memudar. Namun, lama kelamaan kepala Alea terasa pusing. Entah sudah berapa gelas yang ia minum. Ia bahkan sudah tidak dapat menghitungnya. Bahkan Rendy dan Victoria pun sudah menyarankan ia untuk berhenti sejak beberapa saat lalu. “Cukup, Alea! Ntar lo bener-bener nggak bisa pulang kalau terlalu mabuk,” ucap Victoria. Alea terkekeh. Kemudian ia mengetuk kepalanya beberapa kali. “Enak juga ya rasanya? Kepalaku jadi enteng,” ucap Alea. Namun, kemudian ia segera membungkam mulutnya. “Tapi pahit,” imbuhnya. “Alea, kamu mabuk?” Samar, Alea dapat mendengar suara Gita. Ia pun menoleh, kemudian menganggukkan kepalanya. “Mabuk? Memang yang begini sudah bisa dikatakan mabuk, ya? Oh … ternyata seperti ini rasanya mabuk, Git? Pantas saja kamu suka ke kelab. Enak, ya, Git? Pikiran kita jadi enteng.” “Duh … mana aku mau langsung balik lagi. Alea, cuci muka dulu yuk ah! Aku nggak bisa mampir kos dulu. Aku mau langsung pulang ke rumah. Jadi mending sekarang kamu cuci muka biar segeran dan bisa pulang sendiri!” ajak Gita. “Biar ntar gue anter teman lo ini, Git. Kosnya sama kayak lo, kan?” ujar Rendy. “Tapi tetap saja dia nggak akan bisa jalan sampai kamar kos kalau semabuk ini. Memang dia minum berapa gelas, sih? Lo kasih apa, Ren?” omel Gita. “Sssstt ssstt sssstt, Gita. Aku nggak apa-apa. Kenapa, sih? Kamu mau pulang? Ya udah sana pulang aja! Aku mau di sini dulu. Di sini enak, Git. Aku jadi bisa ngerasa lebih hidup,” sambung Alea. “Lebih hidup mbahmu, Le! Udah buruan ayo aku antar ke toilet dulu! Kamu harus cuci muka dulu biar bisa melek!” paksa Gita. Ia segera menarik paksa Alea untuk ikut ke toilet. Ia harus memastikan agar Alea dalam keadaan yang stabil terlebih dahulu agar anak itu bisa kembali dengan selamat sampai kosnya. “Bisa, kan, cuci muka sendiri?” tanya Gita di depan kamar mandi. “Masuk, gih! Tadi bokap telepon soalnya. Aku harus chat dulu sebelum nanti kena omel,” imbuhnya. Gadis itu mendorong Alea masuk ke toilet wanita, setelah itu menyibukkan dirinya dengan benda pipih miliknya. Di dalam toilet, Alea menatap pantulan wajahnya di cermin. Cukup lama, hingga tiba-tiba seringaian muncul di bibirnya. “Ternyata aku bisa hidup normal kayak Gita juga, ya? Wah … tahu begini dari dulu saja aku ikut Gita, hehe,” gumamnya tidak jelas. Ia segera menyalakan kran dan membasahi tangannya. Namun, ia terkejut saat merasakan tangannya bersentuhan dengan air yang sangat dingin itu. “Ish … dingin. Ngagetin aja!” kesalnya, sambil mengomeli kran yang tidak bersalah tersebut. Namun, setelah itu ia kembali membasahi tangannya. Ia bermain air dan mencipratkan air itu ke sembarang arah yang membuat beberapa orang di sekitarnya tampak kesal dan meninggalkannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia kembali merasa pusing. Ia juga ingat apa tujuannya datang ke sini. Seperti yang Gita perintahkan, Alea pun segera mencuci wajahnya dan kembali pada Gita yang telah menunggunya di luar toilet. Namun, saat Alea keluar, ia tidak dapat menemukan Gita di tempat semula. Ia pun segera menghubungi Gita dengan kesadarannya yang masih tersisa. Dan ternyata, gadis itu mengirimkan pesan sebelumnya. Memberi tahu Ale ajika ayahnya sudah mengomelinya karena tak kunjung pulang sehingga terpaksa harus meninggalkan Alea sendiri. Alea mendecak kesal, diikuti rasa pening di kepalanya. Saat ia hendak beranjak berjalan, tubuhnya oleng hingga ia menabrak seorang pria yang baru saja keluar dari toilet pria. Tangan pria itu langsung memegangi lengan Alea dan membantunya berdiri. Namun, Alea justru merasakan hal yang aneh saat kulit mereka saling bersentuhan. Tangan pria itu sangat dingin seperti air yang ada di toilet. Sepertinya pria itu baru saja mencuci tangannya. Entah pikiran dari mana, tiba-tiba saja Alea meraih tangan pria itu dan menempelkannya di pipinya sendiri. “Dingin, segar, enak,” celotehnya. “Lepas! Kamu mabuk, ya?” sentak pria itu. Alea mengerutkan bibirnya, menatap pria itu tidak terima. “Enggak! Aku nggak mabuk, kok!” tegasnya. Setelah itu, Alea kembali menempelkan tangan pria itu ke wajahnya. “Begini lebih baik. Kamu di sini aja, ya! Nemenin aku! Kepalaku pusing, aku nggak bisa pulang karena Gita udah balik duluan,” pinta Alea. “Maaf, saya nggak bisa,” tolak pria itu. “Ck, pliss. Aku beneran nggak bisa pulang, Om.” “Kenapa nggak bisa? Datang ke sini saja bisa, kok pulangnya harus minta tolong saya?” kesal pria itu. “Gita udah balik duluan karena takut diomeli papanya. Aku sendirian, padahal aku nggak pernah ke sini dan sekarang kepalaku – shhh …” Alea meringis sambil memegangi kepalanya yang kembali berdenyut. Tubuh gadis remaja itu kembali oleng. Dan lagi – pria itu kembali membantunya. “Kamu nggak apa-apa? Alamat kamu di mana?” “Pusing,” keluh Alea. “Iya, rumah kamu di mana? Saya nggak bisa mengantar kalau saya nggak tahu- eh! Eh, jangan pingsan dulu!” Terlambat. Karena saat itu, Alea sudah benar-benar kehilangan hampir seluruh kesadarannya. Gadis itu memejamkan matanya. Tubuhnya melemah dan sesekali celotehan tidak jelas keluar dari mulutnya. Tidak ada pilihan lain, akhirnya pria asing itu tergerak untuk menolong Alea, sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu di sini. “Ck, dasar remaja masa kini. Nakal bisa, tapi jaga dirinya sendiri saja nggak bisa,” komentar pria itu, sembari membawa tubuh Alea ikut bersamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN