"Kenapa harus dirahasiakan? Pernikahan kita ini bukan sebuah dosa yang harus disembunyikan. Pernikahan kita adalah kabar baik untuk semua orang, Jo. Tentu, semua orang harus tahu tentang ini. Kau tahu kan siapa ayahku? Ayahku ingin pernikahan ini dirayakan secara meriah, terbuka, bukan disembunyikan!" tutur Anna menjelaskan kepada Jonathan. Tentang ayahnya yang bukan orang biasa dan ingin pernikahan putri satu-satunya berlangsung dengan meriah.
"Fine, aku tahu tentang ayahmu. Siapa dia dan seberapa pengaruhnya dia di benua Amerika ini. Aku juga paham kalau kau ingin pernikahan ini diketahui semua orang. Tapi, kenapa Chloe juga harus tahu, Anna? Chloe adalah pengecualian yang sudah kukatakan padamu," ujar Jonathan tegas.
Sebelumnya, dia sudah mengingatkan kepada Anna untuk merahasiakan pernikahan mereka dari Chloe, demi menjaga perasaannya.
"Maaf, tapi dia harus tahu tentang pernikahan kita agar dia mengetahui batasan. Kalau kau itu milikku dan dia tidak boleh mengganggumu," ucap Anna dengan keras kepala. Sementara calon suaminya, hanya bisa diam dengan raut wajah yang tak tahu apa artinya.
"Jadi, kau tidak usah memperdulikan perasaannya. Pikirkan saja aku dan anak kita ...pernikahan kita Jo!" seru Anna dengan suara keras, sehingga membuat Jonathan bungkam.
"Sudahlah, berhenti membahas ini." Jonathan meminta Anna untuk menyudahi pembicaraan mereka berdua, sebelum pembicaraan ini berubah menjadi perdebatan panas.
"Jo, kau marah?" tanya Anna lirih.
Jonathan menghela napas seraya menggelengkan kepala. "Tidak, Anna."
"Jo, aku hanya ..."
Pria itu menyela perkataan Anna yang belum selesai. "Sudahlah Anna, lebih baik kita pergi sekarang. Hari ini kita memiliki banyak kegiatan demi mempersiapkan pernikahan kita dan hari ini aku harus bertemu dengan papamu," tutur Jonathan yang tidak mau membahas masalah ini lagi. Sebab, hari ini akan sangat sibuk untuknya.
Anna tidak berbicara lagi, dia manggut-manggut dan memutuskan untuk mengikuti calon suaminya saja. Dia takut, apabila perdebatan ini terus berlanjut, maka tidak akan baik untuk komunikasi mereka berdua. Apalagi pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari, Anna tidak mau kalau sampai pernikahannya dan Jonathan gagal. Dia ingin semuanya sempurna dan Chloe bisa merasakan kekalahannya.
***
Setelah pulang dari apartemen pria yang melewatkan malam panas dengannya, Chloe kembali ke rumahnya sendiri. Rumah yang tadinya dia tinggali bersama dengan Jonathan, dimana mereka berdua memiliki banyak kenangan di sana.
"Kenapa masih belum ada yang mau membeli rumah ini? Aku tidak mau orang-orang di luar sana, masih berpikir bahwa aku belum bisa melupakan mantan suamiku, karena aku masih tinggal di rumah ini," gerutu Chloe sambil berjalan menuju ke kamarnya.
Chloe kesal, karena dia masih harus pulang ke rumah ini. Rumah yang menjadi tempat Jonathan pernah tinggal juga. Dia sudah mencoba untuk menawarkan rumah ini untuk dijual atau disewakan, tapi belum ada satupun yang merespon penawarannya selama dua bulan ini.
Sedangkan foto-foto pernikahan mereka, sudah dimusnahkan oleh wanita itu, bahkan barang-barangnya juga sudah dibawa pergi oleh Jonathan agar tidak ada satupun hal di rumah ini yang mengingatkan Chloe tentang kenangannya bersama Jonathan. Tapi, semuanya percuma saja karena desain rumah ini tidak berubah.
"Sepertinya aku harus pindah dari rumah ini sekarang juga. Biarkan saja rumah ini kosong terlebih dahulu. Daripada hatiku terus-terusan merasa sesak saat menginjakkan kakiku di rumah ini," gumam Chloe sambil berpikir bahwa seharusnya dia pindah dari rumah ini. Daripada terus teringat akan Jonathan, luka dan kenangan yang ingin dia lupakan. Bisa jadi rumahnya malah akan membawa sial baginya.
"Bagaimana bila aku menginap di apartemen Elisa untuk sementara waktu? Apa dia akan mengizinkanku untuk tinggal?" pikir Chloe sambil menyentuh dagunya dengan jari.
Akhirnya, setelah ide itu muncul, Chloe segera menggemasi beberapa pakaian yang sering dia kenakan, ke dalam koper dan tas besar. Kemudian, dia mulai melangkah keluar dari rumahnya. Tak lupa, dia mengunci semua jendela dan pintu yang ada di rumah itu terlebih dahulu.
"Ya, menurutku ini adalah hal yang terbaik untuk bisa menyembuhkan lukaku. Jika aku meninggalkan luka itu, aku tidak akan ingat lagi."
Chloe memandang rumah yang akan dia tinggalkan itu sambil memegang perutnya yang datar. Di mana pernah ada janin yang bersemayam di sana, tapi dia sudah kehilangannya.
Cara terbaik untuk menyembuhkan luka, mungkin adalah pergi meninggalkan hal-hal yang membuat luka itu semakin terlihat.
"'Chloe! Ternyata kau ada disini. Tadi aku kemari dan kau tidak ada," cerocos seseorang dibelakang Chloe.
Wanita itu pun tercekat saat dia melihat Elisa sudah berada dibelakangnya. Seketika raut wajahnya berubah menjadi kesal, sorot matanya menajam menatap Elisa.
"Hey! Kenapa kau diam saja? Ini aku yang datang."
"Ya, lalu? Apa aku harus salto untuk menyambut kedatanganmu?" sahut Chloe dengan malas dan wajah kesal yang tampak jelas. Elisa juga menyadari kekesalan teman baiknya itu, dia paham apa yang membuat sikap Chloe begini.
"Okay, maafkan aku atas kejadian semalam. Aku memang tidak datang ke klub semalam, karena ada sesuatu yang terjadi." Elisa langsung menjelaskan tentang semalam, alasannya tidak bisa datang menemui Chloe.
"Oh ...jadi kau tidak datang semalam?" Chloe berkacak pinggang, dia menatap Elisa seakan menuntut jawaban.
Elisa menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sambil tersenyum tanpa dosa. "Hehe, maaf. Aku tidak datang."
"Jadi, tadi pagi-pagi sekali aku mencarimu kemari, tapi kau tidak ada."
"Oh." Chloe menjawab dengan singkat, dan hal itu memperjelas kekesalannya terhadap Elisa.
"Chloe, kumohon jangan marah. Aku akan melakukan apapun yang kau mau untuk menebus kesalahanku padamu, aku janji," bujuk Elisa kepada temannya yang sedang merajuk itu.
"Baiklah, izinkan aku tinggal di apartemenmu untuk sementara waktu. Hanya itu yang bisa membuatku memaafkanmu," ucap Chloe sambil menyerahkan koper miliknya kepada Elisa.
"Apa? Tinggal di apartemenku?" tanya Elisa yang terheran-heran dengan perkataan Chloe.
"Ya. Kau tinggal sendirian kan? Jadi tidak apa-apa bila kita tinggal bersama," cetus Chloe yang agak memaksa pada Elisa agar menerimanya.
Tentu saja Elisa merasa tidak keberatan dengan hal itu, toh dia juga kesepian tinggal seorang diri di apartemennya.
"Boleh-boleh saja. Tapi kenapa kau mau tinggal bersamaku?" tanya Elisa. "Oh, aku tahu. Apa sudah ada seseorang yang membeli rumahmu?" tebak Elisa sambil tersenyum.
"Belum. Tapi aku sudah tidak tahan untuk tinggal di rumah ini lagi," jawab Chloe dengan senyuman tipis dibibirnya.
Tanpa perlu menanyakan alasan kenapa Chloe ingin segera pergi dari rumah ini, Elisa sudah tahu apa jawabannya. Dia pun tidak banyak bicara dan membantu Chloe, membawakan barang bawaannya ke dalam mobilnya. Lalu mereka berdua pergi meninggalkan rumah yang sederhana itu.
***
Di sebuah restoran mewah pada siang itu. Anna dan Jonathan datang bersama ke salah satu ruangan yang sudah disewa khusus oleh ayah Anna. Di ruangan itu ada seorang pria dewasa bertubuh tinggi yang sudah menunggu mereka berdua.
Mata abu-abunya menatap tajam, pada sosok pria yang datang bersama putrinya itu. Sontak saja Jonathan merasa tegang saat berhadapan dengan calon ayah mertuanya itu. Aura yang dipancarkan pria itu terasa dingin dan mencekam.
"Aku pikir calon ayah mertuaku sudah tua renta. Ternyata dia masih terlihat muda, tampan dan gagah. Tapi kenapa aku merasa tatapannya itu memusuhiku?" Jonathan membatin. Dia meneguk ludahnya beberapa kali, mendadak tubuhnya menegang.
"Dad!" sapa Anna pada Liam dengan senyuman lebar dibibirnya.
"Kenapa kalian lama sekali? Aku sudah menunggu kalian hampir satu jam. Apa kalian tak tahu waktu?" tegur Liam dengan dingin yang seketika membuat senyuman Anna luntur.
****