12. Mimpi Buruk

1283 Kata
Pria itu tak berhenti mengarah pandangan pada pintu gerbang kampus tempat Gama menghilang. Tanpa sengaja ia bertemu Gama di perjalanan dan memutuskan mengikutinya sampai akhirnya ia sampai di depan sebuah universitas. Arman namanya, mantan suami Vei, pria yang masih tak percaya Vei menjalin hubungan dengan daun muda. “Apa Vei sudah gila? Tak mungkin dia menjalin hubungan dengan anak-anak,” gumam Arman disertai decakan samar. Ia tahu seperti apa Vei, wanita itu menyukai pria yang lebih dewasa seperti dirinya. Pria yang bisa menjadi sosok kakak dan ayah untuknya. Tapi kenapa sekarang Vei dekat dengan anak-anak? Tak mungkin mereka hanya teman biasa mengingat bagaimana sikap Gama kemarin saat mengajak Vei masuk ke warung. Tiba-tiba raut wajah Arman berubah saat terpikirkan sesuatu. Mungkinkah yang terjadi pada mereka waktu itu membuat kepribadian Vei berubah? Arman tersenyum kecut dan menggenggam setir dengan kuat. Ia harap itu tak terjadi karena berharap Vei menerimanya kembali. Di rumah Vei, dirinya baru saja menghabiskan makanan dari Gama juga telah meminum obat meski terpaksa. Tak ada pilihan lain karena ia tak mampu memasak atau pergi ke luar membeli sementara perutnya terus saja berbunyi. Vei berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. Apakah sekarang dirinya telah jadi wanita munafik? Mengolok-olok Gama tapi pada akhirnya menggunakan bantuannya. Vei mengembuskan nafas dan memejamkan mata. Rasanya ia tidak ingin memikirkannya yang akan menambah beban pikiran membuat kepalanya semakin ingin pecah. Yang ia butuhkan hanyalah istirahat. Hingga beberapa saat kemudian, dengkuran halus terdengar di mana Vei perlahan jatuh ke alam mimpi. *** “Ceraikan dia!” Seluruh pasang mata tertuju pada wanita yang baru saja berteriak dan menunjuk dua pengantin yang baru hitungan jam sah menjadi suami istri. Wanita itu berjalan cepat menghampiri sepasang pengantin di atas panggung dan tanpa aba-aba mendaratkan tamparan keras di pipi sang mempelai wanita yang tak lain adalah Vei. Vei memegangi pipi yang terasa panas. Namun, tak sebanding dengan panas di hati yang ia rasa kala wanita yang saat ini berdiri di hadapannya memakinya di depan semua orang dan menyuruh suaminya menceraikannya. “Kakak macam apa kau?! Kau merebut kekasihku di saat aku mengandung anaknya! Benar-benar tidak punya hati! Wanita iblis!” Vei tak mengerti apa maksud adiknya. Ya, wanita yang baru saja menampar dan memakinya adalah Amelia, adiknya sendiri. Meski mereka lahir dari rahim berbeda tapi mereka berasal dari darah daging yang sama. Sama-sama anak kandung ayahnya. “Aku mau kau menceraikannya saat ini juga! Jika tidak aku akan mati bersama bayimu!” Amel mengeluarkan pisau lipat dari saku dan mengarahkan benda tajam itu ke arah perut. Sontak semua orang begitu terkejut hingga berteriak histeris terutama ibunda Amel. “Amel! Apa yang kau lakukan, Nak? Jangan berbuat nekat!” jerit Sandrina, ibunda Amel yang segera menyusul sang putri diikuti Banyu, sang suami yang juga ayah dari Amel dan Vei. “Mel, jangan … jangan lakukan itu,” cegah Arman yang sebelumnya hanya diam. Vei menatap Arman dengan tatapan mata kosong. Ini seperti sebuah lelucon tapi sungguh, ini sama sekali tidak lucu. “Katakan … apa yang dikatakannya benar?” tanya Vei dengan suara bergetar dan mata mulai basah. “Vei … a– aku bisa jelaskan. A– aku ….” Arman seolah kehilangan kata dengan wajah pucat. “Kau harus menceraikannya dan menikahiku sekarang! Jika tidak aku akan mati di sini!” teriak Amel kembali dan bersiap menghujam benda tajam di tangan ke arah perut. Vei menatap Arman dengan pandangan sulit diartikan seolah terkejut, tak percaya, kecewa bercampur menjadi satu dengan tatapan penuh harap bahwa yang Amel katakan hanyalah bualan. Namun, saat Arman bergerak cepat menahan pisau menembus perut adiknya hingga melukai tangannya sendiri, ia mulai cemas, berpikir semua yang Amel katakan adalah sebuah kebenaran. Semua orang yang sempat berteriak melihat pemandangan di depan mata, kini saling berbisik membicarakan drama yang terjadi antara Vei dan adiknya. Namun, Vei merasa seluruh ruangan begitu hening hanya menyisakan isak tangis Amel yang saat ini berada dalam dekapan erat sang suami. “Maafkan aku. Kumohon jangan berpikir mengakhiri hidupmu dan anakku.” Air mata jatuh begitu saja mendengar apa yang Arman katakan di mana suaminya itu memeluk Amel begitu erat seakan benar-benar takut kehilangan. Kenapa … kenapa? Kenapa hari yang harusnya menjadi hari bahagianya justru berakhir bencana? Kenapa harus sekarang? “Nak, mengalah lah pada adikmu.” Ulu hati Vei kian diiris mendengar perintah ayahnya. Lagi dan lagi dirinya harus kembali mengalah sementara dirinya sesungguhnya adalah korban. “Ceraikan kakakku dan nikahi aku sekarang.” Satu kalimat itu kembali terucap dari mulut Amel dan seolah menjadi mantra bagi Arman karena beberapa saat setelahnya, kata talak 3 terucap dari mulut hanya selang beberapa jam setelah kalimat ijab terucap. *** Vei seketika membuka mata lebar. Keringat seolah membanjiri tubuh dengan nafas tersengal tak terkendali. Mimpi itu, mimpi yang selama ini menjadi mimpi paling buruk kembali hadir dalam tidurnya. Meski telah beberapa tahun berlalu tapi rasanya masih begitu jelas hingga membuat dadanya terasa sesak. Vei memukul dadanya yang begitu sesak. Mimpi itu adalah kenyataan yang tak pernah bisa menghilang dari ingatan dan tidurnya. Sampai kapan ia akan merasakannya? Dirinya sudah lelah seakan tak kuat jika ingatan itu terus bersarang. Tepat di saat itu suara ketukan dari luar terdengar. Vei berusaha menahan isak tangisnya dan mengusap air matanya kasar. Ia melirik jam dan ternyata sudah saatnya jam makan siang. Siapa kira dirinya telah tidur selama berjam-jam. Vei berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka kemudian berjalan ke depan melihat siapa tamu yang datang. Sakit kepalanya sudah sedikit berkurang. “Vei!” Vei begitu terkejut. Saat membuka pintu Dena langsung memeluknya. “Dena, apa yang kau lakukan di sini?” Dena melepas pelukan dan memperhatikan Vei dengan seksama. “Tentu saja untuk melihat keadaanmu. Apa kita perlu ke rumah sakit? Aku akan mengantarmu sekarang,” ucap Dena menggebu dengan kedua tangan menggenggam erat tangan Vei. “Tidak perlu, Den. Aku sudah baikan. Dan kau, ini masih jam makan siang, bagaimana kalau kau terlambat kembali ke kantor?” Vei tidak masalah jika Dena tidak datang menjenguknya atau Dena bisa menjenguknya nanti sore saat sudah pulang kerja daripada Dena dimarahi karena membolos saat jam kerja. “Aku sudah izin, Vei, jangan khawatir," ujar Dena dengan mengedipkan sebelah mata kemudian segera masuk ke dalam rumah. Pandang mata Vei mengikuti langkah Dena hingga wanita itu duduk sampai tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara yang sudah ia hafal. “Bagaimana keadaanmu, Vei?” Vei menoleh dan mendapati Willy telah berdiri di depan pintu. Sejak kapan pria itu di sana? batinnya. Ia pun melirik Dena dan menduga Dena ada hubungannya. Vei tersenyum kaku. “Kenapa Pak Willy di sini? Aku baik-baik saja, kok. Besok juga sudah berangkat,” ucapnya. “Dena bilang kau sakit jadi aku mengkhawatirkanmu. Dan aku yang memaksanya mengantarku datang ke sini. Maaf jika kau keberatan,” ujar Willy. “Maaf, ya, Vei.” Dena mengatupkan kedua tangan di depan wajah seakan memohon ampunan Vei karena telah membawa Willy ke sana. Vei tersenyum pasrah kemudian mempersilakan Willy masuk ke dalam rumah. Di tempat Gama, dirinya tengah makan siang di kantin kampus bersama Galih. Galih terus saja ngoceh mengejek Gama yang dihukum tadi pagi sementara Gama sendiri tengah berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia tak bisa berhenti memikirkan siapa yang mengikutinya tadi pagi. “Oi, Gam, kau kenapa, sih? Sudah seperti bapak-bapak banyak pikiran,” celetuk Galih disertai kelakar tawa. Gama tak merespon ucapan Galih dan memilih mengakhiri acara makan siangnya dengan menghabiskan es tehnya. “Kau mau di sini sampai kapan? Aku duluan,” ucap Gama kemudian melangkah meninggalkan Galih yang memanggil. “Oi! Gam! Jam istirahat masih panjang, sialan!” teriak Galih. Meski begitu, dirinya bangkit berdiri berniat menyusul Gama sampai sebuah tangan menahan bahunya. Galih menoleh dan mendapati Sofia menatapnya dengan serius. “Kau harus memberitahuku siapa wanita yang Gama bawa ke hotel.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN