Bab 1 : Permintaan

1343 Kata
Malam terasa pekat, seolah-olah kegelapan itu sendiri merasuk ke setiap sudut kota. Sebuah gedung megah berdiri di tengah kegelapan tersebut, lampu neon di fasadnya memantulkan cahaya yang berpendar liar, menciptakan ilusi semu dari kehidupan yang gemerlap. Di luar, hanya suara gemerisik daun kering yang ditingkahi hembusan angin malam, menguatkan kesan sunyi dan dingin. Di dalam, kebalikannya terasa jelas—musik berdentum keras, sorak-sorai tertawa orang-orang mabuk, dan hawa yang terasa penuh dengan kepalsuan. Izora berdiri di sudut ruangan klub malam itu. Tubuhnya kaku, mata cokelat gelapnya menyapu ruangan, namun pikirannya melayang entah ke mana. Rambutnya yang cokelat panjang tergerai kusut di atas gaun hitam pendek yang ia kenakan, seolah berusaha untuk berbaur dengan gemerlap, namun wajahnya yang pucat dan lelah membuatnya terlihat tak sesuai dengan lingkungan sekitar. Dia tampak seperti bayang-bayang di tengah hingar-bingar. Keid, suaminya, berada tidak jauh dari sana, tertawa dengan suara keras bersama teman-temannya. Wajahnya yang tampan tidak bisa menyembunyikan kebengisan di balik senyumnya. Ia adalah lelaki yang memegang kendali penuh atas malam itu, termasuk atas diri Izora. “Kamu harusnya bersyukur, Izora.” Suara Keid terdengar dingin dan merendahkan, meskipun nada suaranya berusaha terdengar ramah. Matanya, tajam dan dingin, menunjukkan betapa sedikitnya rasa empati yang tersisa. “Ini untuk masa depan kita. Kita akan kaya raya.” Izora tak mengangkat kepalanya. Kata-kata Keid mengalir begitu saja, menyakitkan namun sudah terlalu sering ia dengar. Dia menunduk, menahan napas, mencoba meredam rasa sesak di d**a yang semakin menguat. Sudah sejak lama dia tahu bahwa pernikahannya dengan Keid adalah kesalahan besar, namun kini dia merasa benar-benar terjebak, terperangkap dalam jeratan yang dipilin oleh keserakahan dan kebohongan. Saat musik mendadak berhenti, sorotan lampu berubah, memusat ke arah panggung kecil di tengah ruangan. Suasana berubah. Sekelompok pria tampak semakin liar dalam memilih 'hiburan' yang diatur untuk malam itu. Sorakan mereka terdengar bagaikan suara dari mimpi buruk bagi Izora. Napas Izora tertahan. Seperti seekor rusa yang menyadari bahwa ia terjebak, matanya mulai membesar, pandangannya melebar. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum ini, dia sudah mendengar desas-desus, sudah merasakan aura gelap yang menyelubungi tempat itu. Malam itu bukanlah malam biasa. Dan dia, sadar atau tidak, adalah bagian dari permainan yang jauh lebih jahat. Panik merayap dalam dirinya, tetapi tubuhnya gemetar, seolah kehilangan tenaga bahkan untuk berdiri. Dalam hatinya, ia berteriak agar bisa berlari, lari jauh dari semua ini. Namun, kenyataan berbicara lain—kakinya terasa seberat timah. Dengan putus asa, ia melangkah mundur, berharap bisa menyelinap keluar sebelum terlambat. Tapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, seorang pria besar berdiri menghalangi jalannya. “Kamu mau ke mana, cantik?” Suara serak pria itu terdengar seperti ejekan. Senyum liciknya membuat perut Izora semakin mual. Sebelum sempat menjawab, tangannya sudah ditarik kasar dari belakang. Seorang pria lain, lebih muda, dengan tawa mengejek, menyeretnya ke arah yang lebih gelap di sudut klub. "Kamu milikku malam ini," bisik pria itu dengan nada yang mengandung ancaman. Izora mencoba meronta, namun tubuhnya terlalu lemah. Matanya berputar, mencari jalan keluar, tetapi para penjaga di setiap sudut ruangan membuat pelarian tampak mustahil. Tenaganya menghilang, perlahan-lahan. Dalam kekacauan ini, baru ia sadari bahwa minuman yang tadi disodorkan oleh Keid mungkin telah dicampuri sesuatu. “Berhenti memberontak, kau tidak akan ke mana-mana,” bentak pria itu sebelum menampar wajah Izora dengan kasar. Tamparan itu seperti tamparan keji pada martabat yang sudah hampir hilang sepenuhnya. Tangannya dengan cepat merenggut pinggang Izora, menariknya lebih dekat dan mulai menciumi lehernya dengan paksa. Izora berusaha melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah, seolah-olah semua energi tersedot habis. Ia mencoba untuk berteriak, namun suaranya hanya berupa desahan lemah yang tenggelam oleh dentuman musik dan tawa di sekitar mereka. Dalam keputusasaan, Izora merasakan dunia sekitarnya semakin kabur. Namun otaknya, dalam keadaan sadar yang mulai memudar, tetap memberontak. 'Aku harus kabur... aku harus keluar dari sini...,' pikirnya berulang kali, meskipun tubuhnya tak lagi sanggup untuk bergerak cepat. Pria itu, yang semakin agresif, mendekati Izora dan mendorongnya ke atas ranjang di sebuah ruangan kecil. "Kau sangat cantik malam ini," bisiknya, suaranya dipenuhi dengan keserakahan. Izora tergeletak di sana, matanya menatap kosong ke langit-langit. Dia tahu, melawan secara fisik adalah mustahil. Namun, saat pria itu mendekat, naluri bertahannya kembali menyala. Ketika pria itu mulai menanggalkan pakaiannya, Izora tahu bahwa satu-satunya cara untuk bisa lepas adalah melalui pikiran yang tetap fokus, meskipun tubuhnya tak lagi bisa diandalkan. "Aku.. tidak akan menyerah..." gumamnya lirih. Pria itu semakin mendekat, meraih wajah Izora dengan kasar dan memaksanya membuka mulut. Izora merasa jijik. Sesuatu yang keras dan busuk dipaksakan ke hadapannya, membuat Izora hampir muntah. Tapi di saat-saat terakhir, dengan segenap sisa tenaga yang ia punya, Izora menggigit pria itu sekuat tenaga. “Aaaarrgghhh!!!” Teriakan kesakitan pria itu memecah keheningan ruangan, membuatnya terhuyung mundur. Tangan Izora bergetar, namun itu adalah kesempatan kecil yang ia butuhkan. Ia harus kabur, saat itu juga. Dengan tubuh yang masih lemah, Izora bangkit dari ranjang, meraih pakaian yang berserakan, dan mencoba berlari ke arah pintu. Tapi di saat ia hendak keluar dari ruangan itu, sebuah pemandangan lain menunggunya—Keid, berdiri di ambang pintu, memegang belati di tangannya. “Kau pikir kau bisa lari dariku?” Suaranya dingin, penuh amarah. Dengan langkah cepat, ia maju dan menusukkan belati itu ke perut Izora tanpa ragu. Izora tertegun. Rasa sakit yang tajam menyambar tubuhnya. Ia jatuh, darah mengalir deras dari lukanya. Tetapi, di antara rasa sakit yang tak tertahankan, tekadnya untuk bertahan hidup tak pernah padam. Ia meraih lengan Keid, menyingkirkan tangan yang memegang belati itu dengan sisa tenaganya, dan dengan dorongan kuat, ia berhasil menjauhkan dirinya dari Keid yang marah. Lari. Itu satu-satunya hal yang terlintas dalam pikirannya. Darah mengalir deras dari perutnya, tetapi Izora tidak peduli. Ia berlari keluar dari ruangan itu, melewati kegelapan klub yang terasa semakin mencekik. Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi dia tidak akan menyerah. Ia harus lari, atau dia akan mati. Saat ia berhasil melewati pintu keluar klub dan memasuki area parkir, Izora hampir jatuh pingsan. Keseimbangannya goyah, tubuhnya terasa rapuh. Namun saat tubuhnya hampir ambruk, ia menabrak sesuatu—lebih tepatnya, seseorang. Pria itu berdiri tegap, tinggi, dengan wajah yang tampan namun dingin seperti patung marmer. Izora terjatuh di depannya, matanya menatap ke atas, berusaha melihat siapa yang ia tabrak. “Aku... mohon... bantu aku...” ucapnya lirih, mencengkeram lengan pria itu, berharap ada sedikit belas kasihan di balik tatapannya yang tajam. Pria itu, Theo Salvatore, menatap Izora dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia diam, tatapannya tak beranjak dari Izora yang berlumuran darah dan terengah-engah di lantai. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pria itu hanya berdiri di sana. Tidak ada rasa simpati di matanya. Tapi entah apa yang terjadi dalam benaknya, setelah beberapa saat, dia merendahkan tubuhnya, membungkuk, dan menatap Izora lebih dekat. “Baiklah,” katanya pelan, suaranya terdengar tenang namun penuh otoritas, sebelum meraih lengan Izora dengan mantap. "Aku akan membawamu pergi dari sini," lanjut Theo dengan nada tenang namun tegas. Matanya menelusuri tubuh Izora yang terluka parah, tapi tak ada kepanikan di wajahnya. Dia mengangkat tubuh Izora dengan mudah, seolah perempuan yang terkulai lemas itu tidak berbobot sama sekali. Izora merasa tubuhnya melayang, di antara rasa sakit yang mengaburkan kesadarannya, dia masih bisa merasakan genggaman tangan pria itu—dingin tapi kuat. “Kita akan keluar dari sini. Bertahanlah,” bisik Theo pelan, sambil melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di sudut gelap area parkir klub malam itu. Di belakang mereka, keheningan kembali menyeruak. Klub malam itu tetap beroperasi seperti biasa, tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi di dalamnya. Tapi di dalam kepala Izora, rasa sakit, ketakutan, dan bayangan Keid yang kejam masih menghantuinya. Tangannya yang bergetar mencoba memegang sisi tubuhnya, mencoba menghentikan darah yang terus mengalir dari luka tusukan itu. Setiap helaan napas terasa berat, namun ada satu hal yang terus memaksanya bertahan: harapan tipis bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa selamat. Saat Theo menempatkannya di dalam mobil, Izora mencoba mengangkat kepala dan melihat wajah pria itu lagi. “Kenapa... kenapa kamu... menyelamatkanku?” gumamnya dengan napas terputus-putus. Theo hanya menatapnya sebentar melalui cermin depan, tanpa memberikan jawaban. Dia menghidupkan mesin mobil, dan dalam sekejap, mereka melaju menembus malam yang gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN