Gama baru saja tiba di lapangan sampai tiba-tiba melihat wanita incarannya didekati seorang pria. Ia mengamati keduanya dalam diam seraya berjalan mendekat ke arah mereka. Melihat interaksi Vei dan Willy, ia berpikir Willy mungkin teman atau kenalan Vei. Meski begitu, ia tak akan tinggal diam terlebih saat menyadari bagaimana cara Willy menatap Vei.
Gama mengikuti Vei dan Willy di belakang mereka tanpa keduanya sadari. Sampai tiba-tiba pandangannya jatuh pada batu menyembul di tanah beberapa langkah di depan kaki Vei. Ia pun mempercepat langkah hendak menahan Vei sebelum tersandung. Tapi ia terlambat, terlambat memperingatkan Vei tapi untungnya berhasil menangkap tubuhnya sebelum nyungsep ke tanah.
Vei segera mengambil jarak dari Gama tanpa mengucapkan terima kasih. Ia mengusap dan menepuk-nepuk tubuhnya yang baru saja bersentuhan langsung dengan Gama seakan Gama adalah virus berbahaya yang menularkan penyakit.
Willy menatap Gama dengan alis berkerut. Harusnya, dirinya yang menyelamatkan Vei, tapi entah bagaimana pemuda itu tiba-tiba muncul.
Gama menatap Willy tak gentar meski usia Willy lebih tua darinya. Bahkan, caranya menatap Willy seolah menantang.
Tak ingin kalah dari Gama, Willy mengalihkan perhatiannya pada Vei. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan sedikit berlebihan.
Vei mengangguk. “Ya. Aku baik-baik saja.”
“Jika aku jadi kau aku akan melarikan diri karena tak bisa melindunginya,” sela Gama congkak dengan tatapan mengejek Willy.
Pandangan Willy memincing tajam. Dan saat hendak membalas ucapan Gama, suara Vei lebih dulu terdengar.
“Cepat pergi dari sini!” kata Vei dengan penekanan di setiap kata, kedua tangannya pun terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia kira setelah mengatakan pada Gama bahwa ia janda, anak itu akan menyerah. Tapi, kenapa Gama masih menemuinya? Ia yakin, pertemuan mereka ini bukan kebetulan semata.
“Vei, kau mengenalnya?” tanya Willy.
Vei yang menatap Gama dengan tatapan bak ratu kegelapan, menoleh pada Willy dengan senyuman. “Dia adikku. Maafkan ucapannya tadi, Pak. Dia memang sedikit sinting. Kalau begitu aku duluan. Sampai jumpa besok, Pak Will,” ucapnya kemudian menarik kaos Gama agar mengikutinya. Ia memang benci pada Gama tapi Gama bisa ia manfaatkan menghindari Willy sekarang. Selain itu, ia tak ingin Gama banyak bicara dengan Willy, bisa-bisa Gama bicara yang tidak-tidak.
“Hei, apa maksudmu itu? Aku bukan adikmu! Aku ini calon masa depanmu!” ucap Gama lantang tapi Willy tak mendengarnya.
Willy masih berdiri di tempat menatap Vei dan Gama yang mulai menjauh. “Vei punya adik?” gumamnya. Tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam pikiran. Ia bisa memanfaatkan Gama untuk mendekati Vei. Lagi pula Gama masih anak-anak, pemuda itu pasti akan menurut jika diberi imbalan, pikirnya.
Vei terus menarik Gama dan saat telah cukup jauh dari Willy, ia melepas tarikan tangannya pada kaos Gama bahkan sengaja mendorongnya membuatnya nyaris tersungkur.
“Hei! Apa ini caramu berterima kasih? Aku sudah menyelamatkanmu saat mau jatuh. Kau juga memanfaatkan aku untuk menghindari pria itu. Dan sekarang, kau justru mendorongku?!”
“Sekarang kau tahu betapa buruknya aku, bukan? Jadi berhenti mengejarku!" bentak Vei hingga menghentakkan satu kaki kemudian segera berbalik dan melangkah pergi.
“Pencuri!” Gama berteriak mengundang perhatian beberapa orang di sana. Mereka tampak celingak-celinguk mencari pencuri yang Gama maksud. “Ya, wanita itu! Wanita yang memakai kaos putih, celana abu-abu dan rambut diikat ekor kuda itu telah mencuri hatiku! Siapapun tolong aku!” teriak Gama membuat orang-orang yang sempat panik dan waspada mulai menertawakannya. Bukan hanya menertawakan Gama, tapi juga menertawakan Vei menyadari dia lah wanita yang Gama teriaki.
Vei menatap Gama dengan tatapan membunuh. Lagi-lagi Gama mempermalukannya di depan umum terlebih di tempat yang tak jauh dari rumahnya. Bagaimana jika ada tetangganya yang mendengar? Namun, meski melempar tatapan bak laser yang akan membakar sekalipun, bukannya takut, Gama justru melempar seringai tipis membuat Vei makin muak. Tak ingin Gama lebih puas jika dirinya terpancing, Vei memilih segera pergi. Jika Gama masih mengikutinya, ia akan lapor polisi saat itu juga.
“Hei! Jangan kabur! Kembalikan dulu hatiku!” teriak Gama saat Vei berlari pergi.
Gama terkekeh, tertawa kecil dan mengacak rambut belakangnya. Entah menguap ke mana rasa malunya. Alih-alih malu dengan kelakuan konyolnya yang menjadi tertawaan banyak orang, yang ada di otaknya hanya Vei dan Vei.
***
Vei pulang ke rumah dalam keadaan mood yang benar-benar hancur. Gama benar-benar menghancurkan akhir minggunya dengan sempurna dan sepertinya, pemuda itu akan terus melakukannya.
Vei berjalan ke kamar mandi dan segera membasuh wajah. Disapunya wajahnya dengan kasar dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Nafasnya terengah karena berlari dari lapangan seperti dikejar hantu.
“Benar-benar sialan,” geramnya dengan tangan menggenggam kuat pinggiran wastafel. Dalam hati ia terus mengumpat, memaki bahkan mengucap sumpah serapah untuk Gama. Harusnya dirinya membiarkan Gama tenggelam waktu itu. Ada banyak orang, kenapa harus dirinya yang melihat Gama hampir tenggelam? Dan kenapa dirinya harus menyelamatkan Gama? Jika ia mengabaikan Gama hari itu, pasti pemuda itu tak akan muncul dalam hidupnya, tak akan mengganggu hidup tenangnya. Padahal, dirinya sudah pergi jauh dari kota asalnya untuk menghindari masalah, kenapa sekarang dihadapkan pada masalah baru?
Beberapa saat kemudian Vei keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar setelah membersihkan diri meski wajahnya masih terlihat kusut karena hancurnya mood. Ia berjalan menuju lemari dan mengambil baju sampai tanpa sengaja selembar foto jatuh di dekat kakinya.
Vei memungut foto itu dan menatapnya sejenak. Tiba-tiba bibirnya bergetar menatap foto pernikahannya dengan mantan suaminya. Meski begitu membenci pria itu sekarang, tapi dirinya tak pernah bisa menghancurkan foto pernikahannya itu.
Vei melangkah mundur hingga akhirnya terduduk di tepi ranjang dengan masih menatap foto di tangan. Sudah berlalu hampir 3 tahun tapi dirinya masih mengingatnya dengan jelas bagaimana pernikahannya dan mantan suaminya itu kandas. Bahkan setiap mengingatnya ulu hatinya seakan dicabik-cabik, begitu sakit. Dan karena rasa sakit itu lah dirinya memutuskan menutup hati pada pria manapun bahkan sempat berpikir tak akan menikah lagi seumur hidup.
Vei tersentak saat ponselnya tiba-tiba berdering. Mengusap air matanya kasar, ia bangkit dari duduknya dan mengambil ponselnya di atas meja rias.
“Halo,” ucap Vei tanpa melihat nomor siapa yang tertera pada layar. Suasana hatinya masih diselimuti kabut membuatnya tenggelam dalam pikiran.
“Haish, akhirnya kau mengangkat teleponku.”
Mata Vei melebar mendengar suara yang akhir-akhir ini terus mengusik hidupnya. Tak mengatakan apapun, ia segera mematikan sambungan telepon dan memblokir nomor baru Gama.
Di sisi lain, Gama berdecak menatap ponselnya setelah panggilan terputus. Ia pun mencoba menghubungi Vei kembali dengan nomor lain karena tahu Vei pasti sudah memblokir kontaknya. Namun, ia gagal. Nomor Vei tak bisa dihubungi. Dahinya pun sedikit berkerut berpikir Vei sengaja mematikan ponselnya atau mengganti nomornya dengan nomor baru.
Saat hendak memasukkan ponselnya ke saku celana, ponselnya itu berdering. Dilihatnya siapa yang menelepon kemudian mengangkat panggilan.
“Halo? Kau di mana? Apa kau tak melihat jam?”
Gama mematikan sambungan telepon tanpa mengatakan apapun. Ia mendengus dan bergumam, “Dasar cerewet.” Meski begitu, dirinya tetap bergegas menyusul wanita yang baru saja menghubunginya.