Prasaja merasa kalau dirinya sudah dimanfaatkan Danica. Gadis itu hidup sangat tenang dan bahagia, sednagkan Prasaja hari-harinya dilalui untuk memikirkan bagaimana agar gadis itu baik-baik saja. Agar Danica terus melihatnya sebagai sesuatu.
Tapi, tak ada balasan. Prasaja tidak terima. Ia akan mengulangi lagi merayu Dnaica.
Prasaja sudah rapi. Ia sudah akan keluar dari kamar ketika ponselnya berdering. Keluhan keluar dari bibirnya.
"Ada apa lagi, Farah?" tanya Prasaja tanpa menyembunyikan kekesalannya. "Kamu tahu kan, ini pagi hari, dan saya bukan pengangguran. Saya harus kerja."
"Saya Cuma mau omong sebentar."
"Lima menit."
"Ini bahkan tidak memakan waktu lima menit, Mas."
"Oke, ada apa?"
"Ada yang mau saya bicarakan dan ini harus dibicarakan langsung. Kamu yang datang ke sini atau saya yang ke sana."
Dua piliha yang tidak disukai Prasaja. Ia tidak bisa memilih dan sebenarnya tidak mau memilih. Ia tidak mungkin menemui Farah di Surabaya, saat ada Danica di sini. Apalagi Danica bersama dengan pria asing yang membuatnya diam-diam merasa minder.
Tapi, juga tidak mungkin jika Farah datang ke sini, sedangkan Danica ada juga. Ini akan menjadi kekacauan tersendiri.
"Sebenarnya ada apa sih, Far? Kalau bisa dimongkan lewat telepon kenapa gak diomongkan saja sih? Saya kan sudah bilang kalau saya sedang sibuk. Jangan desak saya terus, dong."
"Sesibuk-sibuknya kamu, apa gak ada waktu buat saya. Ini lebih penting dan lebih mendesak."
"Ya, omong aja sekarang! Atau saya blok saja kamu!"
"Kamu berani blok saya, maka artinya kamu ingin saya datang."
Prasaja tidak punya pilihan. Lebih baiknya dia datang menemui Farah, ketimbang Farah yang datang ke sini. Kehilangan satu hari kesempatan mendesak Danica, harusnya bukan masalah besar.
"Oke. Saya akan menemuimu."
***
Di setiap tempat, selalu ada waktu dalam setahun, di mana keadaan cuaca hampir mendekati sempurna. Setelah panas yang begitu terik di musim panas, malam yang begitu dingin dengan hujan yang menjadi pelengkap, kini harus menjadi cerah dengan keadaan yang berimbang. Bersinar tapi tidak panas, sejuk dengan embusan angin yang membuat siapa saja bisa mengantuk.
Danica terbangun dengan tubuh yang sedikit ringan. Ia sudah menangis banyak. Ia sudah mengalami syok. Ia sudah menerima emosi baru semalaman. Dan kini ia merasa sedikit tenang.
Danica memutuskan bangun karena perutnya menjerit. Ia kelaparan. Setelah memeriksa waktu, ternyata sudah jam dua siang. Begitu lamanya ia tidur. Danica memutuskan mandi dan makan.
Sempat ia memeriksa ke adaan ayahnya, lalu teringat bagaimana ayahnya muncul tiba-tiba di saat Danica bahkan tidak memikirkannya akan seperti itu kedatangan ayahnya.
***
"Nika...." Lelaki tua itu mengulang panggilannya. Bibirnya yang berkeriput, terlihat gemetaran. Meski begitu, ada senyum yang tertarik. Kedua tangannya perlahan mengeratkan pegangan ke sandaran kursi roda dan kakinya turun satu per satu.
Agasta segera membungkuk dan bertanya dengan suara bassnya yang diperkecil.
"Bapak mau masuk?"
Mendengar pertanyaan itu, Danica yang terkejut, langsung memegang lengan Agasta dengan sengit.
"Apa-apaan? Kamu mau masuk tanpa tanya dulu sama saya?"
Agasta menegakkan tubuhnya dengan kesal. Tatapannya tajam, menatap Danica seolah Danicalah yang salah.
"Harus?"
"Ya, harus. Wajib. Ini rumah saya dan kalian orang asing. Kok, lucu asal main masuk aja. Mbok pikir ini kandang ayam, po?"
Kedua mata Agasta mengerjap. Ia seperti seorang yang linglung. Bibirnya yang sedikit tebal, melipat ke dalam. Ada keraguan kemudian untuk mengatakan sesuatu. Dan itu bisa dibaca Danica.
"Siapa Bapak ini? Kenapa dia menyebut nama saya? Kenapa juga mau masuk ke rumah saya?" desak Danica tidak tahan hanya ditatap saja oleh Agasta. Tatapan Agasta justru membuatnya tidak nyaman.
"Kamu, benar-benar..., tidak bisa mengenalinya?" tanya Agasta dengan keraguan.
"Tidak! Jadi jelaskan! Sopo sih kalian ini?! Datang subuh-subuh, ganggu orang istirahat. Dan sekarang malah mau main masuk aja."
Agasta menjilati bibir bawahnya. Mengusap hidungnya dan mulai berdeham. Agasta seperti seseorang yang sedang ingin memberikan jawaban terbaiknya. Padahal seharusnya semua pertanyaan Danica bisa sangat mudah meluncur dari bibirnya.
"Danica..., mmm..., begini...."
Kedua tangan Agasta terulur dan memegangi kedua lengan Danica yang tebal karena busa dari jaket Agasta. Pun begitu, Agasta bisa merasakan jika lengan Danica kecil.
Danica sendiri seketika seperti terhipnotis. Terdiam saja menatap Agasta dan merasakan ada tangan yang lebih besar menguasai lengannya.
"Mungkin kamu lupa, ah, tidak, tidak, tidak...." Agasta menggelengkan kepala, membuat Danica mengernyit. "Tidak. Bukan begitu. Kamu bukannya lupa...., mmm..., kamu tidak tahu. Mungkin ibumu tidak mengenalkanmu. Tidak memberitahukanmu akan...."
Agasta tak melanjutkan kalimatnya karena Danica langsung menyentak kedua lengannya. Jantungnya terasa sedang ditinju ketika ada kalimat Agasta yang mengaitkan dengan ibunya. Sepertinya ini adalah sesuatu yang penting dan sedikit menakutkan. Atau sebenarnya di alam bawah sadar Danica sudah memberikan alarm bahwa telah terjadi sesuatu dan meneriaki Danica untuk ingat.
"Apa-apaan ini? Kenapa ibu saya dibawa-bawa. Ngomong yang jelas. Ini kita di luar, kedinginan, dan saya mumet, yo. Jangan sampai saya yang gak betah, mulai teriak dan membuat keributan dan mengacak-acak semua. Ngomong yang jelas dan ndak usah klemak-klemek!"
Agasta menarik napas. Danica sudah emosi dan ucapan Danica adalah benar. Dirinya terlalu lambat, sedangkan udara sangatlah dingin.
"Bapak bukan memanggil namamu. Bapak memanggil nama ibumu. Manika."
Danica benar-benar dihantam kenyataan. Tubuhnya oleng dan mundur selangkah. Otaknya sudah bekerja dengan cepat, siapa pria itu. Kesimpulannya sudah di dapat. Tetapi Danica masih ingin mengingkarinya atau bahkan Danica masih ingin menganggap ini adalah tidak benar.
Perlahan ia menoleh pada pria tua yang sudah berdiri membungkuk. Tubuhnya sangat ringkih dengan balutan jaket sangat tebal. Danica melihat Agasta yang terkejut dan langsung memapah si pria tua itu. Agasta mengatakan sesuatu yang sudah tak bisa didengar Danica. Dan pria itu kembali duduk di kursi rodanya.
Untuk masuk rumah Danica, harus melewati teras. Dan untuk ke teras, ada lima anak tangga yang harus ditapaki. Entah memang kebetulan ataukah sudah memperkirakan, anak tangga itu cukup panjang yang mana di bagian tengahnya ada dua kaki luncuran, yang tak disangka lebarnya sama dengan lebar kursi roda.
Agasta dengan mudah mendorong kursi roda itu ke atas, ke bagian teras rumah. Saat pintu rumah dibuka lebih lebar, kesadaran Danica pulih. Secepat angin, Dania berlari ke atas dan langsung menghadang si pria tua juga Agasta.
Tatapan Danica sengit pada pria tua yang tak menatapnya sedikit pun. Melainkan tatapannya terarah pada bagian dalam rumah yang temaram, yang ada di belakang tubuh Danica.
Jantung Danica berdebar kencang dengan napas yang naik turun. Ia belum siap dengan kenyataan yang datang tiba-tiba saat dirinya sendiri. Bukan yang begini yang ia bayangkan selama ini.
"Kenapa...? Kenapa..., cari ibu saya?" tanya Danica tanpa melepaskan tatapannya dari si pria tua.
Kenapa hanya Mama yang dicarinya? Kenapa saya tidak dicarinya? Teriak histeris Danica dalam hatinya yang bergejolak.
"Bapak saat ini hanya ingat ibumu. Tapi, di waktu lain, dia juga mengingatmu," ucap Agasta lembut. Ia memilih untuk bersikap sabar. Ia memahami kepanikan, rasa terkejut, dan kebingungan Danica. Hal ini sudah ia duga sedari tadi, bahkan dari sebelum keputusannya mengantar ayah angkatnya, pulang.
"Tidak! Pergi kalian. Pulang kalian semua!" Danica mundur dan berniat menutup pintu.
Tapi Agasta dengan memaksa, mendorong kursi roda sampai di ambang pintu dan dengan sengaja menahannya di sana. Tidak memungkinkan bagi Danica untuk menutup pintunya.
"Bapak tidak akan pergi. Ini rumahnya."
"Sudah tidak lagi! Rumah ini atas nama ibu saya!" ucap Danica bengis. Matanya benar-benar melotot marah. "Bawa pergi orang ini. Bawa pergi atau saya akan teriak!"
Agasta yang gemas, memasang kunci roda, dan mendekati Danica. Dicengkeramnya dengan mudah lengan Danica. Setengah diseret, Agasta membawanya masuk lebih dalam ke rumah. Agasta sedang tidak ingin keributannya dengan Danica dilihat bapak angkatnya.
"Lepaskan! Saya beneran teriak ini!"
Danica menggeliatkan lengannya. Berusaha melepaskan diri. Tetapi tidak bisa. Sedangkan Agasta tidak peduli dengan ancaman Danica. Ada lemari kuno yang diletakkan di dekat pintu berpartisi ukiran jawa dan Agasta mendorong tubuh Danica, hingga menempel ke lemari.
"Rumah ini memang atas nama ibumu. Tetapi Bapak juga masih punya hak atas rumah ini. Jadikan biarkan Bapak masuk, tanpa diributkan oleh rengekanmu," ucap Agasta tegas.
Tubuh Agasta yang menjulang dan besar, seketika menguasai tubuh Danica yang kecil mungil. Sikap intimidasi Agasta, seperti sikap seorang bapak sedang memarahi anaknya. Harusnya Danica gentar, tetapi tidak.
"Dia sudah tidak punya hak apa-apa atas rumah ini. Rumah ini tidak menerima dia datang dan masuk ke sini."
"Saya kira penulis itu pintar. Ternyata..., kopong. Bapak belum bercerai. Lupa kamu?"
Danica terhenyak. Agasta lagi-lagi menyentil Danica atas kenyataan yang sebenarnya.
"Tidak pernah ada perceraian. Statusnya adalah suami dan ayah masih ada. Dan rumah ini masihlah rumah beliau. Kecuali..., hatimu sudah mati. Mengusir seorang yang sudah sangat renta dan rindu pulang, saat ini."
"Ya! Ya!" Danica emosi. Kedua matanya mulai memerah karena amarah dan air mata yang tertahan. "Hati saua sudah mati. Dia yang membuatnya. Bahkan dia yang sebenarnya mengajari saya untuk tidak punya perasaan! Jadi, karena hati saya sudah mati, pergi kalian. Pergi!"
Bruk!
Agasta dan Danica terkejut dengan bunyi gedebruk yang khas. Agasta cepat menoleh dan Danica langsung memekik, menutup mulutnya dengan kedua jemarinya.
Pria tua itu sudah berada jauh dari kursi rodanya dan jatuh tertidur di bawah foto ibu Danica.
***
Danica menghela napas. Perlahan ia mendekati ayahnya yang tidur. Danica tidak tahu apakah ayahnya sempat bangun atau tidak. Tapi, melihat bagaimana tenangnya sang ayah tidur, Danica memilih tidak memusingkan apakah ayahnya sempat bangun atau tidak.
Danica melihat d**a ayahnya yang naik turun dengan lembut. Teringat bagaimana ia melihat tubuh ayahnya yang telanjang, kurus, memilukan. Sepertinya sang ayah sudah mendapat hukumannya.
"Pa..., cepat sembuh. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dan..., mungkin kita bisa duduk bersama-sama menikmati sore dengan secangkir teh, dan bercerita apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.
***