"Bagaimana mungkin aku berlari sedang kalian mengurungku dalam abadinya kegelapan, mengetahui jalan keluarnya saja aku tidak tau lalu kenapa kalian menuduhku kalau akulah, si perempuan buta yang memberitahu mereka semua tentang tempat mengerikan ini."
"Tidak, satu-satunya orang yang sering keluar masuk adalah kamu. Cihh! Jangan-jangan kamu hanya bersandiwara akan kebutaan mu ini, hah!?
"Aku tidak tau apapun, kumohon! Langit! Kamu ada disini kan? Aku sangat tau kamu disini, selamatkan aku Langit, kumohon."
"Tidak, Kamu mengkhianati kepercayaanku, Herlena."
"Herlena?"
"Kamu mengingat sesuatu?"
Mataku mengedar, masih ditempat yang sama dan orang yang menjagaku pun sama juga. Dokter Arfan.
"Namaku Herlena kan?" tanyaku ragu, darimana semua ingatan itu?
"Tidak, Herlena bukan namamu. Namamu adalah Qeila, Qeila bukan Herlena." aku menoleh kesamping menatap Dokter Arfan yang terlihat sangat khawatir dan frustasi? Mungkin.
"Langit, dimana Langit? Katanya aku mengkhianatinya?"
Mataku masih memandangi Dokter Arfan, matanya membulat dan mulutnya terbuka dan tertutup seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi bingung ataupun ragu untuk mengatakannya.
"Dokter?"
"Ya?"
"Kamu membiusku?"
"Istirahatlah, Qeila. Tidak baik bagimu untuk mengorek informasi masa lalu karena itu hanya akan menyakitimu begitu dalam. Aku sudah bersusah payah membawamu kemari dengan segala koneksi yang kupunya, berusaha menghidupkanmu layaknya orang gila. Kumohon, jangan sia-siakan mata yang berkorban untukmu."
Mata yang berkorban untukmu?
Jadi sebelumnya aku memang buta? Jika pada umumnya orang buta dapat melihat kembali adalah kebahagiaan lalu mengapa aku merasa hampa dan malah semakin tertarik dalam gelap? Aku memang menatap cahaya matahari tetapi tidak dengan pikiran, hati. Gelap.
"Berhenti mencari tau, Qeila, kumohon. Mulailah awal baru ini, mungkin aku yang terlalu serakah tapi ini kulakukan demi kebaikanmu." badanku tersentak, tanganku yang tidak terpasang infus tiba-tiba saja digenggam oleh dokter Arfan, siapa dia? Kenapa mengatur kehidupanku?
"Bagaimana mungkin aku memulai kehidupan yang tidak aku ketahui sama sekali, dokter? Selayaknya berlayar dilautan lepas, kemana arah ini akan kubawa?" tanyaku dengan emosi yang tertahan, kebingungan apa ini? Yang ada hanyalah pertanyaan dan terus menerus seperti itu.
"Aku akan membawamu ke Bandung setelah pulih, Qeila. Kebetulan, masa dinasku sudah selesai disini dan di Bandung nanti kita bisa memulai semuanya dari awal, kamu bisa melanjutkan kuliah dan tidak akan mengingat tentang masa lalu lagi."
Aku tertawa sumbang, pastinya terdengar terpaksa. Siapa dokter Arfan ini?
"Tidak, aku akan menggali apa yang hilang dalam diriku. Lagian dokter siapa kenapa begitu mengaturku?"
BRAAAK.
"DASAR PEREMPUAN TADIK TAU TERIMAKASIH!!."
Jantungku berdetak kencang, dua suster menatapku dengan kebencian yang begitu mendalam, pecahan kaca di lantai tidak dihiraukan malahan sorot mata keduanya benar-benar membenciku.
Benci itu sangat besar, aku bisa merasakannya.
"Inilah yang akan dokter rasakan, sudah ku peringatkan untuk tidak menolongnya karena sebagian orang setelah ditolong akan lupa akan segalanya, bersikap angkuh dan sombong dan merasa dirinya-lah yang paling benar."
Suster yang baru saja meneriakiku bersuara kembali, aku menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya. Apa yang dokter itu lakukan padaku sampai-sampai suster inj mengatakan hal seperti padaku.
"Pergilah Kena, jangan membuat keributan dan ajak temanmu juga." keduanya berlalu, aku menatap dokter Arfan dengan dengan pandangan kosong.
Kulihat dia mengeluarkan suntikan dari saku jas dokternya, dan aku tau itu apa,
"Jangan lagi, Dokter." Pintaku dengan suara pelan tetapi tidak Dokter Arfan hiraukan, sudah menyuntikkan obat bius itu pada tanganku.
"Tidurlah, setelah bangun nanti kita sudah tiba di Bandung." bisiknya tepat didepan wajahku, mengecup keningku. Perlahan mataku terpejam lagi.
***
"Kenapa kamu membawanya kemari, sudah Bunda katakan kalau bagi bunda Herlena itu sudah lama mati."
"Kita semua tau kalau Herlena tidak sengaja menghilang, bundalah yang membuangnya di jalanan karena kebutaannya itu."
"Benar, bunda membuangnya karena dia adalah aib keluarga besar kita, Arfan. Bawa dia pergi dan jangan membawanya kemari lagi. Bagi Bunda, Herlena sudah mati dan benar-benar sudah mati."
"Jika bunda tidak bisa menerima anak bunda sendiri maka aku tidak akan menetap disini, aku akan melindungi adikku sampai aku mati. Langit belum ditemukan sampai saat ini dan mungkin masih mengincar nyawa Herlena karena kesalahpahaman tak mendasar itu."
"Itu Bagus, Herlena memang harus mati."
"Bunda tidak bisa mengkhianati hati bunda sendiri. Aku tau dan sangat tau, yang membocorkan markas mereka adalah bunda karena selama ini bunda mengirim seseorang untuk melindungi Herlena dari jauh. Tapi ayah menentang, bunda memilih bungkam."
Mataku masih kupejamkan, kudengar langkah kaki yang tadinya menjauh kini kembali hening. Kurasa seseorang yang Dokter Arfan panggil Bunda itu menghentikan langkahnya, jadi aku dan Dokter Arfan itu satu keluarga?
"Berhenti Arfan, ayahmu akan tetap melenyapkan barang yang rusak karena ayahmu membenci kegagalan."
"Bukan keinginan Herlena terlahir buta, Bunda."
"Tapi hal itu tidak berlaku untuk ayahmu, dalam versinya Herlena adalah barang yang rusak maka harus dibuang kalau diperlukan harus dilenyapkan."
Mataku ingin sekali terbuka, ingin menatap wajah seseorang yang katanya adalah 'bunda'-ku. Tapi jika aku membuka mataku maka semuanya tidak bisa aku cari kebenarannya.
"Aku akan membawa Herlena dalam kesempurnaan yang akan membuat ayah bertekuk lutut memohon maaf padanya, ya bagi kita semua Herlena telah lama mati maka yang kubawa saat ini adalah Qeila, perempuan yang aku tolong di dekat dermaga. Perempuan dengan kecerdasannya yang akan membungkam semua orang."
Aku merasakan tubuhku melayang dan dapat ku simpulan Dokter Arfan menggendongku.
"Jangan memulai perang karena kamu tau apa yang akan kamu hadapi sebenarnya. Bunda tidak bisa menolongmu jika itu benar-benar terjadi." langkah Dokter Arfan terhenti, aku dapat merasakannya.
"Apa yang bisa kamu banggakan darinya nak? Hingga detik ini bunda sangat menyesali telah melahirkan Herlena, harusnya setelah dokter kandungan mengatakan ada yang bermasalah bunda langsung menyingkirkannya bukan malah memberinya kehidupan penuh akan kecatatan."
Lirih dan pelan, aku tau sebenernya seseorang yang katanya 'bunda'-ku itu sangat menyayangiku tapi sayangnya posisinya lah yang membuatnya tak berdaya.
"Feeling seorang ibu tidak pernah salah, dan bunda percaya kalau Herlena tidak cacat tapi sayangnya semakin berjalannya waktu ayah membuat pandangan bunda melemah, hingga akhirnya menatap Herlena dengan penuh seribu kekurangan."
Langkah Dokter Arfan kembali berjalan, mataku masih terpejam berusaha bersandiwara kalau aku masih dalam pengaruh obat biusnya, jadi aku adalah barang buangan yang kembali di pungut oleh saudaraku sendiri?
Dapat kurasakan tubuhku dibaringkan, kursi mobil?
"Buka pejaman matamu dan bersikap seolah-olah kamu masih buta. Banyak pelayan dan pengawal yang melihat kita termasuk bunda didekat pintu utama dan Ayah di teras lantai dua. Jika ingin melihat mereka lakukan aktingmu." aku tersenyum masam, sandiwaraku ketahuan.
Itu adalah bisikan dari dokter Arfan atau bisa dikatakan adalah kakakku sendiri, aku membuka mataku dan langsung disuguhkan dengan pekarangan rumah yang begitu luas dan Indah.
"Sandiwara." tekan Dokter Arfan kembali, dia sudah duduk dibalik kemudi, sengaja tidak menutup kaca mobil.
Dengan perlahan aku melakukan sandiwara, seolah buta.
Aku menatapnya, sekilas dan singkat.
"Kamu mempunyai kembaran, namanya Herlina, kalian kembar tetapi wajah tidak sama. Menurut ayah Herlina sempurna padahal kenyatannya Herlina itu sampai kapanpun tidak akan mempunyai keturunan."
Aku tidak tau apa maksudnya dan apa tujuannya, bunda dengan binar pasrahnya, ayah dengan binar kerinduannya, Herlina dengan binar hampanya dan satu lagi, laki-laki berjas mewah dengan binar kebenciannya.
"Itu adalah boneka Herlina, dan anak dalam gendongannya adalah anak Laki-laki itu dengan perempuan lain tetapi diakui sebagai anak Herlina. Keylan Fernandes, alat penyempurna untuk Herlina."
Aku tercengang, mengapa keluargaku begitu rumit dan apa benar mereka adalah keluargaku? Bisa saja ini hanyalah permainan dokter Arfan bukan?
"Qeila, itu adalah namamu setelah lahir kembali. Sebelumnya kamu adalah Herlena tetapi setelahnya kamu adalah Qeila."
Aku tersenyum dengan mobil melaju, baiklah, mari membuat si tua bangka gila sempurna itu bertekuk lutut memohon maaf di depanku.