3 - aku qeila bukan Herlena

1071 Kata
2 tahun kemudian Langit kota Bandung seakan enggan bekerja sama, hal yang harusnya terjadi jadinya tertunda karena hujan turun dengan begitu cepat, mataku mengedar menatap beberapa orang memilih berteduh sepertiku. "Kudengar, keluarga kecil Fernandes baru saja menambah momongan. Ternyata rumor itu tidak benar, nyatanya Herlina bisa melahirkan." "Benar, aku baru saja melihatnya di berita dan sedang ramai di ceritakan. Begitulah jika kita tidak tau kebenarannya jadinya tertipu sendiri." Entah siapa yang ditipu dan siapa yang tertipu, batinku. Menurut perkiraan cuaca hari ini tidak ada hujan di kota Bandung nyatanya tafsirannya salah, harusnya tadi aku mengikuti perkataan Dokter Arfan untuk yaitu membawa payung mengingat musim saat ini adalah musim hujan. "Tapi aku tidak percaya kalau itu anaknya, putra pertamanya memang mirip Keylan tetapi tidak ada kesamaan sama sekali dengan Herlina, dan anak keduanya ini warna matanya beda sekali. Sedikit kecoklatan, bukankah warna mata Keylan dan Herlina hitam?" Argumen tepat, aku menoleh menatap orang yang baru saja berbicara. Perempuan dengan pakaian tertutupnya dan mamakai penutup wajah, siapa dia? Kenapa begitu tau bahkan sangat detail? "Ush, berhenti membahas itu. Urusan mereka ya urusan mereka tidak perlu kita hiraukan, kalau memang tidak kita ditipu tidak merugi sama sekali. Hujannya sudah mulai reda ayo berlari mencari taksi." Kumpulan perempuan berpakaian kantor itu berlalu, padahal masih gerimis tetapi memilih menerobos hujan, sangat tidak sabaran sekali. "Kamu percaya dengan berita itu?" perempuan berpakaian aneh itu mendekat, aku menoleh menatapnya sekilas kemudian kembali menatap jalan Raya. "Itu bukan urusanku, mau dia melahirkan ataupun mengadopsi bukanlah urusanku. Selagi aku masih hidup nyaman dan aman maka aku tidak mempersalahkan apapun yang keluarga itu lakukan." "Terkadang, sebagian orang memang memilih tidak peduli tetapi sebenarnya tau bagaimana keadaannya, ada sebagian orang dalam gelapnya malam begitu lirih meminta pertolongan tetapi orang yang tau itu memilih bungkam, menutup mata dan telinganya bersikap layaknya orang asing." Aku memilih tidak menganggapi perkataan anehnya, sama-sama aneh dengan penampilannya. Mataku menatap jam yang terpasang di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul 5 sore tapi Dokter Arfan belum datang menjemput. "Herlena..." jantungku berdetak kencang tetapi memilih bersikap abai, seolah tidak terpengaruh dengan panggilan itu. "Kamu bisa menolongku andaikan kamu ingin tapi nyatanya kamu memilih menyibukkan dirimu dengan menjadi sempurna, anakku diambil paksa oleh kembaranmu." Ternyata dia perempuan itu? Aku bernapas lega karena mobil Dokter Arfan sudah terlihat, setelah tepat didepanku aku berjalan dengan tergesa-gesa masuk kedalam mobil. Aku tau perempuan itu masih melihatku tapi kuabaikan, setelah aku masuk kedalam mobil saudaraku melajukannya. "Ada apa?" tanyanya setelah beberapa menit terdiam. "Dokter melihat perempuan tadi?" "Perempuan bercadar itu? Yang berdiri di dekatmu?" "Ya," "Ada apa dengannya?" "Dia adalah perempuan yang adikmu korbankan." Tidak ada tanggapan dari Dokter Arfan, mungkin kaget, tidak percaya atau sudah mengetahui keadaan ini. Bandung dengan segala kesulitannya, padahal Bandung Indah tetapi mengapa beberapa keluarga begitu mengerikan dalam bertindak? "Sudah berulang kali aku katakan, panggil aku kakak." bukan jawaban itu yang kumau. "Bukankah Herlena sudah mati? Yang ada didekatmu saat ini adalah Qeila. Perempuan cantik dan seorang arsitek yang sedang diburu oleh banyaknya perusahaan." Aku tau perkataanku terlalu jahat, tetapi aku tidak peduli. Untuk apa mengingat sesuatu yang sudah lama? Dokter Arfan sendiri yang memintaku untuk melupakan masa lalu, berhenti mencari tau dan memulai semuanya dari awal. Kenapa sebagian manusia begitu plin plan dan lupa akan perkataannya sendiri? Tidak bisakah mereka memegang satu ucapan kemudian menganggap itu adalah pegangan untuk dirinya sendiri? Manusia-manusia serakah dan selalu lupa diri. "Kena ingin bertemu dengamu, katanya ada ingin ia bicarakan." aku tersenyum, padahal dulunya dia adalah suster yang begitu membenciku karena katanya aku orang yang tidak tau terimakasih tetapi lihatlah sekarang, setiap waktu dia selalu membutuhkanku layaknya aku adalah ibunya. Begitulah manusia, begitu cepat mengambil keputusan seolah dialah paling benar tanpa tau apa arti dari versinya itu. Begitu munafik akan dirinya sendiri, aku hanya mengangguk. Kena adalah istri Dokter Arfan, menikah setahun lalu dan saat ini sedang mengandung. "Kamu tidak mencari masa lalumu kan?" begitu hati-hati seolah takut menyakitiku, "Ada apa? Apakah Dokter begitu takut kalau aku mengingat semuanya? Atau dokter juga terlibat sehingga melarangku untuk mengingat semuanya?" "Tentu tidak, aku menemukanmu di dermaga dalam keadaan tidak bisa kamu bayangkan. Kumohon, jangan mencari tau apapun, berjanjilah padaku." Sebenarnya sebelumnya ada apa? "Siapa mata yang berkorban untukku?" Dokter Arfan menepikan mobilnya, aku tertawa sumbang. Apalagi ini? "Qeila..." desisnya, sepertinya berusaha menahan emosinya. Aku menoleh kearah orang yang katanya kakakku, dengan bibir yang masih memasang senyum. Matanya memancarkan keputusasaan? "Mencari tau hanya akan merusak kepercayaan yang kamu bangun, Qeila." ujarnya dengan penuh kesabaran, cukup salut tapi bukankah Dokter memang selalu identik dengan kesabaran tiada duanya? "Kepercayaan? Sejak kapan aku percaya dengan semuanya? Saat ini aku masih bingung dengan duniaku sendiri. Apa yang salah dengan pertanyaanku tadi? Aku hanya bertanya siapa yang mendonorkan, apakah itu juga bencana besar? Apakah setelah aku mengetahui namanya maka aku akan hancur dan menjadi abu?" Bukannya menjawab tumpukan pertanyaanku, Dokter Arfan malah mengacak rambutnya, sangat frustasi. Kena benar, aku memang seseorang yang sangat tidak tau terimakasih tetapi aku tidak peduli, sikap tau diriku ini akan terus berjalan sampai semua jawaban itu kudapatkan. "Dimana Langit? Kulihat dari daftar tersangka tidak ada dia disana." Tidak ada jawaban, Dokter Arfan memilih melanjutkan perjalanan pulang menuju kediamannya. "Apakah kamu menyukai bunga?" "Bunga? Apakah itu sejenis makanan?" "Tidak, itu bukan makanan melainkan tanaman yang begitu banyak keindahannya. Kamu pasti kagum jika melihatnya." "Bagaimana caraku melihat bunga, Langit? Sedang setiap saat yang kulihat adalah kegelapan." "Suatu saat ini, aku akan mengantarkan banyak bunga untukmu tentunya saat itu kamu bisa melihatnya dengan jelas. Bersabarlah dan lanjutkan masakanmu karena aku sudah sangat lapar." "Kamu melamun, Qeila?" keadaan yang baru saja kuingat semalam itu kembali terbayang, siapa sebenarnya Langit? Mengapa dalam potongan memoriku dia begitu sering berbincang denganku? "Apa Langit adalah suamiku?" "QEILA!" Aku tersentak, dan Dokter Arfan juga tampak kaget dengan apa yang baru saja ia lakukan. Membentakku? Hening tanpa ada lagi suara dari laki-laki disampingku, sepertinya Langit adalah pembahasan yang sangat Dokter Arfan tidak sukai, Hujan masih Setia di kota Bandung, jalanan yang biasanya dihiasi beberapa pedagang ataupun kumpulan anak muda kini benar-benar sepi,apa aku harus kembali ke Jakarta untuk menemukan segala kilas balik sebelum aku mendapatkan mata ini? Mobil melaju dengan tenang tanpa kemacetan yang biasa warga Indonesia keluhkan, masih ada beberapa orang yang memilih berteduh ataupun ada satu dua orang yang berjalan dengan payung sebagai pawang hujan. Aku merasa, Bandung bukanlah tempatku. Bandung adalah awal untuk Qeila tetapi sayangnya untuk Herlena aku masih penasaran dengan Jakarta dengan segala tragedinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN