Mia dan Leo terus saja berdebat, tidak menemukan titik temu. Karena diantara keduanya beda paham.
Mia ingin terus bekerja, sedangkan Leo ingin agar istrinya ada di rumah saja mengasuh anak mereka.
Dia akan berusaha bekerja keras demi anak dan istrinya.
Hingga akhirnya, perdebatan mereka terhenti oleh suara rengekan Rafa yang sudah mulai bosan bermain, dan sepertinya ingin minum ASI.
Rafa memang masih minum ASI, Leo ingin Mia menghentikan Rafa minum ASI setelah usianya dua tahun saja.
Sama seperti halnya Fira dulu, yang menyusui anak mereka sampai usia dua tahun.
"Maaa, neen!" rengek Rafa sambil memeluk kaki Mia.
Mia mendesah, walau bagaimanapun dia sangat menyayangi anaknya itu. Dia kemudian menggendong sang anak, membawanya ke dalam dan duduk di kursi, lalu mulai menyusui Rafa.
Hati Leo menghangat, melihat sikap Mia seperti itu. Dia ikut duduk di sampingnya dan memperhatikan anaknya yang sedang menyusu.
"Lihatlah Mia, Rafa masih sangat membutuhkanmu. Dia bahkan masih minum ASI," ujar Leo dengan lembut.
Tangannya terulur mengusap rambut sang istri.
Sungguh di luar dugaan, Mia mengibaskan rambutnya.
" Aku sudah menata rambutku dengan rapi Mas, jangan kamu sentuh-sentuh lagi. Nanti acak-acakan, gimana sih kamu," ketus Mia, dengan mata mendelik.
Leo terkejut dengan reaksi istrinya itu.
" Baik, maafkan aku, " ucap Leo tanpa tersirat kemarahan sedikitpun, meski sebenarnya dia merasa kalau Mia sama sekali tak menghormatinya sebagai seorang suami.
Mia tak menjawab. Dia hanya memperhatikan anaknya saja, sambil mengelus kakinya.
" Aduh kamu ini gimana, Mas! Kok anak dibawa main tanah begini, lihat pakaianku jadi kotor." Mia menggerutu kesal.
"Iya tadi aku membawanya main di tanah lapang, aku sebenarnya mau cepet-cepet mencuci kaki dan tangannya, tapi kamu tak membuka-buka juga pintu," dengan cepat Leo menyahuti.
" Kok jadi nyalahin aku sih, Mas! Aku kan tadi lagi siap-siap." Mia tak mau kalah, dengan cepat dia menjawab perkataan Leo lalu berdiri.
" Kamu mau ke mana?" tanya Leo.
" Aku mau mencuci tangan dan kaki Rafa," sahutnya.
Kebetulan anaknya itu sudah selesai menyusu. Ia segera membawanya ke kamar mandi. Untuk mencuci tangan dan kakinya, lalu membawanya ke kamar untuk menidurkannya.
Leo mengikuti Mia ke dalam kamar. Bibirnya tersenyum, melihat Mia yang sedang memeluk Rafa. Mengeloninya supaya tertidur.
Leo beranjak, memilih untuk duduk di teras sambil ngerokok.
Seorang tetangga kebetulan lewat di depan rumahnya.
" Mas Leo, nanti malam akan ada acara syukuran di rumahnya Pak Santoso. Waktunya bada Isya, kita semua di diminta untuk menghadiri acara itu," ujar tetangganya yang berhenti saat melihat Leo.
" Syukuran apa ya, Bu?" tanya Leo, setelah melepaskan rokok dari mulutnya.
" Itu loh menyambut kepulangan putrinya Pak Santoso yang dari kota J. Katanya sih putrinya Pak Santoso mau menetap di sini," jawab tetangganya itu.
"Oh begitu ya, Bu. Baik kalau begitu, terima kasih infonya." Leo tersenyum ramah, sambil menganggukkan sedikit kepala.
Tetangganya itu pun pamit pergi, dia mau ke warung katanya.
Untuk sejenak Leo termenung, lalu dia teringat sesuatu.
" Apa jangan-jangan wanita yang tadi itu, benar-benar anaknya Pak Santoso ya?" gumam Leo, dia garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Dan berharap kalau wanita itu bukan anak Pak Santoso. Kalau iya benar anaknya, aduh dia benar-benar malu. Artinya wanita itu, anak majikannya dong. Mana dia sudah menyebutnya culik pula, bisa-bisa dia dipecat!
Leo menghembuskan nafas kasar, dia sedang merangkai kata untuk meminta maaf jika seandainya memang benar wanita itu anak majikannya.
Pukk
Leo yang sedang memikirkan kata apa yang akan digunakan untuk meminta maaf nanti malam jika bertemu dengan wanita itu, terjengkit kaget. Saat seseorang menepuk bahunya. Yang tidak lain adalah Mia.
" Astagfirullah! Ngagetin aja Mi!
Kamu udah ganti baju lagi?" Leo kaget untuk sejenak. Lalu mulai bertanya.
"Mangkanya, kerja jangan cuma ngelamun aja!" ketus Mia.
Lalu, dia melanjutkan perkataannya.
" Iya lah ganti baju, kan bajuku kotor kena tanah dari kakinya Rafa." Mia menjawab dengan nada malas.
" Aku pamit dulu mas, doain supaya aku dapat kerja," ujar Mia melanjutkan.
Leo langsung berdiri, menggenggam tangan Mia. " Aku akan berusaha bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan kamu Mi. Tapi jangan bekerja, bagaimana dengan anak kita? Siapa yang akan menjaganya? Besok aku sudah mulai jualan lagi."
Nada bicara Leo terdengar penuh penekanan.
Mia menepis tangan Leo.
"Jangan pernah menghambat karirku Mas! Aku ingin maju! Aku ingin berkembang!" jawab Mia tak kalah penuh penekanannya.
" Karir? Karir apa maksud kamu? Karir kamu satu-satunya yang pernah kamu lakukan hanyalah sebagai pembantu! Kalau cuma mau jadi pembantu, minta saja sama Pak Santoso. Dia juga lagi butuh pembantu, aku dengar-dengar!" Leo berkata diiringi kekehan pelan, menertawakan perkataan Mia.
Ya bagaimana tidak ingin tertawa, Mia menyebut kata-kata karir. Sementara dia tidak pernah bekerja di manapun, selain menjadi asisten rumah tangga di rumahnya dulu.
Wajah Mia tampak memerah karena kesal, dia mengepalkan tangan. Bahkan memukul lengan Leo cukup keras.
Awwh! Leo meringis merasakan panas di bagian pangkal lengannya.
" Apa-apaan sih kamu Mi main pukul aja!" Leo mendengus, mengelus lengannya yang sakit.
" Kamu juga kenapa menghinaku Mas! mengejekku! Lihat saja, kerjaanku kali ini bukan menjadi membantu lagi!" Mia langsung membalikkan tubuh, dan berjalan dengan cepat ke arah pintu. Meninggalkan Leo yang geleng-geleng kepala dengan kelakuannya.
Leo mengikuti Mia, berusaha mencegahnya pergi. Tetapi tetap saja, Mia pergi dari rumah.
Leo hanya menghembuskan nafas kasar, menatap punggung istrinya yang sudah mulai menghilang dari pandangan matanya. Masuk ke dalam rumah, duduk termenung di tengah rumah sendirian.
Lalu menghubungi ibunya, mencurahkan segala isi hatinya sekalian meminta nasihat dari sang Ibu.
"Ya sudah, sekarang izinkanlah dulu Mia bekerja, bukankah itu juga untuk nambah-nambah kebutuhan kalian. Soal Rafa, bukannya ibu nggak mau ngasuh. Tapi jaraknya kan jauh. Kita beda kota, cobalah kamu cari pengasuh diantara tetangga-tetangga yang dekat denganmu, mungkin bayarannya bisa nego."
Ibunya Leo berusaha menasehati anaknya itu, berusaha netral dan menjadi penengah di antara Mia dan juga Leo.
Selesai berbicara dengan ibunya ditelepon, Leo tampak berpikir keras.
Lalu melangkahkan kaki, melihat anaknya yang sedang tertidur dengan pulasnya.
Duduk di samping anaknya sambil mengusap-usap kepalanya.
Lalu berpikir kembali kira-kira tetangga yang mana yang mau mengasuh.
Ibu-ibu di lingkungannya kebanyakan pada punya anak kecil. Kalau ditambah harus mengasuh Rapa, ah dia takut nggak ke urus nanti Rafa.
Adapun yang tidak punya anak kecil, ya rata-rata mereka pada bekerja di pabrik-pabrik, ataupun konveksi yang tidak jauh dari lokasi rumah.
Leo meremas kepalanya kuat-kuat, bahkan beberapa helai rambutnya sampai copot saking kuatnya dia meremas, yang akhirnya Leo meringis sendiri. Karena merasakan sakit.
Memilih untuk membersihkan diri, dan mengguyur kepalanya dengan air dingin. Berharap bisa sedikit lebih tenang.
"Mandilah dengan air dingin, guyurlah kepalamu. Lalu ambil air wudhu, dan bermunajatlah kepada Yang Maha Kuasa. Berdoalah Mas, mohon ampunan dan jalan keluar untuk setiap masalahmu. "
Leo jadi teringat kata-kata Fira di masa lalu, saat dirinya masih menjadi suami Fira.
Disaat dia banyak masalah di tempat kerjanya dulu, Fira selalu menyemangatinya dan menenangkannya.
Bibir Leo tersenyum tipis mengingat masa-masa itu.
" Astagfirullah!" Leo menggusar wajahnya kasar, berusaha membuang pikiran-pikirannya yang masih berhubungan dengan Fira.
Fira sudah punya kehidupan sendiri, begitupun dirinya yang kini sudah punya kehidupan sendiri. Dia tidak boleh terus-terusan mengingat Fira, dia harus move on, meskipun nyatanya sulit.
Sementara itu di tempat lainnya, Mia terpaksa naik angkot. Karena untuk membayar taksi tentu saja biayanya lebih mahal.
Ia bingung sendiri mau bekerja di mana. Mau melamar ke mana? Akhirnya berhenti di depan sebuah Cafe elit yang terlihat sangat ramai.
Dia memutuskan untuk melamar kerja di sana saja, tetapi dia berpikir kembali, pekerjaan apa yang akan diberikan di dalam kafe itu? Ah tidak jauh-jauh paling juga jadi pelayan.
Mia urung melangkahkan kakinya.
Masih berdiri di seberang kafe memperhatikan dari kejauhan, hingga sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di hadapannya.
Kaca jendela mobil depan tampak terbuka. Seseorang melongokkan kepala, memindai Mia dari atas sampai bawah.
" Lumayan," gumamnya.
Diperhatikan oleh pria asing seperti itu, Mia jadi salah tingkah.
" Kemarilah! Apa kamu mau pekerjaan dengan gaji yang sangat besar dan kerjanya juga enak, tidak susah?" pria itu tersenyum. Sebuah senyuman yang terasa begitu aneh bagi Mia.
Pria itu sudah tampak berusia matang, dan pastinya lebih tua dari Leo juga.
Mendengar kata pekerjaan dengan gaji besar dan kerjaannya tidak susah-susah, Mia tentu saja langsung tertarik.
Mereka tampak berbincang sejenak. Untuk sesaat, Mia tampak berpikir. Namun akhirnya, dia menggangguk. Lalu ikut dengan pria itu ke dalam mobilnya.