Berulang kali Agasta membentak Danica untuk membantunya. Dari mengangkat tubuh renta si bapak tua, membantu Agasta mengambil perlengkapan medis dari mobil, sampai meminta Danica menyiapkan air hangat beserta handuk kecil.
Danica sendiri tidak ada protes. Ia melakukan semuanya dengan wajah panik dan gugup. Kepalanya tak bekerja baik. Hanya menuruti seperti robot. Saat sedang memasak air pun, Danica hanya diam mematung. Seolah-olah ruhnya lepas dari tubuhnya, hanya menyisakan otak sebagai penggerak saja.
Kejadian ini membuat Danica syok. Yang terjadi adalah hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Terbayangkan pun tidak. Hanya saja, saat tadi di kamar ibunya, ada kenangan akan pembicaraan antara dirinya dengan almarhumah sang ibu perihal ayahnya.
Tapi, bukan pertemuan yang seperti ini yang Danica bayangkan.
Rahdyan, lelaki yang di akte kelahirannya tertera sebagai ayah kandung. Yang namanya juga ada di setiap ijazah kelulusannya. Yang sosoknya bahkan tak pernah ia lihat. Kini, tanpa diduga, muncul di depan rumahya. Masuk dan menjadi pesakitan.
Lelaki itu bahkan jauh sekali dari bayangnan Danica yang pernah mendapati selembar foto pernikahan orang tuanya. Seorang pria gagah dengnan senyum tipis menawan. Wajah yang tampan, yang kata ibunya, sang ayah adalah incaran para wanita di kota kecil ini.
Namun yang muncul di pagi buta adalah seorang yang kuyu dan layu. Tubuhnya begitu kurus dan selalu gemetar. Untuk berdiri dan bicara saja terlihat kesusahan. Sisa ketampanan dan kegagahan itu bahkan tidak ada.
Danica sudah selesai memasak airnya. Sesuai dengan permintaan Agasta, ia membuatnya hangat dan merendamkan handuk kecil, baru kemudian membawanya masuk ke kamar ibunya. Kamar orang tuanya saat bersama.
"Letakkan di sini." Agasta menunju kursi yang ada di dekatnya. Ia memasukan bebera perlengkapan medisnya ke dalam tas.
Urusan kesehatan untuk sang ayah angkat sudah selesai. Infus sudah dipasang di tangan kiri. Selang oksigen juga sudah terpasang di hidungnya. Agasta juga sudah menyuntikkan obat agar ayah angkatnya itu istirahat tenang.
Danica menuruti Agasta. Ia meletakkan baskon berisi air hangat beserta handuknya di kursi yang disediakan. Danica diam saja menatap ayahnya. Menelusuri wajahnya dan seluruh tubuhnya yang sudah ditutupi selimut tebal.
"Dia kenapa?" Akhirnya Danica tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Agasta yang baru saja menyeka tangan ayahnya dengan air hangat, berhenti dan menatap Danica sejenak. Ia menghela napas seolah-olah pertanyaan Danica itu beban. Kembali Agasta metendam handuk kecil ke air hangat, memerasnya, dan kali ini menyeka wajah ayah angkat dengan kelembutan.
"Beliau sakit." Akhirnya Agasta menjawab pertanyaan Danica.
"Sakit apa?"
"Demensia."
Danica memekik dan menatap ayahnya lagi. Pantas ayahnya begitu kurus. Bahkan kemampuan motoriknya begitu lemah. Padahal pria-pria seusianya, masih kuat dan masih bisa beraktifitas.
"Sejak lama." Agasta enggan menjelaskan saat ini. Ia berdiri dan memegangi lengan Danica. "Kita keluar dulu."
"Hah?"
Bagaikan anak kecil, Agasta menarik mudah Danica keluar dari kamar. Sampai di luar kamar, Danica langsung menginjak kaki Agasta.
"Saya bisa jalan sendiri! Gak us..., ihhh! Apa, sih?!"
Agasta hanya merasakan sakit sedikit, tapi ia tak peduli dan kembali menyeret Danica menjauh dari kamar yang ditempati Rahadyan. Baru setelah di ruang tamu, Agasta melepaskan tangannya.
"Saya tidur di mana?"
Lagi-lagi Danica dibuat terkejut. Agasta muncul tiba-tiba. Memberikan informasi juga tiba-tiba. Dan kini meminta bertanya hal aneh tiba-tiba.
"Ti...tidur?"
"Ya, tidur. Saya perlu istirahat dan saya mau tidur."
"Di dekat sini ada guest house, silahkan cari sendiri," usir Danica.
"Ya udahlah, saya tidur di situ aja." Agasta melihat kursi rotan yang panjangnya hanya cukup untuk dua orang.
Pilihan tempat untuk tidur yang tidak pas. Tubuhnya pasti hanya bisa setengahnya saja masuk, itu pun akan sangat pas. Sedangkan setengahnya lagi akan menjuntai keluar.
"Tidak bisa!" tolak Danica.
Alasan pertama adalah, itu kursi anyaman rotan yang sudah lama. Danica khawatir jika ditimpa tubuh raksasa Agasta, maka kursi itu akan ambrol. Alasan kedua adalah, Danica tidak menyukai Agasta. Cukup ayahnya yang tak disukainya menginap, ia tidak mau menambah orang kedua menyebalkan menginap di rumahnya.
"Lalu di mana?"
"Tidak di mana-mana di rumah ini."
"Saya harus jaga Bapak. Saya gak bisa jauh dari beliau. Jadi pilihannya adalah saya tidur di ruang tamu ini atau kamu berikan saya kamar yang dekat dengan kamar beliau."
"Idih. Memangnya kamu siapa, pakai bersikap sok siaga? Lagian, kalau kamu khawatir, biar saya telpon ambulan dan bawa itu bapakmu ke rumah sakit."
Agasta diam. Danica tidak menyebut Rahadyan sebagai Papa. Bahkan Danica bersikap seolah-olah Rahadyan adalah orang asing. Seperti yang ditakutkan ayahnya di masa-masa masih cukup sehat. Ayahnya rindu pulang tetapi ia belum siap dengan penolakan.
"Papamu pasti tidak akan mau di rumah sakit. Pulang ke sini adalah keinginannya." Dengan sengaja Agasta membahasakan Rahadyan dengan Papa pada Danica.
Mimik wajah Danica terlihat eneg saat Agasta menyebut Papa untuk ayahnya.
"Bapak saya sudah mati."
"Kamu gak boleh omong gitu. Ah, sudahlah. Saya capek. Saya akan tidur di kursi itu."
Agasta berbalik dan akan menuju ke kursi yang dimaksud. Tetapi Danica dengan cepat memegangi lengannya.
"Jangan merusak barang-barang di rumah saya. Kamu tau gak, berapa usia barang-barang di rumah ini? dua kali atau bahkan tiga kali lebih tua dari usiamu. Badanmu yang seperti Gorilla, bisa bikin kursi kuno itu hancur," ucap Danica setengah mendramatisir keadaan.
"Ya, kalau gitu, kasih saya kamar."
"Gak mau."
"Ya, sudah saya akan tetap tidur di situ. Cegah saya kalau bisa," tantang Agasta sembari menyentak pelan lengannya untuk melepaskan tangan Danica.
"Saya akan teriak."
"Teriak ajahlah. Kamu udah ngancam begini yang keberapa kali, ini? Lagian kalau kamu teriak, urusan t***k bengek laporan kan cepat selesai."
Danica putus asa. Lelaki itu menyudutkannya. Akan sangat mustahil bagi Danica berteriak. Itu akan mempermalukan dan memojokkan dirinya. Danica yakin orang-orang akan membela Agasta yang sudah jauh-jauh mengantarkan ayahnya pulang.
"Jangan tidur di situ!" ucap Danica dengan nada melengking.
Danica bergegas mendekati Agasta yang sudah berdiri di sisi kursi rotan. Sebuah tindakan normal, Danica langsung memegang telapak tangan Agasta dan menggiring lelaki itu ke ruang tengah.
Jika Danica biasa saja, berbeda dengan Agasta yang terkejut. Tangan mungil Danica dengan santai menggenggam jemarinya. Tangan itu tak hanya kecil, tetapi juga sangat halus. Ada dorongan dalam diri Agasta untuk membelai jemari Danica.
Agasta segera menggelengkan kepala. Memaki diri dalam hati karena sudah menjadi maniak di hari pertama bertemu putri ayah angkatnya.
DI ruang tengah yang sekaligus ruang makan, terdapat tiga kamar tidur. Dua kamar tidur bersisian dan diseberangnya satu kamar tidur. Danica membawa Agasta ke kamar tidur kosong, yang sendirian. Ia masuk dan menyalakan lampu. Aroma kapur barus menguar. Aroma yang sama dengan aroma di kamar ibunya.
Danica bersyukur memiliki asisten rumah tangga yang sangat setia dan rajin. Kamar tamu itu pun sangat bersih. Bahkan tempat tidur, bantal, dan gulingnya sudah diberi kain.
"Kamu tidur di sini," ucap Danica.
Agasta melongok ke dalam dan mengangguk-angguk. Dirasa Agasta sepakat, Danica berbalik. Tapi, ternyata Agasta kembali memegangi lengan Danica, menghentikan langkah gadis itu.
"Apa?"
"Kamu yang tidur di sini. Saya di sana." Agasta menunjuk kamar di seberangnya yang bersisian dengan kamar ayah angkatnya.
"Kok, ngelunjak, ya?!" ucap pedas Danica sembari bersidekap.
"Saya harus rutin memeriksa ke adaan Bapak. Dan lagi, kalau Bapak membutuhkan sesuatu, saya gak perlu jauh-jauh datang. Udah, kamu tidur aja di sini. Saya di sana."
Agasta dengan santai melangkah menuju kamar yang ia pilih. Danica bergegas menghalangi langkah Agasta dengan merentangkan tangan. Sikapnya justru hampir membuat Agasta mau tertawa.
"Itu kamar saya dan gak boleh ada seorang pun yang masuk!"
"Saya gak akan curi apa-apa."
"Tapi saya gak mau!"
Agasta mengedikkan bahu. "Saya gak peduli dan saya capek. Bye."
Agasta dengan mudah mengangkat tubuh Danica dan meminggirkannya. Danica mengomel terus dan menarik baju Agasta. Tapi, sia-sia. Agasta diam dan langsung meluncur bebas ke kamar Danica. Renggutan baju Agasta, dengan mudah lepas dari tangan Danica.
Danica hanya bisa uring-uringan. Tak bisa berbuat apa-apa. Dia kalah kuat.
***