39 - Menghilang Sehari

2088 Kata
Pintu mobil yang terbuka tak urung membuatku segera turun, aku malah terpaku menatap pasar yang dalam ingatanku selalu ramai kini terbengkalai tak berpenghuni, pasar ini sudah lama tidak digunakan lagi. "Semenjak kejadian penangkapan itu, pasar ini ditinggalkan begitu saja, Nona. Dan pasarnya berpindah tempat yang agak jauh dari hutan. Anda jadi turun?" Kuterima uluran tangan Joe, laki-laki ini selalu menemaniku kemanapun aku pergi. "Terimakasih," ujarku tulus dibalas Joe dengan anggukan singkat. "Aku tidak mau ada yang tau kedatanganku kemari," beritahuku, kami memang kemari tanpa sepengetahuan siapapun. "Saya harus tetap mengabarkan kemanapun anda pergi pada Tuan Besar, Nona. Anda tidak bisa menebak bagaimana koneksinya saat mengetahui anda menghilang, anda tidak memikirkan bagaimana keluarga saya?" Aku menatapnya kaget, "kamu punya keluarga?" tanyaku, "Punya Nona, mereka menetap di Jakarta." "Beritahu Andatio, saya kesini untuk menemukan diri saya kembali bukan untuk menyakiti diri sendiri. Minta padanya untuk mengabarkan pada seluruh keluargaku jika aku aman disuatu tempat," jelasku panjang lebar. "Disini hanya kita berdua kan?" "Tidak Nona, dalam jarak 10 meter dari tempat anda sekarang terdapat 7 penembak jitu, 20 bodyguard menjaga anda dalam jarak aman. Anda tenang saja, saya yang memastikan mereka tidak akan menganggu anda sama sekali," "Oke, jaga aku saja dari jarak 3 meter." pintaku yang langsung Joe turuti. Aku mulai memejamkan mataku menganggap aku sedang berada di masa lalu ternyata benar, saat aku membuka mataku aku bisa melihat diriku sendiri sedang bersenandung pelan memasuki kawasan pasar. Andatio benar, foto itu bukan editan sama sekali. Pakaian lusuh, rok yang robek ujungnya dan ikatan rambut tidak rapi sama sekali. Aku terus mengikutinya dari belakang, sesekali kakinya tersandung tetapi bisa ia atasi dengan baik. Suasana pasar yang awalnya sepi kini ramai, aku benar-benar seperti kembali ke masa lalu. "Mba,aku pengen beli wortel sama jagung." aku termenung melihat diriku sendiri, kini memasang senyum bahagia padahal salah tempat, sesederhana inikah kebahagiaanku dulu? "Salah Herlena, mba disini. Tiga langkah kekiri cantik." disana, senyumku mengembang tetap melaksanakan apa yang penjual itu katakan, kenapa begitu percaya? Kenapa mau melakukan perintah orang asing? "Ini ya, semuanya 45 ribu." "Uangnya Mba Tira, aku engga tau uangnya cukup atau tidak." dari jarak pandangku, terlihat Perempuan bernama Mba Tira itu menerima uang dariku menghitungnya dan mengembalikan beberapa lembar lagi padaku. "Sisanya masih banyak, kamu bisa beli cemilan atau permen." Dengan bantuan tongkat, aku dalam versi dulu terus berjalan ditemani anak lelaki yang terus mengajakku berbicara tanpa henti kutanggapi dengan tawa juga. Sebahagia itukah aku dulu? Berapa banyak ingatan yang aku lewatkan sebenarnya? Aku menutup mataku dan membukanya kembali suasana pasar yang begitu ramai kini menghilang dalam sekejap, tergantikan dengan keheningan atau suara dedaunan yang ku injak. Stan para penjual juga sudah berdebu, rumah-rumahan kecil banyak yang runtuh. 2 setengah tahun berlalu. Mba Tira, yang katanya kini menetap di Bandung. Kubalikkan badanku ku pandang Joe yang menjagaku dari jauh, terlihat dia dengan sigap menungguku disana. Aku memandang stan dengan teliti apakah ada kenangan yang bisa kuingat. "Permisi, aku pengen beli apel." "Salah Mba,penjualnya disana. Saya mah penjual ikan, beda atuh." Tanpa sadar aku tertawa mengikuti irama tawaku didepan sana, meminta maaf dan berpindah ke tempat selanjutnya tapi ternyata salah lagi bukannya tersinggung ataupun merasa cacat, disana aku malah tertawa kecil membuat para penjual juga tersenyum. Inikah dunia yang kusukai dulu? "Disini eneng cantik, penjualnya disini. Coba eneng mau nikah sama anak saya pasti eneng engga perlu ke pasar cukup diam dirumah nanti saya yang bawa pulang apa yang neng pesen," "Bapak ini, aku kan sudah bilang aku buta. Mana ada yang mau sama perempuan buta," "Buta bukan kondisi buruk neng, mau ya?" "Terimakasih pak tawarannya." Aku memundurkan langkahku, keramaian yang tadinya terdengar kini kembali menghilang tergantikan dengan aku yang dulu bersiap pulang, melewatiku begitu saja tanpa mengatakan apapun. "Pasti anak-anak bakal senang karena aku beli permen," wajah bahagia itu, kenapa tidak merasa kekurangan sama sekali? Suara dering ponsel membuat sosokku menghilang dengan sekejap, aku memandang Joe yang menampilkan permohonan maaf karena mengganggu waktuku. Aku terus berjalan masuk kedalam hutan tanpa takut sama sekali. Lagipula ada banyak penjaga yang menjagaku dari jauh. Mataku membulat menatap diriku sendiri didepan sana sedang tertawa begitu bahagia berjalan disamping Lexion. Ya, ternyata dia benar. Dia benar-benar Langit yang selalu ada disampingku. "Padahal aku senang andaikan kak Langit mau ikut denganku ke pasar, memangnya apa yang salah dengan pasar? Orang-orangnya baik?" disana, aku terus bercerita sembari berjalan, hampir saja kembali tersandung. "Hati-hati, Herlena. Gunakan tongkatmu dengan baik jangan asal menghapal jalan saja, nanti kalau aku tidak sempat menemanimu sampai disana bagaimana? Aman?" "Aku tidak masalah kalau kak Langit enggan menemaniku, aku bisa meminta kakak preman menemaniku." Wajah Langit terlihat marah,"kamu sepertinya dekat dengannya? Kamu suka sama dia?" Doorrr. Suara tembakan yang tiba-tiba terdengar membuatku tersentak kaget, Joe sudah ada didepanku dan ada banyak laki-laki berpakaian hitam mengelilingiku. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? "Kita harus segera pergi, Nona. Kalau dugaanku benar itu berarti anda dalam bahaya," tanpa membantah aku melangkah kearah yang mereka mau. Masuk kedalam mobil dengan cepat dan meninggalkan tempat itu. Siapa yang menembak? "Sebagian dari mereka masih tinggal disana, Nona. Tapi bukan di tempat yang dulu, menurut penyelusuran bodyguard yang memeriksa kesana secara diam-diam meraka tinggal di seberang sungai, punya markas baru disana. Tidak menjual anak-anak lagi tapi mereka disana untuk bersembunyi dari pihak kepolisan." "Lalu tembakan tadi?" "Salah satu dari mereka melihat anda dan berniat melaporkan keberadaan anda tapi gagal karena sudah ditembak mati oleh penjaga kita. Kita akan kemana setelah ini Nona? Sekarang baru jam 9 pagi." "Keliling Bandung saja, nanti kalau ada tempat menarik minatku maka kita akan berhenti. Berapa mobil yang mengikutiku?" tanyaku. "Dua mobil didepan dan dua mobil di belakang, ada yang menggunakan motor 7 orang. Barusan setelah tau anda diincar, Pak Andatio meminta anda untuk pulang, Nona." Tidak kujawab, lebih kupilih menatap suasana Bandung yang selalu kurindukan setiap saat. Suasana yang begitu menenangkan. "Kita akan kemana, Nona?" "Seusai keinginanku, aku butuh sendiri sebelum kembali bekerja esok hari. Katakan pada Andatio biarkan aku melakukan apapun yang aku inginkan hari ini." "Baik Nona." Bandung, untuk segala cerita yang kamu berikan untukku. Untuk segala kenangan di masa lalu, bukankah semuanya menyenangkan? Atau ada kisah pilu yang harus membuatku berhenti memikirkan masa depan? Mobil terus melaju dan aku sibuk dengan pemikiranku sendiri, esok hari aku akan kembali menjadi seorang Qeila yang penuh akan ambisi, penuh percaya diri dan mempunyai tujuan yang pasti yaitu menjadi perempuan karier yang cemerlang. "Jadi, masih ada beberapa teman Lexion yang belum ditangkap?" tanyanya tiba-tiba. "Masih Nona,sebagian dari mereka masih mengincar anda sampai sekarang." jawaban itu membuatku kaget, saat bangun dari koma aku memang mendengar masih ada yang belum tertangkap tapi ternyata itu banyak. "Anda baik-baik saja, Nona?" "Ya, bawa aku saja ke apartemenku." "Baik Nona." Menjadi kamu memang melelahkan, Herlena. Sangat dan sangat melelahkan. *** Tanpa sadar Arfan bernapas lega saat melihat adiknya kini berjalan kearahnya, ia dengan cepat berlari kesana memeluknya erat. Ketakutan dalam dirinya benar-benar besar, bagaimana jika Adiknya menghilang tanpa kabar? "Dokter?" "Jangan pergi, Qei. Aku mohon jangan pergi dari pandanganku, aku bisa apa kalau nantinya aku gagal melindungimu dari mereka yang ingin menjatuhkanmu? Apa yang harus aku lakukan saat kamu benar-benar tidak bisa diselamatkan?" bisiknya lirih, ia benar-benar takut Qeila akan kembali padanya dalam keadaan hilang arah. "Tidak bisakah kamu mengabaikan semuanya? Tidak bisakah kamu melupakan semuanya?" lanjutnya lagi, menguraikan pelukannya menunggu jawaban. "Tidak bisakah kamu melanjutkan hidupmu saja? Apa yang kamu cari disana, Hm? Disini, disekelilingmu. Ada banyak orang yang sayang padamu, ada Kena dengan senang hati menerimamu. Banyak orang menerima Qeila Purnamasari dengan baik, lalu apa yang kamu cari di masa lalu?" "Pengakuan Detan? Aku akan membantumu kalau kamu benar-benar ingin pengakuan penuh sebagai keturunan seorang Jespara." Belum ada jawaban, adiknya malah terlihat linglung, matanya menampakkan kekosongan membuat Arfan semakin ketakutan kemungkinan yang terjadi pada adiknya. Tadi saja,Arfan harus meminta mertuanya datang menemani Kena selagi Arfan mencari keberadaan Qeila. "Aku akan memberikan apapun yang kamu mau, Qei." Qeila memandang Arfan yang penampilannya sangat acak-acakan padahal kakaknya itu sangat terkenal dengan kerapiannya. Ia ragu menanyakan ini tapi ia tetap mengatakannya membuat Arfan mundur beberapa langkah. "Siapa yang mendonorkan mata untukku?" "Qeila... " lirih Arfan menatap adiknya dengan tatapan frustasinya. Andaikan ia tau akan seperti ini maka Arfan tidak membawa adiknya ke Bandung dua setengah tahun lalu, Arfan akan membawanya ke daerah lain yang pastinya bukan Bandung. "Kenapa? Dokter bilang akan memberikan semuanya untuk saya? Apapun yang saya mau. Lalu kenapa? Pertanyaan saya hanya membutuhkan jawaban sederhana, lalu kenapa? AKU YANG PERAN UTAMANYA DISINI!" ia menjatuhkan badannya di lantai begitu saja. "Aku yang merasakan semuanya, aku yang mengalami kejadian itu, aku yang harus terkurung dalam diriku sendiri. Memangnya kenapa kalau aku tau apa yang terjadi di masa lalu? Memangnya kenapa? KENAPA?" Qeila menangis dengan suara pilu membuat suara tangisannya menggema dilorong apartemen membuat beberapa penghuni keluar menatap apa yang sedang terjadi. Untungnya Joe dengan sigap membantu Qeila berdiri, membawanya masuk kedalam apartemen. Setelahnya Arfan ikut masuk, bukannya menyusul ke kamar adiknya ia malah menuju balkon utama menatap langit Bandung yang entah kenapa ikut mendung padahal tadinya begitu cerah. Arfan mengeluarkan sekotak rokok, berniat merokok mengalihkan pening kepalanya. Andaikan ayahnya mau menerima Qeila, andaikan keluarganya tidak mempermasalahkan kebutaan Qeila mungkin adiknya tidak akan sehancur ini. "Nona akan semakin terburuk kalau nantinya dia tau anda merokok, Dokter." Joe datang, berdiri disamping Arfan. "Menghadapi Nona memang sedikit menyebalkan, sangat keras kepala. Tapi tidakkah anda kasihan padanya? Hidup tanpa tujuan selama bertahun-tahun, tidaklah ingin anda membahagiakannya?" Arfan mematikan rokok yang baru saja ia nyalakan, menatap kebawah dimana semua orang sibuk berlalu lalang. Arfan bisa melihat bodyguard yang menyebar menjaga keamanan adiknya disini. "Nona hanya tertekan, apalagi semalam dokter Benfa dan istri anda memintanya untuk kembali seperti semula. Ya, Nona akan menjadi seperti semula tapi salahkan jika selama masa cutinya Nona dalam masa begini dulu? Membiarkan dia melepaskan sakitnya sebelum memulai sandiwaranya lagi?" "Qeila bersama siapa didalam?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Sendirian, beliau ingin sendirian katanya." jawab Joe dengan tenang, "Kamu pikir caraku berlebihan?" "Tidak berlebihan, Dokter. Itu perasaan lumrah seorang kakak melindungi adiknya, tapi kita semua tidak bisa menebak peperangan apa yang sedang Nona lakukan dengan dirinya sendiri." Joe menajamkan penglihatannya, ada mobil Herlina Jespara dibawah sana. Tak lama kemudian orangnya keluar, mendongak menatapnya. Melambaikan tangannya padanya. Joe berusaha berkomunikasi dengan penjaga yang ada dibawa, meminta mereka menanyakan maksud kedatangan Herlina kemari. "Herlina Jespara ingin bertemu Nona, Dokter." Arfan mengerutkan keningnya bingung, ia ikut menatap kebawah. "Katanya ingin membahas tentang ikatan batin mereka, kita tidak mungkin menampik keduanya terlahir kembar." "Izinkan." Joe mengangguk paham,meminta penjaga mengantar Herlina untuk naik. Tak lama kemudian,Herlina masuk menyapa kedua orang berbeda umur itu dengan lambaian tangan, terus masuk kedalam kamar Herlena menatap langsung kearah kembarannya. "Kita sama-sama hancur, kakakku." sapanya, duduk dipinggir ranjang menatap Herlena yang membelakanginya. "Awalnya aku tidak ingin kemari mengingat kita tidak pernah dekat, tapi perasaan hancurmu begitu menganggu keseharianku. Apakah begitu menyakitkan?" lima menit berselang tak ada jawaban dari kembarannya, malah Herlina bisa merasakan orang didekatnya makin terpuruk. "Butuh pelukan? Karena kamu menolongku kemarin, aku bisa membantumu sekarang." Herlina kini bisa melihat wajah yang selalu tenang setiap kali berhadapan dengannya. "Kamu tau kenapa Keylan masih bertahan denganku sampai sekarang?" ia memulai pembicaraannya. "Karena dia kasihan padaku, bukan mencintaiku. Perasaannya masih bahkan selamanya milik Delina, dia bertahan karena tidak mau melihatku meninggal dengan alasan bunuh diri. Bukankah aku lebih kasihan? Ditambah tuntutan ayah setiap harinya membuatku menggila," Tangan Herlena terulur mengenggam tangan Herlina. "Aku selalu ingin berita kemandulanku tersebar tapi aku takut, mommy akan semakin disiksa oleh Ayah." curhatnya "Kamu tidak salah kalau suatu hari nanti aku menggunakan itu untuk menjatuhkan Detan? Dia pasti akan membencimu." Suara tawa Herlina langsung terdengar, menumpukan tangan yang satunya diatas genggaman tangan mereka. "Aku malahan senang karena bisa terbebas dari keluarga itu, aku bisa mengejar mimpiku sebagai seorang dokter bukan pebisnis seperti yang ayah inginkan." jujurnya, mulai membuka diri pada Herlena. "Suatu hari nanti, entah kapan itu. Aku akan membuat kedua orang itu terjatuh apalagi ayah kita sendiri. Aku akan membuatnya benar-benar terjatuh, tapi jika dia terjatuh maka kamu akan ikut terjatuh." "Jangan khawatir, aku sudah menemukan orang yang akan membantuku pergi saat berita sulit hamilku tersebar. Aku akan ikut dengannya," Mata keduanya bertemu. "Keylan tidak mempermasalahkannya?" "Tidak, Keylan dan Delina mendukungku. Dia mendukung apapun yang aku inginkan dengan syarat membiarkan dia bertemu anaknya setiap harinya. Sekarang saja mereka sedang bertemu, di gedung ini." Herlena berusaha bangun, memeluk lembarannya singkat. "Setelah ini kita akan menjadi asing." "Ya, benar kakakku. Setelah ini kita akan kembali asing, makanya jangan pernah membuatku merasakan lukamu yang menyedihkan itu." ujar Herlina, menepuk pundak kakaknya dan berlalu. Setelah ini, mereka akan menjadi asing kembali menganggap ini semua tidak pernah terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN