Bab 2 : Pertanyaan Tanpa Jawaban

1199 Kata
Mobil mewah Theo meluncur mulus di tengah malam yang sepi, membelah kegelapan jalan kota dengan kecepatan yang terukur. Di dalam mobil, Izora terbaring lemah, berusaha menahan rasa sakit yang menusuk di perutnya. Napasnya semakin pendek, matanya mulai kabur, tapi di sela-sela kebingungannya, ada satu hal yang mengganjal di pikirannya: siapa pria ini? Theo memegang kemudi dengan tenang, wajahnya tetap dingin dan tanpa emosi, meskipun dia sesekali melirik ke arah Izora di kursi penumpang. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka selama perjalanan. Bagi Izora, sepi yang terasa menekan ini memberi waktu bagi pikirannya untuk mencoba memahami situasi yang dialaminya—bagaimana hidupnya berubah dalam sekejap. Dari kengerian yang ia alami di klub malam, hingga keberadaan pria misterius yang tiba-tiba menyelamatkannya dari kematian. Malam semakin larut, dan jalanan semakin lengang. Lampu-lampu jalan yang memudar di kejauhan menciptakan bayang-bayang samar di dalam mobil. Meskipun tubuhnya terasa semakin lemah, pikiran Izora terus bertanya-tanya. Siapa pria ini? Apa alasan di balik tindakannya? Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti perjalanan yang panjang, mereka tiba di rumah sakit. Lampu-lampu terang dari area darurat menyilaukan mata Izora. Theo berhenti di depan pintu masuk, keluar dari mobil dengan cepat, lalu mengangkat tubuh Izora yang lemah dengan lembut dari kursi penumpang. Izora samar-samar mendengar suara perawat yang memanggil bantuan saat Theo menyerahkan tubuhnya kepada mereka. Dalam waktu singkat, ia diletakkan di atas tandu dan didorong masuk ke ruang gawat darurat. Saat itu, Izora merasa semakin jauh dari kenyataan, kesadarannya mulai menghilang. Izora sempat melihat Theo untuk terakhir kalinya sebelum pintu ruang darurat tertutup di hadapannya. Meskipun tubuhnya semakin lemah, pertanyaan di dalam hatinya masih terus membara: Siapa pria ini? Kenapa dia menolongku? *** Di dalam ruang gawat darurat, suara mesin medis berdengung, sementara dokter dan perawat bergerak cepat di sekeliling Izora. Mereka membersihkan luka-lukanya, menghentikan pendarahan, dan mulai menstabilkan kondisinya. Meski tubuhnya kini berada di bawah pengaruh obat, pikirannya tetap terbang kembali ke sosok pria asing yang menyelamatkannya. Di luar ruang darurat, Theo duduk di kursi tunggu. Wajahnya masih tetap tenang, tanpa ekspresi. Seorang dokter akhirnya keluar, mendekati Theo. "Dia akan baik-baik saja," kata dokter itu. "Luka-lukanya cukup parah, tapi kami berhasil menghentikan pendarahannya. Dia perlu waktu untuk pulih, tapi kondisinya stabil sekarang." Theo hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Meski tidak menunjukkan reaksi apapun, ada sesuatu yang berubah di matanya—sebuah kesadaran bahwa Izora, perempuan yang tak ia kenal sebelumnya, kini berada di bawah tanggung jawabnya. *** Beberapa jam kemudian, Izora dipindahkan ke kamar rawat inap. Wajahnya masih pucat, tetapi napasnya sudah lebih tenang. Perlahan-lahan, kesadaran mulai kembali. Cahaya redup dari lampu kamar rumah sakit memancar lembut, menerangi ruangan itu dengan damai. Di sudut kamar, Theo duduk, memperhatikannya. Ketika Izora membuka matanya, ia melihat sosok Theo yang duduk diam di sana. Pria itu tidak berbicara, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan. Izora mencoba berbicara, namun suara yang keluar hanyalah bisikan yang lemah. “Siapa kamu?” tanyanya pelan, suaranya pecah. Theo menoleh, dan setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dia berbicara dengan tenang. “Aku Theo,” jawabnya singkat. Suaranya rendah namun penuh ketegasan, seolah tidak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa menggoyahkan ketenangannya. Izora menelan ludah, mencoba memahami situasinya. Pria ini, Theo, jelas bukan orang sembarangan. Penampilannya yang tenang, sikapnya yang penuh kontrol, dan cara dia membawanya ke rumah sakit semuanya terasa terlalu terencana. Namun Izora terlalu lelah untuk mempertanyakan lebih lanjut. “Terima kasih... Theo...” gumamnya lemah, pandangannya kabur. “Aku Izora,” tambahnya, meski ia tahu bahwa Theo mungkin sudah mengetahuinya. Theo hanya mengangguk sekali lagi, tanpa ekspresi yang jelas. Meskipun Izora telah mengucapkan terima kasih, suasana di antara mereka tetap terasa asing dan penuh ketegangan. Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk untuk memeriksa kondisi Izora. Dia menjelaskan bahwa perawatan lebih lanjut akan dibutuhkan, dan beberapa tes tambahan harus dilakukan untuk memastikan tidak ada komplikasi lain. Selama percakapan itu, Theo hanya duduk di kursinya, mengamati tanpa campur tangan. Dia seperti bayangan diam yang mengawasi setiap perkembangan, namun tanpa emosi yang terlihat jelas. Setelah dokter keluar, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Izora berbaring diam, pikirannya terus berputar, mencoba memahami situasi yang ia hadapi. Theo masih berada di sana, dan kehadirannya semakin membingungkan. “Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Izora akhirnya. Keheningan yang terlalu lama membuatnya tak bisa menahan diri lagi. "Kenapa kamu menyelamatkanku?" Theo menatapnya, dan kali ini ada sedikit perubahan di wajahnya. Seolah dia telah menunggu pertanyaan itu, tetapi tidak sepenuhnya siap untuk menjawabnya. “Sebuah pertanyaan yang masuk akal,” jawab Theo akhirnya, nadanya tetap tenang, tapi matanya tak pernah lepas dari Izora. "Entahlah." Izora mengerutkan alis. Jawaban itu semakin membuatnya bingung. "Kamu tidak mungkin melakukan ini tanpa alasan." Theo diam sejenak, lalu berdiri. Dia berjalan ke arah jendela, mengamati langit malam yang gelap. "Aku menyelamatkanmu karena aku bisa," jawabnya, tanpa menoleh. "Itu saja." "Karena kamu bisa?" Izora mengulang, nadanya tidak percaya. "Ada orang-orang yang meninggalkanku di malam itu, bahkan suamiku sendiri. Kamu tidak seperti mereka... Tapi kenapa?" Theo memutar tubuhnya sedikit, menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam kali ini. “Izora, aku tidak memerlukan alasan untuk membantu seseorang yang sedang sekarat. Tapi aku tidak bisa menjanjikan ini tidak akan berubah.” “Berubah? Maksudmu apa?” Theo diam sejenak, lalu menghela napas pelan. Dia melangkah mendekati pintu. “Aku akan pulang. Aku sudah membayar tagihan rumah sakitmu. Istirahatlah.” Izora menatap Theo yang sudah hendak keluar, namun ada dorongan dalam dirinya untuk menahan pria ini sebelum semuanya berakhir begitu saja. "Tunggu!" suaranya lirih namun putus asa. "Theo, aku... aku hanya ingin tahu. Apa kamu akan kembali? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?" Theo berhenti sejenak di depan pintu, bahunya sedikit menegang. Dia tidak menoleh, namun suaranya terdengar jelas di udara yang sunyi. “Aku akan kembali. Dan saat itu tiba, kita akan membicarakannya lagi.” Setelah mengatakan itu, Theo membuka pintu dan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Izora hanya bisa menatap pintu yang tertutup kembali, dengan kepala penuh kebingungan dan hati yang campur aduk. *** Hari-hari berlalu, dan Izora terus menjalani perawatan. Tubuhnya perlahan membaik, tetapi ingatannya tentang malam di klub malam itu masih menghantuinya. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa merasakan cengkeraman Keid, dan rasa takut yang tak terkira. Dia terus memikirkan Theo—pria asing yang telah menyelamatkannya. Pria yang dingin namun penuh teka-teki, yang menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Theo sesekali datang mengunjunginya di rumah sakit. Setiap kunjungannya selalu singkat, diwarnai dengan percakapan yang minimal. Izora mencoba beberapa kali untuk memahami niatnya, tetapi Theo selalu tampak sulit ditembus. Dia datang dan pergi seperti angin malam, meninggalkan rasa misteri yang semakin mendalam. Hingga suatu hari, ketika Izora merasa cukup kuat untuk berbicara lebih banyak, dia kembali mengajukan pertanyaan yang terus menghantuinya. "Jadi, apa yang kamu inginkan dariku sebagai imbalannya?" Theo duduk di kursi, di samping tempat tidur Izora, dan kali ini dia menatapnya lebih lama. Ada sedikit ketegangan di antara mereka, seolah-olah sebuah keputusan besar sedang menggantung di udara. "Apa yang aku inginkan..." Theo berhenti sejenak, mempertimbangkan kata-katanya, "adalah kesepakatan." Izora menatapnya, bingung. "Kesepakatan apa?" Theo tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. "Sebuah kontrak. Kau menjalani operasi wajah, dan aku akan menjamin keselamatanmu. Sebagai imbalan, kau akan menjadi teman tidurku." Izora terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa?! Apakah kamu serius?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN