“Mana kutahu. Tanya sendiri sama Gama,” ujar Galih kemudian hendak melangkah mengabaikan Sofia. Namun, Sofia tetap bersikeras menahannya.
“Bohong, kau pasti tahu sesuatu, kan?!” tuduh Sofi menuntut. Ia ingin mencari tahu wanita mana yang bisa tidur dengan Gama. Kalau wanita murah, ia tak akan menerimanya begitu saja.
“Ck, dia sendiri tidak memberitahuku siapa wanita itu,” kata Galih. Sudah beberapa kali ia menanyakannya pada Gama tapi Gama tetap tutup mulut. “haish, sudah lah. Jangan membuang-buang waktuku. Lagipula, apa urusannya denganmu? Kau itu bukan siapa-siapanya Gama, terserah dia lah mau ngamar sama siapa,” imbuhnya.
“Kelakuan buruk Gama pasti disebabkan olehmu, kan? Gama itu pria baik-baik. Pasti gara-gara kau, Gama menyewa wanita murah!” tuduh Sofia dengan jari telunjuknya berada tepat di depan hidung Galih.
Tatapan Galih menjadi sinis. “Apa maksudmu?”
“Maksudku? Sudah jelas pasti kau yang menghasutnya tidur dengan wanita murah! Kalau rusak, rusak saja sendiri, jangan ajak orang lain terutama Gama!”
Rahang Galih terlihat mengeras. Dirinya memang sudah terbiasa dengan kehidupan malam dan bebas tapi, ia tidak pernah sekalipun menghasut Gama atau mengajaknya.
“Jaga mulutmu, sialan,” geram Galih. “Aku tahu kau tergila-gila pada Gama dan akan kupastikan Gama tidak akan sudi menerima wanita sialan seperti dirimu,” tekannya kemudian segera berbalik dan melangkah pergi.
Nafas Sofia naik turun tak terkendali dengan tangan terkepal kuat. Bukannya mendapat informasi, dirinya justru mendapat musuh yang akan mengganggu hubungannya dengan Gama.
“Kau kira aku takut?! Jika kami jadian, aku akan menyuruhnya menendang teman sialan sepertimu!”
Di sisi lain, Gama tengah menatap layar ponselnya yang menunjukkan nomor Vei. Ia menelepon berniat menanyakan keadaannya. Namun, wanita itu tak juga menjawab teleponnya.
Gama mulai gusar, ia khawatir terjadi sesuatu pada Vei.
Bangkit dari duduknya, ia berniat menyusul Vei ke rumahnya tak peduli setelah jam istirahat masih ada kelas.
“Gam, mau ke mana?” tanya Galih saat berpapasan dengan Gama di depan pintu.
“Ada urusan,” jawab Gama dan terus melangkah.
“Ish, dia itu kenapa, sih?” gumam Galih kemudian melanjutkan langkahnya memasuki kelas.
Di tempat Vei, dirinya masih mengobrol dengan Dena dan Willy. Jika saja tidak ada Dena yang terus berceloteh, mungkin suasana begitu canggung.
“Oh, ya, Pak Will, bagaimana dengan rencana piknik divisi kita bulan depan?” tanya Dena kemudian memasukkan keripik ke dalam mulutnya. Willy membawa banyak makanan seperti buah dan makanan ringan. Namun, dengan seenak jidat Dena yang menikmatinya.
“Tentu saja kita akan pergi. Bukan hanya divisi kita tapi juga departemen lain. Pihak kantor setuju memfasilitasi transportasi,” jawab Willy.
“Hee? Benarkah? Wah, itu artinya tinggal cari uang sakunya saja,” seru Dena dengan bertepuk tangan.
Willy mengangguk. Untung saja dirinya memberitahukan rencana piknik itu pada atasan dan karena kebaikan atasannya, atasannya itu berbaik hati mau menanggung biaya transportasi, bukan hanya divisinya tapi juga seluruh karyawan.
Vei tak memberi respon, untuk pergi piknik, dirinya tidak begitu bersemangat.
Tak berselang lama, Dena dan Willy berpamitan berniat kembali ke kantor.
“Jaga dirimu baik-baik, Vei. Kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku,” ucap Dena dengan menggoyangkan tangan membentuk seperti gagang telepon di dekat telinganya.
Vei hanya mengangguk dan melempar senyum tipis pada Willy.
“Kalau begitu, kami pergi. Sampai jumpa besok,” ucap Willy yang sebenarnya masih ingin di sana menemani Vei.
Di saat bersamaan, Gama tiba. Ia menatap mobil yang terparkir di depan rumah Vei dan pertanyaannya terjawab mengenai siapa pemilik mobil itu saat Willy dan Dena keluar dari dalam rumah.
“Eh? Bukannya itu berondong tampan?” gumam Dena melihat Gama turun dari motornya.
Vei melebarkan mata melihat Gama berada di sana. “Apa yang dia lakukan?” batinnya.
Sementara itu Willy tak mengalihkan pandangan sedikit pun dari Gama saat Gama berjalan mendekat. Sama halnya dengannya, pandang mata Gama pun tertuju lurus padanya.
“Hai, kau mau jenguk Vei? Eh, tunggu, kau tahu Vei sakit?” Dena menyambut Gama dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Gama tersenyum menatap Dena dan mengatakan, “Mana mungkin aku tidak tahu? Aku sudah menyuruhnya minum obat tadi pagi. Tapi karena aku khawatir, aku kembali lagi ke sini. Kuharap dia juga menghabiskan sarapannya.”
Jantung Willy bergetar mendengarnya. Itu artinya, Gama dari sana tadi pagi.
“Eh? Kau tadi pagi ke sini?” tanya Dena.
Tanpa melunturkan senyum kecilnya, Gama mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, perhatiannya tertuju pada Vei yang berdiri di depan pintu di belakang Willy. “Syukurlah, sepertinya sudah baikan. Tadi pagi dia sampai pingsan. Makanya aku begitu cemas.”
Tangan Willy terkepal kuat. Ia pikir dirinya menjadi yang pertama memberi Vei perhatian ternyata, ia terlambat, didahului anak-anak seperti Gama. Lagipula, kenapa Ga bisa langsung tahu kalau Vei sakit? Apa Vei menghubungi Gama? Kalau begitu, seperti apa hubungan mereka sebenarnya?
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi membuyarkan pikiran keempatnya. Willy mengangkat panggilan yang menyuruhnya kembali ke kantor segera.
“Panggilan dari kantor. Kalau begitu, aku pergi dulu, Vei," ucap Willy setelah mengakhiri panggilan.
Vei mengangguk dan mengukirkan senyum tipis sampai tiba-tiba dirinya dibuat terkejut saat Willy mengusap pucuk kepalanya.
“Jaga diri baik-baik. Sampai jumpa besok,” kata Willy kemudian menurunkan tangannya dari kepala Vei. Setelahnya ia pun berbalik dan melangkah menuju mobil. Dan saat melewati Gama, tak ada sepatah kata terucap seakan Gama hanya orang-orangan sawah yang tak penting baginya.
“Pak Will! Tunggu aku!” seru Dena dan segera berlari mengikuti Willy. “Sampai jumpa besok, Vei! Sampai jumpa lagi berondong tampan!” serunya kembali sebelum memasuki mobil.
Tatapan Gama masih begitu tajam tertuju pada Willy yang mulai menyalakan start mobilnya. Ia tahu Willy sengaja menunjukkan kedekatannya dengan Vei.
Jbles!
Gama tersentak saat Vei menutup pintu tiba-tiba. Ia pun berdecak dan mengacak rambut belakangnya.
Tak ingin menyerah, Gama mengetuk pintu berharap Vei membuka pintu untuknya.
“Hei, apa seperti ini caramu menyambut tamu?” kata Gama seraya mengetuk pintu. Namun, sama sekali tak ada jawaban dari Vei.
Di dalam rumah, Vei berdiri bersedekap di depan pintu kamarnya menatap pintu utama di mana Gama berdiri di baliknya. Meski mendengar panggilan Gama, ia sengaja tak ingin membukakan pintu. “Terus lah di sana sampai kau bosan,” gumamnya.
Gama masih mengetuk pintu berharap Vei segera membukanya. “Hei, ayo lah. Kau membiarkan mereka masuk, kenapa tidak denganku? Ini tidak adil, tahu.”
Masih tak mendapat jawaban, Gama berusaha memutar otak sampai sebuah ide pun muncul.
“Hei! Apa kau memakan makanan yang kuberikan tadi pagi? Aku memberikan sesuatu ke dalam makanan itu. Ah, dan obat itu, sebenarnya itu obat perangsang. Apa kau sudah meminumnya?”
Brak!
Pintu rumah Vei terbuka lebar dengan ia yang melotot menatap Gama. “Katakan lagi,” kata Vei dengan tatapan horor. Aura hitam keunguan seolah menguar dari tubuhnya.
Gama ingin tertawa. Namun, tak ingin kesenangan ini segera berakhir, ia melanjutkan sandiwaranya. Ia pura-pura terkejut dan mengatakan, “Ha? Jadi kau benar-benar memakan dan meminum obat itu? Ini gawat, reaksi obat itu pasti segera bekerja. Kalau begitu aku akan segera menolongmu.”
Gama mendorong Vei masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia tak akan menyiakan kesempatan bisa masuk ke dalam rumah Vei.
“Jangan bercanda!” bentak Vei yang mulai emosi.
Gama tersenyum miring. “Bercanda? Apa aku kelihatan bercanda?”
Seketika wajah Vei menjadi pucat. Dirinya benar-benar takut jika Gama serius dengan ucapannya.
Gama mengambil langkah membuat Vei melangkah mundur. “Kukira kau tak akan sudi memakan dan meminum obat dariku. Tapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Apa sekarang kau merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhmu? Jantungmu berdegup kencang, tubuhmu gemetar dan kau merasakan sensasi aneh dalam dirimu. Shh, tak kusangka hari ini akan terjadi. Jadi, mari kita lakukan 'itu'.”