Liam memindai penampilan dan wajah calon menantunya dengan tatapan mata yang menelisik tajam. Dia perhatikan pria itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
Pendapatnya tentang pria itu, adalah sangat biasa. Jika diberi nilai, mungkin 3 dari 10. Bahkan dia sedang mencari apa yang spesial dari pria ini, sehingga putrinya harus repot-repot merebutnya dari wanita lain.
Jakun Jonathan terlihat naik turun, tubuhnya menegang, saat dia menyadari tatapan menelisik dari calon ayah mertuanya itu. Kegugupan itu terlihat jelas di wajahnya, sangat kentara dan tak dapat dia sembunyikan.
Terlebih lagi, ini adalah pertama kalinya Jonathan bertemu langsung dengan sosok Liam. Waktu meminta izin kepada Liam untuk menikahi Anna, Jonathan berkomunikasi dengan pria itu via video call. Tak disangka-sangka, sosok ayah mertuanya membuat dia merasa terintimidasi.
"Jadi,apa pekerjaanmu?"
Pertanyaan yang terdengar dingin dari pria itu sontak membuat Jonathan terdekat. Hanya pertanyaan sederhana, tapi mampu membuat Jonathan kaget dan kikuk.
Anna menyenggol lengan calon suaminya, saat dia menyadari pria itu diam saja dan melongo seperti orang bodoh.
"Sayang, Daddyku sedang bertanya padamu!" bisik Anna pelan.
"O-oh, i-iya." Jonathan menganggukkan kepalanya. Lantas, dia kembali memfokuskan dirinya, pada sosok Liam yang saat ini duduk berhadapan dengannya.
"Paman, perkenalkan...nama saya Jonathan. Saya kekasih Anna," kata Jonathan seraya mengulurkan tangannya ke depan Liam.
Liam tidak langsung membalas uluran tangan dari Jonathan, dia memberikan tatapan dingin sekali tadi.
"Ku dengar, kau sudah pernah menikah sebelumnya."
Tiba-tiba saja Liam membahas soal Jonathan yang sudah menikah. Hal itu membuat Anna dan Jonathan terkejut, pasalnya mereka belum memberitahukan tentang ini pada Liam. Jadi dari mana Liam tahu tentang pernikahan Jonathan?
Namun pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban, mereka pikir bahwa Liam memang menyelidiki tentang Jonathan dan mudah baginya untuk mencari informasi.
"Iya Paman, saya sudah pernah menikah."
"Istrimu meninggal atau kalian bercerai?" tanya Liam sambil menyeruput sedikit cairan hitam pekat dari dalam cangkirnya. Lalu meletakkannya kembali ke atas meja dengan gerakan elegan.
"Kami bercerai, Paman." Jonathan menjawab dengan jujur.
"Kenapa?"
Kembali, Liam bertanya karena penasaran.
"Kami sudah tidak ada kecocokan lagi," jawab Jonathan seraya memutus kontak mata dengan Liam. Entah kenapa dia merasa tatapan Liam semakin menusuknya.
"Oh. Lalu sudah berapa lama kalian bercerai?" tanya Liam dingin.
"Sekitar 2 bulan yang lalu." Jonathan menjawabnya dengan perasaan canggung kali ini. Aneh saja, dia merasa seperti sedang diintrogasi.
"Kenapa aku merasa kalau Daddy seperti lebih tertarik dengan masa lalu Jo dibandingkan dengan hubunganku bersamanya?"
Tampaknya bukan hanya Jonathan yang merasa aneh dengan pertanyaan-pertanyaan Liam yang tidak ada hubungannya dengan ini. Anna juga merasakan hal yang sama.
"Dad, bisakah kita tidak membahas masalah ini? Kita fokus saja pada bahasan utamanya, tentang pernikahanku dan Jo yang akan diadakan 3 hari lagi."
Akhirnya, Anna menginterupsi sebelum papanya bertanya lebih jauh, sebab dia juga merasa tak nyaman dengan pembahasan tentang Chloe.
Liam tersenyum dingin, tatapannya mengarah pada Anna dan Jonathan dengan penuh arti.
"Justru Daddy sedang membahas hal yang penting Anna. Daddy hanya ingin tahu tentang calon suamimu ini," ucap Liam tegas. "Seperti apa masa lalunya, sifatnya, daddy harus tahu apa dia bisa menjadi suami yang baik untukmu," sambungnya lagi.
Anna mendengus menahan kesal dengan perkataan ayahnya. Seolah-olah Jonathan bukanlah pria yang baik.
"Dad, Jo sangat baik. Kami saling mencintai dan itu sudah cukup bagi kami untuk menikah. Tolonglah Dad, jangan bahas yang lain."
Jonathan diam saja, dia bingung mau berbicara apa ditengah-tengah pembicaraan ayah dan anak didepannya ini.
"Kenapa kau tidak mau daddy membahasnya An? Apa ada yang kau sembunyikan dari Daddy?" tanya Liam sambil menatap putrinya yang terlihat gelisah.
"Tidak ada yang kami sembunyikan Dad, aku ..."
Liam melirik ke arah Jonathan dengan tajam seakan menghakimi pria itu. "Hey kau! Apa kau tidak punya mulut? Kenapa kau tidak berbicara heh? Kenapa putriku yang terus menjawab pertanyaanmu?"
"Dad, jangan begitu!" Anna tak enak hati pada sikap Liam pada Jonathan.
"Maafkan saya Paman, saya sudah bertindak tidak sopan!" ucap Jonathan dengan lembut dan sesopan mungkin di depan ayah Anna.
"Anna, kudengar kalau calon suamimu ini adalah mantan suami dari sahabat baikmu. Apa itu benar?"
Kedua insan muda itu tercengang mendengar pertanyaan Liam. Mereka tak percaya Liam sudah tahu sejauh itu tentang Jonathan, Chloe dan Anna.
"Daddy tidak bisa menerima, kalau kau menikah dengan pria ini, karena kau merebutnya. Putri Liam Hanson bukanlah seorang maling," sarkas Liam yang membuat mereka berdua tak berkutik. Terutama Anna yang wajahnya langsung berubah menjadi pucat pasi.
"Dad! Tidak begitu! Hanya saja aku sedang hamil."
Pembicaraan mereka berubah menjadi seperti interogasi dan penghakiman dari Liam. Akhirnya, pembicaraan itu berakhir dengan persetujuan Liam saat dia mengetahui putrinya sedang hamil. Liam tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Maka pernikahan harus segera dilaksanakan, apalagi kehamilan Anna sudah menginjak bulan ketiga.
Setelah anak dan calon menantunya pergi, Liam memanggil Branz untuk masuk ke dalam ruangan tempatnya makan itu.
"Ya Pak? Anda memanggil saya?" Branz bertanya dengan sopan pada majikannya itu.
"Bagaimana tentang gadis itu? Apa dia masih ada di apartemenku?" tanya Liam penasaran. Dia bahkan tersenyum membayangkan gadis semalam yang sudah membuatnya melayang dan tidak bisa melupakan rasanya.
"Dia sudah meninggalkan apartemen, sekitar pukul 09.00 pagi tadi, Pak." Branz menjelaskan bahwa Chloe sudah pergi meninggalkan apartemen tadi pagi.
Liam menghela napas, padahal dia berharap Chloe masih ada di sana.
"Pergi kemana? Apa kau tahu?" tanya Liam lagi.
"Tidak tahu Pak. Jika tadi bapak memerintahkan saya untuk mencari tahu, saya pasti akan mencari tahu kemana gadis itu pergi. Apa bapak mau saya nencari tahu?" tutur Branz.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, membuat Liam menginterupsi percakapannya dan Branz. Liam terpaksa harus memeriksa ponselnya dan melihat siapa yang mengirimkannya pesan.
"Bagian personalia?" gumam Liam pelan.
Laporan dari bagian personalia biasanya tidak begitu penting baginya, tapi saat dia membuka pesan gambar yang masuk ke ponselnya itu. Liam melihat sesuatu yang menarik.
Matanya langsung tak berkedip saat melihat foto seorang wanita cantik dengan rambut coklatnya yang panjang terlihat di sana. Dengan informasi, bahwa wanita itu akan segera menjadi pegawai magang yang menyelesaikan tugas akhir di perusahaannya. Dia direkomendasikan oleh dosennya sebagai pegawai magang di sana.
Bibir Liam tersenyum melihat foto itu. Hanya dengan melihat fotonya saja, bagian bawah tubuhnya sudah ketar-ketir minta dikeluarkan dari sarangnya.
"Ya, kalau jodoh tak akan kemana," gumamnya pelan.
"Pak Liam? Bagaimana? Apa Bapak mau saya mencari tahu tentang gadis itu?" tanya Branz sekali lagi sambil melihat ke arah Presdirnya yang senyum-senyum sendiri.
"Tidak perlu mencari tahu, karena dia sendiri yang akan datang padaku."
"Kita akan bertemu lagi pretty girl"
Tbc...