Chapter 38

1381 Kata
Tak ada lantunan melodi yang keluar dari siulan bibir Prasaja pagi ini. Ia mandi dengan pikiran kosong. Keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai bak seorang prajurit kalah perang. Ekspresi Prasaja juga sangat datar. Apapun kegiatan Prasaja pagi ini setelah mandi, tak lain hanyalah rutinitas harian tanpa perasaan. Prasaja belum membicarakan penolakan Danica pada keluarganya. Dengan sengaja ia tak membicarakannya dulu, terutama dengan ibunya. Prasaja malas dan jenuh jika nantinya diintimidasi. Ditambah lagi, ibunya yang mudah panik dan khawatir, akan mulai menggerutu dan bingung sendiri. Memaksa semua orang untuk ikut terlibat pada kekusutannya. Prasaja malas menghadapi situasi itu saat ini. Ia masih memiliki perasaan optimistis, bahwa semua akan berubah. Ia hanya perlu merubah taktik pendekatan. Tapi Prasaja tidak punya ide sama sekali. Selama ini, sang pengendali adalah ibunya. Ibunya yang selalu menyuruh Prasaja untuk bertindak bak seorang pahlawan saat Danica masuk ke sekolah menengah pertama. Mengintimidasi junior agar tak melakukan hal-hal berlebihan saat orientasi siswa dan pengenalan sekolah, pada Danica. Prasaja juga menjadi bayangan bagi Dnaica saat masa-masa sekolahnya. Tak boleh gadis itu sampai jatuh dan lecet. Tak boleh Danica sampai mendapat hukuman apa pun itu di sekolah. Pemberian maaf harus diberikan pada Danica setiap gadis itu lalai dengan tugas akademiknya. Prasaja yang maju untuk melakukan negoisasi. Pada para junior, pada para guru, bahkan pada kepala sekolah. Intinya Danica harus dijaga sebaik mungkin. Tidak boleh ada cacat. Dan itu adalah kerja keras bagi Prasaja. Ia bahkan menjadi tidak merdeka karena harus apa-apa adalah Danica. Prasaja harus melaporkan terus aktivitas Danica pada ibunya. Prasaja benar-benar merdeka adalah saat mulai kuliah ke luar kota. Ia menjadi liar dan mencicipi berbagai macam kenikmatan yang mustahil ia dapatkan jika pulang ke rumah. Setelah pengorbanan yang banyak dilakukan Prasaja bagi Danica, hingga ia hilang masa remajanya, tentunya Prasaja harus menikmati hasilnya. Yaitu pernikahan dengan Danica. Banyak mimpi sudah dibangun Prasaja jika ia berhasil menikahi Danica. Salah satunya adalah menikmati kepuasan materi tanpa henti. Sayangnya, segala usaha dilakukan untuk memikat Dnaica, hati gadis itu bergeming. Padahal, jika Prasaja melakukannya dengan wanita lain, para wanita itu langsung bertekuk lutut dan seketika bertingkah bagai budaknya. Menuruti apa mau Prasaja dengan sangat ikhlas. Tapi, itu tidak brlaku dengan Danica. Prasaja menatap bayangannya di cermin. Ia tidak jelek. Bahkan ia sangat tampan. Alisnya tidak terlalu tebal juga tidak terlau tipis dan alisnya membentuk garis lengkung yang rapi. Ia juga memiliki hidung yang mancung. Bibirnya juga tidak terlalu tebal, tetapi juga tidak tipis. Pas saja. Tubuhnya tak ada daging yang menggelambir. Meski pun tidak tiap hari, tetapi Prasaja masih menyempatkan diri olahraga. Kulitnya juga kuning bersih. Tak ada yang kurang dari fisiknya. Ia pun termasuk tinggi, dengan seratus tujuh puluh enam. Tapi, kenapa Danica tak menerima cinta saya? Itu adalah pertanyaan berulang yang keluar dari pikiran Prasaja. Prasaja teringat bagaimana ia dengan bangga dan senangnya bisa membawa Danica keluar makan siang. Ia yang tadinya berpikir akan mendapat penolakan panjang, dengan berbagai alasan, ternyata salah. Danica mau menemani Prasaja makan siang. Prasaja sudah sangat yakin jika Danica akan menerima perasaannya. *** "Ya. Saya menyukaimu." Danica mengucapkannya seolah tanpa beban. Saat itu Prasaja langsung tersenyum sumringah. Sinar cerah mengelilingi wajah tampannya yang bersih dari janggut dan kumis. "Sebagai seorang yang sudah mengenal sejak kecil. Bahkan, kamu sudah tahu bagaimana saya sejak saya masih bayi. Kamu juga memperlakukan saya dan ibu saya dengan sangat baik. Saya berhutang budi padamu." "Tidak ada hutang budi, Nica. Apa yang saya lakukan untukmu dan Tante Maniika, bukanlah hal istimewa. Iu adalah hal wajar yang saya bisa lakukan untukmu dan ibumu," ucap Prasaja dengan manis. Ia mengulurkan tangan untuk menggapai jemari Danica. Danica melirik saja saat jemari tangannya dalam remasan lembut jemari Prasaja. Hatinya bergeming, tidak ada reaksi di dalam dirinya atas sentuhan itu. Sentuhan fisik Prasaja terasa sama saja dengan sentuhan-sentuhan dari pria lain yang hubungan kedekatannya dengan Danica hanyalah relasi biasa. "Terima kasih, Pras atas semuanya. Karena ada kamu, saya tak merasa sendirian. Saya merasa memiliki saudara yang akan selalu ada untuk saya." Wajah Prasaja seketika berubah tegang. Ia seperti mendengar kalimat yang salah dari bibir Dnaica. "Saudara?" Danica mengangguk kecil. "Ya. Saya menyukaimu sebagai saudara. Karena kamu selalu ada buat saya sejak kecil dan saya sendiri adalah tunggal. Bagi saya, kamu adalah saudara saya." Prasaja menarik jemarinya dengan perasaan kalut. Sebuah penolakan halus, yang seumur-umurnya Prasaja dekat dengan wanita, baru ini ia ditolak. Selama ini dirinya sudah sangat yakin jika Danica memiliki perasaan untuknya. "Setelah hari-hari yang kita lalui bersama dan kamu menganggap saya saudara?" tanya Prasaja tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Prasaja sendiri, jauh di dalam dirinya, menjadi panik. Ini bukanlah hal yang ia dan keluarganya ingin dengar. "Nggg..., ya..., begitulah." "Saya memberikan semua untukmua dan kamu menganggap saya saudara?" Danica mulai tidak nyaman dengan duduknya. Ia ingin melepaskan diri dan berlalu. Sangat jelas Prasaja tidak bisa menerima jawabannya dan intimidasi pertanyaan bertujuan untuk menekan Danica. "Saya rasa saya sudah sangat jelas menyampaikannya. Sebaiknya kita pulang sekarang." Danica beringsut dari duduknya dan keluar dari pendopo mungilnya. *** "b******k!" maki Prasaja dengan bayangannya di cermin. Prasaja kemudian teringat bagaimana dirinya mencoba menyambut Danica dengan perhatian istimewa saat ia dikabari kalau Danica datang. *** "Kamu kan sudah saya bilangin, kalau pulang mbok ya omong ke saya. Biar saya jemput saja," ucap Prasaja sembari mengusap-usap kepala Danica. Gadis itu menepis lembut tangan Prasaja dan duduk bangku teras. Prasaja sebenarnya marah karena Danica tak menghargai usahanya untuk menyenangkan gadis itu. tetapi, dia terlatih untuk memakai topemg dengan rapi. Dirinya masih bisa tersenyum saja. "Saya gak mau merepotkan," ujar Danica. "Kamu gak ngerepotin saya apa-apa, Nica. Justru kamu begini, membuat saya terus-terusan khawatir." Sebuah dusta yang terlatih diucapkan. Tidak hanya untuk Danica, tetapi juga lainnya. "Ah, kamu itu berlebihan." "Kok, berlebihan. Saya serius, lho, kepikiran kamu. Lagian kamu makin sudah ditelpon. Mana, pesan WA saya lama kamu balas." Danica menghela napas diam-diam. Kata-kata Prasaja lebih terdengar seperti protes ketimbang sebuah pernyataan biasa dan Prasaja memang sedang protes. "Maaf. Saya sibuk." Sok sibuk, batik Prasaja kesal. "Sibuk bikin n****+ baru?" tanya Prasaja dengan ekspresi berbalik dengan yang di hati. "Iya." "Tapi, tumben kamu pulang. Biasanya nanti akhir tahun. Kamu sakit?" Prasaja memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangan menyentuh kening Danica. Sontak Danica memundurkan kepalanya. "Saya gak sakit, Pras. Saya gak apa-apa." Prasaja cukup keheranan dengan reaksi Danica yang menghindarinya. Tapi Prasaja memilih diam tidak protes. Ia menarik tangannya yang tadi terulur. "Lalu kenapa?" "Tidak apa-apa, Pras. Hanya ingin pulang saja." Prasaja mengamati wajah Danica dengan seksama. Mencoba mengira-ngira kemungkinan-kemungkinan. Tak bisa menemukannya. Prasaja tak menemukan kemungkinan alasan Danica pulang di waktu yang tidak biasanya. "Kalau memang ada sesuatu, coba bicara sama saya. Kamu kan bukan siapas-apa lagi dalam hidup saya. Jangan membatasi dirimu, Nica. Ceitakan semua ke saya." "Tidak ada apa-apa, Pras." "Sungguh, ya?" "Iya, Pras." "Sudah makan?" "Sudah," dusta Danica. "Beneran sudah?" Prasaja melihat jam tangannya. Tindakannya bikin Danica kesal sebenarnya. Ini seolah menguji kejujuran Danica dari kebiasaan gadis itu. Pun begitu, Danica enggan protes atau marah-marah. Untuk banyak harinya, Prasaja selalu ada di dekat Danica. "Iya, sudah. Tadi saya kelaparan, dan saya minta Mbok Min masak sore-sore." "Kalau kamu lapar kenapa gak bilang saya." Hadeh. Apa-apa apa saya harus bilang kamu? keluh Danica dalam hati. "Saya gak mau repotin kamu aja." "Selama itu buatmu, saya gak pernah repot atau kenapa-napa." "Terima kasih." Danica dengan sengaja menguap. Pengusiran secara halus ketimbang ia bicara dengan jelas yang nantinya berdampak buruk. Danica sadar diri kalau masih butuh Prasaja untuk mengurus perkebunan dan peternakannya. "Kamu ngantuk?" "Iya," jawab Danica lemas. Gemas juga kenapa itu perlu ditanyakan saat ia sudah berakting dengan benar. "Mau tidur?" Rasanya Danica ingin berteriak saja kalau ia sedang tidak ingin diganggu lama-lama dan bahwa tadi ia sedang berakting. "Iya. Saya lelah, Pras. Kamu taukan jauhnya jarak Jogja ke sini dengan mobil." "Tadi memangnya gak sempat tidur?" Prasaja bisa melihat bagaiman Danica mendelikkan matanya. Jelas jika gadis itu kesal. Namun, Prasaja tak acuh. "Saya tidur. Tapi saya lelah, Pras. Please.... saya mau istirahat. Boleh?" Danica akhirnya bersikap lebih tegas. Ia sudah teramat jengah dengan sikap Prasaja. Prasaja mengabaikan kekesalan Danica. Ia justru tersenyum dan memajukan tubuhnya lagi untuk mencubit kedua pipi Danica. "Oke, Cantik. Saya pulang dulu, ya. Kamu istirhat aja. Pasti capek." Danica menepis tangan Prasaja dengan wajah ditekuk kesal, tapi Prasaja jutsru tertawa. Ia puas telah mempermainkan gadis itu. Permainan kecil-kecilan. *** "Oke, Danica. Tunggu saja. Saya masih akan tetap menaklukanmu." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN