40 - Kerjaan

2125 Kata
Aku hanya menatap Dokter Arfan sekilas sebelum berlalu keluar dari apartemen, daripada tinggal disana terus menerus aku memilih pergi saja. Sejak pagi dokter Arfan terus saja memintaku ini itu padahal aku sangat tidak serius. "Qeila!" langkah kakiku terhenti, membalikkan badan menatap dokter Arfan yang sedang berdiri didekat pintu apartemen. "Telepon setiap kali kamu berpindah tempat," aku berdecak kesal mendengarnya tapi tak urung menolak juga. Masuk ke dalam lift tanpa pamitan padanya sama sekali. Sesampainya dibawah pun aku disambut 4 laki-laki berpakaian hitam ditambah satu pemimpin mereka yaitu Joe. Aku seakan seperti orang penting sekarang berjalan dikawal bak Putri raja. Masuk kedalam mobil pun malah menjadi sasaran semua orang. "Kita akan kemana Nona?" tanyanya setelah aku duduk di dalam. "Ke perusahaan Hekasa, aku akan bekerja dari sana." Jawabku malas, mobil mulai berjalan meninggalkan kawasan parkiran. "Tapi anda diberikan cuti selama 2 minggu ini, Nona. Jadi Tuan Besar ingin anda benar-benar menikmati liburan anda selama 2 pekan kedepan, apakah anda ingin mengunjungi salah satu wisata?" Janji itu, aku lupa perjanjianku dengan dokter Arfan. Kenapa juga harus selama dua minggu? Kenapa tidak 3 hari saja setelahnya aku bisa kembali ke Jakarta sana, bekerja seperti biasanya tanpa tekanan apapun. "Tidak perlu kemana-mana, keliling saja." Tidak ada balasan lagi dari Joe, aku hanya memandang jalanan Bandung yang begitu lenggang pagi ini. Beginilah duniaku, padahal sebelum bertemu mereka semua pasti menyenangkan tapi mereka malah membuatku ingin dengan masa lalu. "Mungkin anda berminat bekerja tanpa sepengetahuan mereka?" "Kita bisa?" "Bisa Nona, saya akan berusaha tidak memberitahu mereka." "Baiklah,saya akan membuat pertemuan salah satu dengan mereka." Kubuka ponsel dan langsung menuju email, membaca tawaran yang mereka berikan dan akhirnya memutuskan bertemu dengan perusahaan Delion, mereka hanya membutuhkan konsultasi denganku bukan sekedar bekerja lama. "Kita ke anak cabang perusahaan Delion, katanya mereka membutuhkan konsultasi desain saja." setelah membalas pesannya dan meminta pertemuan kumasukkan kembali ponselku kedalam tasku. "Delion, Nona?" "Ya,ada apa? Kamu kenal?" Untungnya aku membawa peralatan make up sederhana dalam sekali pakai. Butuh waktu lima belas menit hingga dandananku benar-benar selesai, sejak tadi Joe sibuk teleponan entah apa yang sedang orang itu urus. Pakaian yang kupakai juga bisa dipakai untuk pertemuan ringan ataupun formal, didepan Joe masih sibuk berkutat dengan teleponnya. Dia mana mungkin melaporkan kegiatanku pada atasannya kan? Mana mungkin kan? Padahal dia sendiri yang mengatakan hal itu tadi. "Kamu mana mungkin melaporkan kegiatanku padanya kan?" tanyaku dibalas Joe dengan gelengan. "Saya hanya memeriksa jadwal pertemuan Pak Delion hari ini, Nona. Beliau sedang meeting dengan Pak Detan dan juga bu Ameera. Anda tetap akan kesana atau membatalkan Nona?" aku berdecak kesal mendengarnya, kenapa harus ada orang itu? "Aku orang profesional," Dari sekian banyaknya tempat dan acara kenapa aku harus bertemu dengan mereka? Ada banyak pertemuan tapi kenapa aku malah menemukan mereka diantara banyaknya pertemuan yang para klienku tawari? "Sebelum kemari, Tuan Besar berpesan pada saya, Nona. Anda sebaiknya menghindari keluarga itu dulu demi ketenangan anda selama dua minggu ini. Setelahnya bisa bertemu mereka kapanpun yang anda mau," "Tidak,Joe. Sudah takdirnya saya bertemu dengan mereka, mau seberapa usaha pun saya menghindar pasti akan di posisi ini juga. Saya hanya akan membahas desain kamar Putri Pak Delion yang baru pindah dari amerika kemari, jadinya peluang saya bertemu mereka hanya beberapa persen saja," Walaupun Joe mengangguk paham tapi aku sangat yakin dia masih ragu, aku memandang Bandung yang agak cerah hari ini memperlihatkan keadaan akan terus baik-baik saja asalkan aku tetap optimis dengan kepercayaan diriku sendiri. Mobil terhenti, aku dengan refleks memandang kedepan. Nama Delion terpampang begitu besar tapi aku yakin, perusahaan pusatnya yang ada di Jakarta pasti lebih wah lagi. "Nona?" aku menoleh ke samping, Joe ternyata sudah membukakan pintu mobil untukku. Dua penjaga bahkan sudah berdiri menunggu. "Apa mereka harus masuk?" bisikku pelan seakan takut mereka akan tersinggung jika mendengarnya. "Keselamatan anda prioritas kami, Nona. Para preman lama pasti sudah mengetahui keberadaan anda," aku menghela napas pelan, memeriksa penampilanku sekali lagi sebelum masuk kedalam. Sekarang, mungkin agak sedikit berbeda. Aku harus menjaga penampilanku karena ada nama Besar Andatio di belakangku. Jika aku berbuat semauku pasti mereka akan menyangkut pautkan hal ini dengan perusahaan ataupun bisnis Andatio. "So? Kamu dapat informasi apa saja?" tanyaku sembari menerima uluran tangannya turun dari mobil. "Delion memiliki empat orang Putri, istrinya meninggal 7 tahun lalu saat melahirkan Putri bungsunya. Ada kabar kalau Putri bungsunya menghilang, awalnya Pak Delion menganggap anaknya diculik di markas itu dulu tapi setelah melakukan pencarian besar-besaran tidak ditemukan." tentu saja Joe mengatakan itu dengan suara pelan, takutnya malah ketahuan. "Lalu?" "Yang akan anda temui adalah putri keduanya, yaitu Mahisa Deliona berumur 15 tahun. Menurut kabar, pulang ke Indonesia untuk melanjutkan masa SMAnya disini sekaligus membantu ayahnya mencari adiknya entah dimana sekarang." aku mengangguk, ternyata memasuki masa remaja. Aku berhenti di ruang tunggu disambut perempuan berpakaian formal sangat cantik, senyumnya hangat dan sangat enak dipandang. "Halo Bu Qeila, saya pengasuhnya Nona Mahisa. Mari ikut saya ke ruangan yang dia mau untuk membahas keinginannya." aku mengangguk, kami bersalaman dan mengikutinya dari belakang. "Nona inginnya kamarnya jangan luas, kalau bisa dibawah ranjangnya adalah lemarinya juga. Nantinya katanya, yang sebagai alas ranjangnya adalah lemari tersebut tapi ini untuk baju saja sedangkan dress berbeda." Oh konsep seperti itu, ia berhenti melangkah dan membuka pintu ruangan. Aku disambut senyuman anak remaja yang begitu sumringah menyambutku. Andaikan aku membatalkan pertemuanku dengannya tidakkah aku begitu jahat? "Kak Qeila, kakak lebih cantik dari yang di foto." aku mengerutkan keningku bingung mendengar perkataannya sedetik setelah aku duduk. "Nona melihat foto-foto anda di internet, Bu Qeila." oh begitu, aku paham. Aku membuka laptopku membuka Folder dimana isinya berisi video-video dua dimensi yang menampilkan desain kamar dari tidak mempunyai apapun hingga kamarnya selesai dibuat. "Desain yang ada disini bersifat umum jadi jangan kaget kalau nantinya kamu menemukan desainnya sama dengan punya orang lain, saya juga tidak memperjual belikan tapi hanya sebagai gambaran," kuserahkan laptopku padanya membiarkannya melihat apa yang ingin dilihat. Aku terus tersenyum menatap betapa antusiasnya Mahisa memeriksa desain mana yang dia mau, setiap kali dia bertanya maka aku akan menjawab dengan pelan-pelan agar dia percaya. "Bisa kita bicara sebentar di ruangan sebelah, Nona?" Aku menoleh menatap pengasuh Mahisa, kemudian mengangguk lagian Mahisa tinggal memilih sebagian desain sudah kujelaskan panjang lebar padanya. "Bisakah kami berdua saja yang berbicara?" tawar pengasuh itu pada Joe "Tidak bisa, Saya ditugaskan untuk terus mendampingi Nona Qeila kemanapun dia pergi." tolak Joe dengan wajah tenangnya, tetap kukuh mengikuti kemanapun aku pergi. Aku tidak ingin ikut campur, lagian kalau memang Joe mau ikut tidak masalah. Aku juga sudah mulai terbiasa dengannya, dia nyaman diajak bicara dan mengerti banyak hal. Pengasuh itu hanya pasrah saja, membuka pintu yang ternyata langsung mengarah ke ruangan sebelah. Disini lebih santai dan nyaman, disebelah hanya untuk pertemuan penting dan benar-benar pembahasan penting sedangkan tempatku berpijak sekarang berbeda. Lebih Bagus dikatakan sebagai tempat untuk mengalihkan pikiran sementara. Kursinya saja berbeda, aku duduk setelah Joe menarikkan kursi untukku dan berdiri di belakangku dengan badan tegak. Aku menunggu pembahasan apa yang ingin pengasuh Mahisa ini bahas. "Kami, tepatnya ayahnya Mahisa sudah memeriksa latar belakang anda. Bukan karena anda tunangannya Pak Lexion tapi di daftar pencarian orang yang dia Cari." Joe maju selangkah seolah menganggap pengasuh yang duduk didepanku ini berbahaya. "Tanpa sepengetahuan polisi ataupun pihak detektif, Pak Delion sudah mencari semua data preman ataupun orang-orang yang pernah tinggal di markas itu, termasuk Bu Qeila sekalipun. Ini dia dapatkan setelah dua bulan lamanya," Merasa pembahasannya akan panjang, aku mengikat rambutku menunggunya selesai bicara. "Termasuk Pak Lexion juga, tapi Pak Delion juga tau kalian berdua hanya sekedar tinggal disana. Pak Lexion hanya datang kesana kumpul bersama rekannya, minum, bermain, ataupun mengartikan kata bebas yang sebenarnya intinya anda dan Pak Lexion tidak terlibat dalam kasus jual-beli anak-anak." Sembari mendengar dongengnya yang terasa panjang sekali, aku menatap kesamping dimana dinding terbuat dari kaca jadinya aku bisa melihat apa yang orang-orang diluar sana lakukan. "Pak Delion hanya ingin tau dimana putrinya berada, karena beberapa preman yang tertangkap mengaku kalau anak itu akan dijual dihari yang sama, bersamaan dengan markas itu diserang Pertama kalinya." Aku menoleh cepat, maksdunya? "Tuan saya sudah bertemu dengan para preman yang dipenjara cukup jauh dan tersembunyi itu. Disaat mereka kesana, anak itu sudah tidak ada disana, hanya rekan mereka yang merenggang nyawa bahkan menyebut nama anda berulang kali sebelum meninggal." Tunggu sebentar, aku menemukan satu potongan lagi. Orang yang memintaku pergi ternyata sudah meninggal hari itu, orang yang memintaku membawa anak itu pergi ternyata menyebut namaku sebelum meninggal. "Joe, berikan aku foto Mba Tira yang kamu bawa kemana-mana," "Tapi Nona," "Joe! Kalau aku yang bergerak pasti semua orang tidak akan menyetujuinya mengingat keselamatanku makin terancam. Apalagi sekarang Mba Tira berpindah tempat lagi entah kemana," Joe menurut, memberikan selembar foto padaku dan memberikan pada pengasuh itu. "Kalau ingatanku tidak salah, entah itu benar atau tidak. Sebenarnya ingatanku masih samar-samar, yang paling jelas kuingat adalah dihari itu aku tertembak." jujurku, percuma menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Carilah orang itu, walaupun aku belum paham tapi entah kenapa aku sangat yakin anak perempuan yang kamu Cari ada bersamanya. Jangan menyakiti perempuan itu, karena dialah yang menjaga anak perempuan itu selama ini, dia yang terus menerus menyembunyikannya, memberikan kehidupan yang layak padanya." Aku sangat ingin segala pertanyaanku terjawab bukan terus menerus bertanya pada diriku sendiri. Apakah Mba Tira yang menyelamatkanku hari itu? Apakah Mba Tira yang menjahit lukaku dan mengeluarkan pelurunya dari tubuhku? Apakah Mba Tira yang menjagaku hari itu? Walaupun Andatio sudah menjelaskan tapi aku tetap ingin mengingat apa yang terjadi hari itu. "Kumohon, beritahu aku kalau kalian menemukannya. Aku ingin bertemu dengannya," ia mengangguk mengerti, memasukkan selembar foto tadi kedalam saku jas kantornya. Kami keluar kembali menuju ruangan sebelah, membahas desain kamar Mahisa pada pekerja yang ternyata sudah menungguku sejak tadi. Hanya butuh 35 menit hingga kami saling bersalaman. Mahisa sejak tadi terus memujiku cantik, katanya ingin menjadi wanita karier sepertiku. "Tuan Delion." sapaan Pengasuh itu pada seseorang. Kami bersamaan menatap kearah pintu ruangan, senyumku agak menipis melihat sepasang suami-istri yang seharusnya tidak bertemu denganku disini. "Sebuah kebanggaan anda ingin meluangkan waktu anda kemari, Nyonya Lexion." aku tertawa kecil mendengar leluconnya, berniat berdiri menyambutnya. "Tidak perlu, Nyonya Lexion. Anda duduk saja," aku menurut, Pria itu duduk di samping putrinya. Karena di sini tersedia banyak sofa serta bentuknya yang melingkar aku hampir berhadapan langsung dengan keluarga Jespara tapi untungnya tidak. "Papa ingin memperkenalkanmu pada rekan kerja, namanya Detan Jespara dan Ameera Jespara." "Halo Tante, Om. Saya Mahisa Deliona, salam kenal." Aku hanya duduk mengamati seolah ini adalah sebuah drama musikal nan menyenangkan. Dimana Detan memeluk anak itu dengan sayang, mengelus kepalanya, disusul Ameera yang memeluknya juga, memujinya cantik. Sebuah drama bukan? "Oh iya lupa, ini Kak Qeila." Mahisa menunjukku membuat tatapan semua orang kini mengarah padaku. "Lebih cantik dari foto yang aku lihat, papa. Fashionnya Bagus sekali, aku jadi betah tinggal disini," aku sungguh iri melihat tatapan sayang Delion pada putrinya, begitu mengagumkan. "Terimakasih telah meluangkan waktu anda kemari,Bu Qeila. Saya rasa Pak Lexion akan marah padaku karena tidak menjamu tunangannya dengan baik," kulirik Detan sekilas, ia terlihat tidak suka dengan suasana ini. "Namanya juga pekerjaan saya, Pak Delion. Saya bukan apa-apa jika Lexion tidak berada di samping saya, saat ini saya kemari bukan sebagai tamu tapi sebagai rekan kerja." lima detik setelah aku mengatakan itu, Mahisa bertepuk tangan dan mendekat memelukku erat. "Bantu aku menemui adik kecilku, Kak Qeila. Diluar sana dia pasti sangat ketakutan, Oma begitu berharap banyak dengan kepulanganku ke Indonesia." bisikan lirih itu terasa menyakitkan, dia melepaskan pelukannya tersenyum sama seperti tadi. "Aku pamit pulang dulu, sampai bertemu lain waktu kak Qeila." "Iya Mahisa." Mahisa melambaikan tangannya padaku, memeluk papanya dan tak lupa pamit juga dengan pasangan suami istri itu. Setelahnya aku yang pamit, untungnya tidak ditahan oleh Pak Delion. Aku berjalan dengan tenang tapi sesampainya di dalam mobil langsung lemas. Kondisiku masih kurang baik. "Nona? Anda baik-baik saja?" "Ak-" Tok tok. Baru saja aku ingin menjawab pertanyaan Joe tapi ketukan pada mobil menghentikanku. Dengan wajah tenang aku menurunkan kaca mobil bertemu pandang dengan Detan dan juga Ameera. "Jangan merasa menjadi Ratu, kamu tau sebuah kertas? Sekali dia cacat dia tidak akan bisa membaik walaupun dilem beberapa kali." setelah mengatakan itu,Detan berlalu dengan wajah amarahnya yang tersisa hanyalah Ameera. Aku memandangnya menunggu apa yang ingin dia katakan tapi semenit berlalu tapi suaranya tak kunjung terdengarkan, mata kami hanya saling memandang hingga bunyi klakson mobil Detan menyentaknya. "Saya tau kalian berdua sudah bertemu." Hanya itu yang dia katakan sebelum berlalu pergi, aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Lagian Herlina sendiri yang mendatangiku bukan aku yang memintanya datang. Aku menaikkan kaca mobil kembali, menyandarkan punggungku dengan lemas. "Dimana Dokter Arfan berada?" tanyaku dengan suara pelan. "Sedang menunggu anda di apartemen,Nona. Istrinya juga ada disana menunggu anda." "Kita pulang." "Baik Nona." Kupejamkan mataku dan membiarkan tubuhku melemah, membiarkan alam mimpi mendatangiku dengan sendirinya. Kurasa, dua minggu benar-benar cukup untuk sebuah kata istirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN