Sebenarnya Danica sudah masuk di kamarnya. Kamar tamu yang harusnya ditempati Agasta. Tapi, karena itu bukan kamarnya, ditambah ia sendiri masih kesal karena kamarnya dikuasai orang lain, membuat gadis itu kesulitan tidur kembali. Padahal. Sebenarnya matanya sendiri sudah sepat.
Danica akhirnya keluar lagi dari kamarnya, berniat untuk mencoba adu kekuatan dengan Agasta, dan menarik pria itu keluar dari kamarnya.
Tapi yang terjadi kemudian justru membuatnya bengong sendiri di tengah ruang tengah, menatap kamar orang tuanya dan kamarnya yang masing-masing pintunya terbuka lebar. Danica memandangi dengan keheranan. Dan lagi, ia sangat ingat jika Agasta sudah menutup pintu kamar orang tuanya saat mereka ribut, hanya agar keributan mereka tidak menganggu ayah Danica yang sudah tertidur. Sekarang, pintu itu sudah terbuka.
Agasta dengan sengaja membuka kembali kamar orang tuanya. Membentangnya lebar. Begitu juga kamar yang ditempati Agasta.
Danica memasuki kamarnya. Ia melihat Agasta yang tidur dengan posisi menelungkup. Posisi tidur paling aneh dan tidak nyaman versi Danica, karena itu membuat d**a terjepit yang akan mengakibatkan kesulitan bernapas. Ditambah, salah satu tangan Agasta terlipat di bawah kepala. Mungkin bantal Danica kurang tinggi, hingga perlu tambahan tangannya sendiri agar sedikit lebih tinggi.
Tak ada arahan kepala, tetapi langkah Danica semakin masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia berdiri di sisi tempat tidur dan memandangi wajah Agasta lamat-lamat. Wajah yang seperti beruang tidur. Seram sekaligus lembut. Kontradiktif yang unik.
Tiba-tiba tubuh Agasta bergerak. Napas Danica langsung berhenti dan gadis itu menutup bibirnya dengan kedua tangan saling menumpu.
"Jangan bangun. Jangan bangun. Tidur. Tidur," ucap berbisik Danica. Ucapannya seperti sedang membaca mantra, yang ternyata ajaib.
Agasta tidak bangun. Ia tak membuka mata. Ia hanya berganti posisi menjadi tidur miring dengan hadapan ke arah pintu terbuka. Kakinya tertekuk ke dalam, begitu juga kedua tangannya yang melipat di d**a. Agasta kedinginan.
Danica menjilat bibirnya, menunggu beberapa saat sembari hatinya berhitung. Di hitungan kedua puluh, barulah Danica merasa lega karena Agasta tak bergerak lagi. Sambil berjingkat ia keluar kamar. Namun, baru beberapa langkah, Danica berhenti dan menoleh.
Ada perasaan iba terhadap pria yang entah apa dan siapa dia sebenarnya. Danica hanya tau namanya saja. Lelaki itu pasti menempuh perjalanan jauh. Ia pasti sangat kelelahan sampai-sampai mudah baginya langsung tidur di kamar orang lain.
Rasa iba menguasai perasaan Danica. Laki-laki itu punya tanggung jawab besar atas orang lain, yaitu ayahnya. Bahkan sangking besarnya rasa tanggung jawabnya, Agasta masih sempat membuka lebar pintu kamar ayahnya.
Sepertinya ini waktunya Danica balas budi. Kembali Danica melangkah ke tempat tidurnya dan menarik selimut yang ada di ujung kaki tempat tidur. Danica menyelimuti Agasta dengan lembut.
Barulah setelah dirasa benar selimutnya menutupi tubuh Agasta, Danica keluar kamar.
Kali ini ia mengintip ayahnya yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Danica berdiri di sisi tempat tidur. Tak ada keinginannya untuk duduk di sisinya. Ia merasa canggung dan aneh dengan sosok ayahnya yang jauh berbeda dari bayangannya selama ini. Terlihat sangat renta, tak berdaya, dan menyedihkan.
Selama ini Danica membayangkan ayahnya masih agagh, hingga jika bertemu, ia bisa memaki sepuasnya. Kalau yang ia lihat sekarang, Danica tidak yakin bagaimana ia sanggup bersikap kasar meskipun hatinya terluka.
"Nica...."
Danica yang tadinya setengah melamun, tidak sadar jika ayahnya sudah membuka mata dan menatapnya dengan senyum yang sangat samar. Danica membeku. Tatapan ayahnya kali ini hidup. Hidup yang sebenarnya. Tidak seperti tadi yang seperti tatapan orang bingung.
"Nica...."
Danica bergeming. Cara ayahnya memanggil dirinya, adalah cara yang seorang ayah yang Danica harapkan. Suara laki-laki yang lembut. Masalahnya, Danica kemudian tidak yakin, ayahnya sedang memanggil dirinya atau ibunya.
"Maafkan, Papa, Nak."
Mata ayahnya yang terbuka meredup. Perlahan menutup kembali. Di saat itulah, Danica meneteskan air mata. Kesedihannya menggumpal di dalam diri.
Danica tidak tahan. Ia menghapus cepat air mata dan bergegas keluar.
Bersamaan dengan itu, Danica melihat Mbok Min keluar dari kamarnya. Keduanya sama-sama terkejut yang untungnya, keduanya bukanlah seorang yang latah. Mbok Min meskipun sudah tua, masihlah seorang yang awas. Ia tidak memekik dengan suara heboh, hanya tarikan napas yang seperti dicekik tiba-tiba. Reaksi yang sama dengan Danica.
Setelahnya keduanya saling mendekat.
"Mbak, itu sopo?" tanya Mbok Min dengan suara berbisik. Kepalanya celingukan ke kamar almarhumah ibu Danica.
Dengan lembut, Danica menggiring Mbok Min menuju kamar tamu, dan membawanya duduk di tepi ranjang.
"Yang di kamar saya, itu namanya Agasta, Mbok."
"Pacar, Mbak Nica?"
"Ehhh! Bukan! Idih..., amit-amit punya pacar kayak raksasa begitu."
Mbok Min terkekeh. "Tapi ganteng, Mbak."
"Kok, tau?"
"Kan tadi saya masuk, liatin," kekeh Mbok Min yang menampilkan deretan gigi tak lengkap lagi.
"Ganteng kan versi Mbok Min. Bukan saya. Udah-udah gak usah bahas dia. Pokoknya dia tamu kita."
"Trus, kenapa kita di sini, Mbak. Mbak Nica mau tidur di sini? Ndak di kamar Ibu saja?"
Danica diam. Menatap Mbok Min lekat-lekat. Mbok Min adalah seorang yang sangat setia seperti ibunya. Sejak muda, ia sudah ikut keluarga ayahnya. Dan meskipun ayahnya kemudian meninggalkan rumah ini, Mbok Min masih setia pada pengabdiannya.
"Papa pulang, Mbok."
Seketika kedua bola mata Mbok Min melebar. Bahkan kantong mata Mbok Min seperti ikut menegang.
"Bapak? Bapak pulang?"
Danica mengangguk.
"Ya, Gusti. Syukur kalau begitu. Akhirnya Bapak pulang. Doa Ibu akhirnya terkabulkan."
"Memangnya Ibu berdoa agar Bapak pulang?" Danica tercekat mendengar kenyataan itu.
"Selalu Mbak. Ibu ingin, Bapak pulang buat liat Mbak Danica, agar Mbak Danica gak perlu cari-cari Bapak. Ibu selalu mendoakan umur panjang dan kesehatan juga perlindungan bagi Bapak. Ya, Tuhan, biar terlambat, tapi doa Ibu didengar Tuhan juga."
Danica benar-benar tak menduga ibunya memikirkan ayahnya dan dirinya. Ibunya yang terlihat sangat membenci ayahnya, ternyata selalu mendoakan yang baik-baik untuk ayahnya.
Danica pun bertanya-tanya dalam hati, Mungkinkah Papa dan Mama sebenarnya masih saling mencintai? Mungkinkah perselingkuhan dulu itu, sebenarnya bagi Papa hanya permainan tidak penting, tetapi bagi Mama itu sangat kelewatan? Ya, Tuhan..., pantas Mama datang ke dalam mimpi berturut-turut. Ternyata ini pertandanya.
"Saya boleh intip keadaan Bapak, Mbak?" tanya Mbok Min yang menyadarkan Danica dari melamunnya.
"Boleh, Mbok. Tapi...."
"Tapi apa, Mbak?"
"Bapak lagi sakit."
"Hah?" Mbok Min terkejut dengan pernyataan majikan putri mudanya itu. "Sakit apa, Mbak?"
"Sakit Demensia."
Kening Mbok Min berkerut. Nama penyakit itu terasa asing baginya.
"Itu penyakit yang membuat pasiennya suka lupa akan banyak hal."
"Pikun?"
"Mirip. Tapi bukan begitu. Intinya Bapak sakit keras."
"Ya Gusti."
"Jadi, Mbok Min jangan bikin kaget, ya."
"Iya, Mbak."
"Ya, udah, Mbok Min keluar dulu, ya. Saya mau tidur. Saya ngantuk. Jangan bangunkan saya kecuali ada hal-hal yang penting sekali."
Mbak Min mengangguk. Mengusap sejenak tangan majikan putrinya dengan sayang, mengucapkan selamat istirahat, dan barulah Mbok Min keluar.
Danica merebahkan tubuhnya, perlahan-lahan. Penat yang dirasa, memekik kegirangan saat tubuh bisa menempel dengan nyaman di tempat tidur tamu. Danica memejamkan mata dan menghela napas panjang.
"Mama.... Papa sudah pulang."
***