Batalkan

3015 Kata
    “Jangan bermain air, nanti kalian sakit. Kalau kalian sakit, nanti Ibu Sekar sedih dan kerepotan mengurus kalian. Kalian tidak mau sampai Ibu Sekar kerepotan atau merasa sedih, bukan?” tanya Tiara pada lima anak kecil yang tengah ia mandikan. Tiara memang sudah terbiasa mengurus anak kecil, hingga dirinya mendapatkan tugas untuk mengurus keperluan mereka.     Seharusnya, Tiara sama sekali tidak merasa kesulitan saat memandikan para anak kecil ini. Sayangnya ejak tadi, kelima anak itu memang tampak enggan benar-benar mandi dan memilih untuk bermain dengan air. Tentu saja, Tiara kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya jika mereka semua masih asyik dengan dunia mereka. Namun, saat mendengar apa yang ditanyakan oleh Tiara, kelima anak itu dengan kompak menghentikan permainan mereka dan menatap Tiara sebelum menggeleng dengan kompaknya. “Nala tidak mau Ibu Sekar sampai sedih,” ucap salah satu anak yang tengah dimandikan oleh Tiara.     “Kalau begitu, kalian harus menurut pada Kak Tiara. Sekarang, gosok gigi yang benar, dan Kak Tiara akan mengeramasi kalian. Setuju?” tanyaa Tiara. Kelima anak itu mengangguk dengan cepat dan melaksanakan apa yang dikatakan oleh Tiara dengan patuhnya. Tiara tersenyum melihat tingkah manis mereka yang baginya terasa sangat menggemaskan. Mereka masih polos dan manis, rasanya Tiara tidak rela mereka tumbuh besar. Tiara menggeleng mengenyahkan pikiran anehnya dan melanjutkan tugasnya.     Tak lama, Tiara pun selesai mengeramasi, dan memandikan kelima anak tersebut. Setelah menghanduki mereka, Tiara memerintahkan mereka untuk beranjak dan menggunakan pakaian yang sudah Tiara persiapkan sebelumnya. Sementara itu, Tiara segera membersihkan sisa acara mandi bersama dan membereskan peralatan mandinya dengan rapi. Tak membuang waktu lama, Tiara membawa satu keranjang besar berisi pakaian yang sudah ia cuci sebelumnya. Tiara akan menjemurnya di taman samping panti asuhan, mumpung cuacanya masih cerah dan mendukung agar pakaian yang dijemur segera kering. Meskipun memiliki mesin cuci, tetapi pakaian yang dikeringkan dengan diangin-anginkan akan lebih cepat kering dan bisa secepatnya Tiara setrika.     Tiara tersenyum saat melihat kelima anak yang tadi ia mandikan sudah rapi berpakaian, dan kini berlarian untuk bergabung bermain dengan teman-teman mereka yang lainnya. Tiara tidak menahan diri dan berteriak, “Ingat, jangan nakal, dan jangan saling mengganggu. Kakak tidak mau ada yang sampai terluka dan menangis!”     Semua anak yang mendengar teriakan Tiara, tentu saja mengangguk dan menurut dengan apa yang sudah diperintahkan oleh Tiara tersebut. Tiara sendiri segera melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Tak membutuhkan waktu lama, semua pakaian sudah rapi terjemur. Tiara menghela napas panjang dan beranjak untuk duduk di sebuah meja panjang yang berada di bawah pohon besar. Tentu saja, duduk di sana membuat suhu tubuh Tiara menurun karena kesejukan yang membuainya. Tiara kembali menghela napas dan mendongak menatap langit yang biru. Saat ini, Tiara tidak bisa menahan diri untuk kembali mengingat kejadian tadi malam, di mana dirinya mendapatkan sebuah penolakan kasar dari putra dari Puti dan Nazhan.     Tiara memang tidak mengenal dengan baik perihal perangai sang tuan muda tersebut. Meskipun pernah bertemu beberapa kali saat mereka masih kecil, tetapi itu sudah sangat lama. Tiara bahkan sudah tidak mengingat wajahnya dengan jelas. Walaupun begitu, Tiara memiliki sedikit keyakinan jika sang tuan muda akan memiliki kebaikan yang sama dengan kebaikan hati kedua orang tuanya yang sudah sangat baik pada Tiara dan penghuni panti lainnya. Namun, Tiara sama sekali tidak membayangkan jika sang tuan muda memiliki watak yang sangat bertolak belakang dengan perangai ibu dan ayahnya yang pemurah dan menghargai orang lain. Tiara sendiri sebenarnya tidak merasa keberatan saat mendapatkan penolakan dari Darka, bahkan Tiara sama sekali tidak merasa sakit hati.     Bukan karena Tiara tidak memiliki harga diri atau sejenisnya, hanya saja sejak awal Tiara sendiri memang tidak berharap apa pun dalam rencana perjodohan ini. Tiara yang tiba-tiba dipilih menjadi calon menantu oleh Puti dan Nazhan, hanya berpikir untuk menerima perjodohan itu sebagai salah satu bentuk balas budi yang bisa ia lakukan pada keduanya. Karena keduanya, Tiara yang sudah tidak lagi memiliki orang tua bisa hidup dengan layak dan tumbuh besar dalam lingkungan yang baik. Jadi, atas alasan itulah Tiara sama sekali tidak merasa perlu untuk merasa kecewa atau bahkan sakit hati atas penolakan kasar Darka. Penolakan yang diberikan oleh Darka terasa sangat wajar.     Tiara merasa, malah sangat tidak normal jika Darka tidak menolak perjodohan ini, saat tahu jika calon istrinya dalah perempuan seperti Tiara. Bukan berarti jika Tiara tidak menghargai dirinya sendiri. Hanya saja, Tiara merasa jika dirinya memang tidak akan cocok dengan Darka yang tak lain adalah seorang tuan muda yang memang memiliki level yang sangat berbeda dengan dirinya. Tiara hanyalah seorang gadis yang tumbuh di panti asuhan, tanpa pernah melihat wajah kedua orang tuanya. Tiara tidak menempuh pendidikan tinggi dan hanya bekerja dengan sepenuhnya membantu pengurusan panti. Dengan pendidikannya yang hanya sebatas sekolah menengah atas, Tiara memang hanya bisa bekerja seperti ini di tengah kota besar yang jelas hanya membutuhkan para lulusan perguruan tinggi yang cerdas. Jadi, Tiara hanya tengah menerapkan sebuah ilmu tahu diri, di mana dirinya tidak ingin berharap pada sesuatu yang jelas tidak mungkin.     Saat Tiara masih larut dalam pikirannya sendiri, Sekar terlihat muncul dari salah satu pintu panti dan melihat Tiara yang tampak cantik dengan pesonanya yang polos. Meskipun sudah berusia dua puluh tahun, Tiara memang tidak seperti gadis kebanyakan yang sudah senang memoles diri dengan berbagai riasan, serta sudah mengenal jatuh cinta dan berkencan. Namun, sebagai seorang perempuan dewasa, Sekar menilai jika hal itu adalah nilai plus bagi diri Tiara. Mungkin, hal itu jugalah yang dipikirkan oleh Puti dan Nazhan hingga memilih Tiara untuk menjadi pendamping hidup putra semata wayang mereka. Kehadiran Tiara di dalam kehidupan Darka kemungkinan besar bisa menetralisir tingkah Darka yang kelewat bebas dan liar.     Sekar melangkah mendekati Tiara yang ternyata dengan mudah menyadari kehadiran perempuan yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Sekar pun tersenyum membalas senyuman manis Tiara. Sekar pun duduk di samping gadis manis itu dan mengelus punggungnya dengan lembut penuh kasih. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sekar.     Tiara menatap kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya lalu tersenyum tipis. “Aku hanya tengah merasa, jika keputusanku untuk menerima perjodohan ini sangatlah salah, Bu,” jawab Tiara jujur.     Sekar yang mendengar hal tersebut tentu saja tidak merasa terkejut. Ia tentunya bisa menghubungkan apa yang dikatakan oleh Tiara ini dengan apa yang terjadi tadi malam. Sebagai wali dari Tiara, Sekar memang ikut dalam pertemuan makan malam itu. Lagipula, Sekar juga harus membantu Tiara untuk mengawasi anak-anak panti yang ikut datang menghadiri undangan Puti yang memang ingin mengajak anak-anak panti yang belum memasuki usia remaja untuk makan malam. Karena itulah, Sekar tahu betul apa yang membuat Tiara berpikiran seperti ini. Kejadian tadi malam memang terasa sangat mengejutkan bagi Sekar sendiri, apalagi bagi Tiara yang terlibat langsung dalam kejadian tersebut. Sekar tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang.     Meskipun dirinya bukanlah ibu yang melahirkan Tiara, tetapi dirinyalah yang merawat dan membesarkan Tiara selama ini. Perasaannya sebagai seorang ibu asuh, bahkan menyaingi perasaan seorang ibu kandung. Karena itulah, mendengar penolakan kasar Darka yang bercampur dengan hinaan, membuat Sekar merasakan jantungnya diremas dengan kuatnya. Sebagai seorang ibu, dan seorang perempuan, mendengar apa yang dikatakan oleh Darka tentu saja membuatnya merasa sedih. Tiara adalah gadis yang lembut dan baik hati. Meskipun terlihat tegar dan tidak terluka dengan apa yang dikatakan oleh Darka, tetapi siapa yang tahu isi hatinya? Bukankah isi hati dan kedalaman hati manusia sama sekali tidak bisa diselami?     Sekar menghela napas panjang dan mengulurkan tangannya untuk menggenggam kedua tangan Tiara yang terasa agak kasar. Wajar saja, selama ini Tiara selalu saja mengerjakan tugas rumah tangga yang sebagian besar tentu saja tergolong ke dalam pekerjaan berat dan kasar. Hal itu membuat Tiara tidak memiliki waktu untuk merawat tubuhnya selayaknya para remaja seumurannya. Contohnya saja, tangannya yang kasar karena sering bekerja ini. Namun, Sekar sama sekali tidak peduli dengan hal tersebut dan mengulum sebuah senyum keibuan yang membuat Tiara ikut tersenyum dengan lembutnya. Sekar menatap wajah cantik Tiara. Mungkin, Tiara memang tidak bisa dibandingkan dengan para gadis kota yang seumuran dirinya. Hanya saja, Sekar yakin jika Tiara tidak kalah cantik dengan kesederhaan yang ia miliki ini.     “Ibu sama sekali tidak memiliki kuasa untuk melarangmu mengubah keputusan. Tapi, Ibu hanya ingin mengingatkan, atas alasan mengapa kamu mengambil keputusan itu sebelumnya. Kamu sama sekali tidak melupakannya, bukan?” tanya Sekar lembut penuh kehati-hatian. Tentu saja, Sekar tidak ingin memberikan kesan jika dirinya sebenarnya memberikan sebuah larangan serta tekanan pada Tiara untuk tetap bertahan dengan keputusan yang sudah ia ambil sebelumnya. Ini mengenai kehidupan Tiara, dan tentu saja semua keputusan berada di tangan Tiara.     Tiara tidak bisa menahan diri untuk mengernyitkan keningnya dan mendesah pelan. Ia menatap netra Sekar dengan penuh keraguan. “Tentu saja aku tidak melupakannya, Ibu. Aku melakukan semua ini hanya karena aku ingin membalas budi pada kebaikan yang diberikan oleh Nyonya dan Tuan. Aku tidak memiliki niatan lain, selain niat tersebut. Aku bahkan sama sekali tidak bermimpi untuk menikahi putra mereka yang sudah jelas memiliki level yang jauh berbeda denganku,” jawab Tiara penuh dengan keresahan.     Tiara mengatakan hal yang sesungguhnya. Ia sama sekali tidak memiliki niatan apa pun saat menerima lamaran dari Puti, selain ingin membalas budi. Selama ini Tiara mendapatkan kehidupan yang layak dan tumbuh dengan baik, secara tidak langsung karena kebaikan Puti serta Nazhan yang bersedia menampungnya di pantu asuhan di mana merekalah yang menjadi donatur utamanya. Tiara merasa, jika bukan karena kebaikan keduanya, Tiara tidak mungkin bisa tinggal lebih lama di panti ini dan berakhir dalam pengasuhan orang tua baru yang entah menyayanginya dengan tulus atau tidak.     Mendengar jawaban Tiara tersebut, Sekar tidak bisa menahan diri untuk mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Tiara. “Kalau begitu, tidak perlu ragu dengan keputusan yang sudah kamu ambil ini. Mungkin saja, sekarang kamu memang mendapatkan penolakan keras bahkan penghinaan yang menyakitkan, tapi yakinlah akan satu hal. Jika semuanya diawali dengan niat baik, sudah dipastikan jika akhirnya juga akan baik. Tuhan selalu ada, mengawasi kita, dan akan menunjukkan kebaikan-Nya pada umat yang senantiasa mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya,” ucap Sekar.     Sekar sadar jika dirinya tidak bisa memilihkan pasangan yang cocok untuk Tiara. Namun, ia tahu, jika Puti dan Nazhan tidak mungkin membuat Tiara hidup menderita. Keduanya adalah orang baik. Mungkin saja, dengan menjodohkan Tiara dan Darka, bisa membuat keduanya hidup bahagia. Jika pun nanti Darka masih bersikap kasar pada Tiara, Sekar yakin nyonya dan tuan besar sama sekali tidak akan tinggal diam saat melihat hal itu. Keduanya pasti akan mengambil tindakan yang jelas akan membuat Darka jera, dan membuat Tiara bisa hidup dengan tenang.     Apa yang dikatakan oleh Sekar tersebut lebih dari cukup membuat Tiara merasa lebih tenang. Tiara kini yakin, jika keputusan yang sudah ia ambil sebelumnya, memang keputusan terbaik yang bisa ambil dengan niatan yang memang tidak macam-macam. Tiara menyunggingkan senyum manis dan berkata, “Terima kasih, Ibu.” Sekar mengangguk dan menerima pelukan Tiara dengan lembutnya, serta membalasnya dengan hangat.       **           Sore hari menjelang, dan saat itulah sebuah mobil mewah berwarna merah darah memasuki area panti asuhan. Mobil itu berhenti di area parkir yang sudah disediakan. Tak berapa lama, sang pemilik mobil turun dengan gerakan yang berwibawa dan menguarkan aura yang membuat siapa pun yang melihatnya, menoleh berulang kali, karena enggan untuk melepaskan pandangan dari sosoknya yang gagah dan menawan. Ya, sosok tersebut tak lain adalah Darka Parama Al Kharafi. Putra satu-satunya dari Puti dan Nazhan, yang secara langsung menjadi pewaris satu-satunya dari keluarga konglomerat Risaldi dan Al Kharafi. Pria itu tampak menawan dengan latar langit sore yang sebentar lagi akan menggelap karena datangnya malam.     Darka mendengkus saat dirinya sudah berdiri dengan tegap di dekat badan mobil mewahnya. Ia melepas kacamata hitamnya, yang memang sudah tidak lagi ia butuhkan karena waktu yang sudah menjelang malam hari. Mengenakan kacamata hitamnya lebih lama hanya akan membuatnya tampak konyol. Darka mengernyitkan keningnya saat dirinya tidak melihat satu orang pun yang menyambut kedatangannya di pantu asuhan yang bernaung di bawah yayasan amal AR yang tentu saja akan segera dimiliki olehnya ini. Namun, beberapa saat kemudian seorang perempuan paruh baya dan beberapa anak berusia remaja yang cukup tinggi muncul dengan langkah tergesa.     Darka tanpa kata menekan remote kunci mobilnya dan membiar pintu mobilnya terbuka. Darka memberikan isyarat dan berkata, “Ambil kotak-kotak di dalam mobilku.”     Sekar pun membiarkan anak-anak remaja yang mengikutinya untuk mebawa kotak-kotak berukuran sedang tersebut untuk dibawa ke dalam panti. Kotak-kotak tersebut berisi stok obat dan masker medis yang memang dibutuhkan oleh pihak panti. Sekar memang senyum tipis dan berkata, “Terima kasih sudah berkenan untuk mengantarkan semua stok obat itu secara pribadi, Tuan Darka.”     Selama ini, biasanya akan ada petugas khusus yang mengatarkan semua kebutuhan panti termasuk stok obat dan masker kesehatan yang saat ini diantarkan oleh Darka. Jadi, Sekar sendiri merasa agak terkejut saat mendengar kabar jika Darka yang akan mengantarkan obat secara pribadi ke panti. Namun, Sekar sama sekali tidak menyiapkan jamuan atau bahkan penyambutan yang berlebihan untuk Darka. Karena Sekar merasa jika hal tersebut sama sekali tidak diperlukan. Puti sendiri sudah menghubungi Sekar untuk tidak menyambut Darkas secara berlebihan, dan harus memperlakukan putranya itu senormal mungkin. Sementara kini Darka melirik ke sana ke mari sembari menjawab, “Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Mama.”     Darka memang tidak mengatakan kebohongan. Darka repot-repot datang dan mengantarkan kotak-kotak obat itu memang atas perintah Puti. Jika saja bukan Puti yang memerintahkannya, sudah dipastikan jika Darka tidak mau melakukan hal seperti ini. Namun, setelah tiba di panti asuhan ini, Darka pun mendapatkan sebuah ide yang menarik. Rasanya, jika sudah datang ke mari, Darka tidak akan membuang kesempatan yang sudah berada di depan mata. “Aku ingin bertemu dengan gadis yang dijodohkan denganku. Di mana dia?” tanya Darka lalu menatap Sekar.     “Ah, maksud Anda Tiara? Sepertinya Tiara ada di kamarnya,” jawab Sekar pelan.     “Di mana kamarnya?” tanya Darka tanpa basa-basi.     “Mari saya an—”     “Tidak perlu mengantarku. Cukup tunjukkan arahnya saja. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melakukan apa pun padanya,” ucap Darka setengah hati.     Meskipun merasa ragu, pada akhirnya Sekar pun menunjukkan arahnya dan menyebutkan secara rinci letak kamar Tiara pada Darka. Setelah mendapatkan arah, Darka sama sekali tidak kesulitan untuk menemukan kamar Tiara. Kini, Darka berdiri di depan pintu. Tanpa permisi, Darka membuka pintu tersebut dan melihat sosok Tiara yang tengah khusu beribadah dalam balutan mukena biru muda. Sosok mungil tersebut memunggungi pintu hingga Darka tidak bisa melihat wajah Tiara, tetapi Darka lebih dari yakin jika sosok yang tengah solat tersebut tak lain adalah Tiara.     Darka tidak bersuara dan memilih untuk bersandar di pintu. Mencoba untuk bersabar dan menunggu Tiara menyelesaikan ibadahnya tersebut. Meskipun senang melakukan hal gila, Darka masih memiliki akal sehat dan sopan santu untuk tidak mengganggu orang yang tengah menjalankan kewajibannya untuk beribadah. Darka tidak mau sampai terkena karma karena mengganggu orang yang taat beragama. Tak berapa lama, Tiara selesai beribadah dan berdoa. Ia bangkit dan posisi bersimpuhnya dan berniat untuk melepaskan mukena yang ia kenakan sebelum dirinya terkejut saat melihat sosok Darka yang berdiri di ambang pintu. “Tuan Darka?”     “Cepat ke luar, aku ingin berbicara denganmu,” ucap Darka lalu berbalik meninggalkan Tiara yang kini terburu-buru melepaskan mukena yang ia kenakan. Tiara hanya meletakkan mukena dan sajadah yang telah ia gunakan di atas ranjang sebelum berlari mengikuti langkah Darka yang jelas sangat cepat dan lebar. Untung saja, Tiara mengambil keputusan yang tepat hingga tidak tertinggal terlalu jauh dari Darka.     Ternyata, Darka ingin berbicara dengan Tiara di taman samping bangunan panti asuhan. Kebetulan, anak-anak memang sudah berada di dalam bangunan karena sudah sore. Jadilah, tempat itu memang tepat untuk digunakan untuk tempat berbicara serius. Saat ini, Tiara menatap Darka yang berdiri menjulang di hadapannya. Angin sore yang lembut dan mengarah pada Tiara, secara ringan membawa aroma tubuh Darka yang sangat maskulin. Tiara sendiri diam-diam menebak aroma apa yang digunakan oleh Darka sebagai parfumnya ini. Namun, Tiara lebih dari yakin jika parfum tersebut sangat mahal.     “Aku ingin membicarakan hal yang sangat penting denganmu,” ucap Darka memulai pembicaraan.     Tiara seakan-akan sudah melupakan sikap kasar dan perkataan menyakitkan yang sudah diberikan oleh Darka padanya. Kini Tiara memasang sebuah senyum tipis dan mengangguk. “Saya akan mendengarkan,” ucap Tiara pelan.     Darka menatap Tiara dari ujung kepala hingga kaki. Jujur saja, Darka memang bisa menilai jika Tiara ini termasuk ke dalam golongan perempuan yang cantik dan manis. Hanya saja, Tiara bukanlah seleranya. d**a dan bokongnya tidak terlihat berisi, tidak sesuai dengan selera Darka yang senang pada wanita jika kedua bagian tersebut berisi dan montok. Selain itu, Tiara sama sekali bukan levelnya. Darka tidak mungkin mau menikahi Tiara yang menurutnya tidak jelas asal usulnya. Karena Darka tahu, Tiara memang tumbuh besar di panti asuhan tanpa pernah sekali pun bertemu dengan kedua orang tuanya.     “Aku ingin membicarakan mengenai perjodohan kita yang direncanakan oleh Ibu dan Ayah. Ah, untuk masalah tadi malam, aku sama sekali tidak akan meminta maaf padamu. Aku tidak merasa ada perkataanku yang salah, dan membuatku harus meminta maaf padamu yang jelas tidak pantas untuk mendapatkan permohonan maaf dariku,” ucap Darka tajam. Namun, Darka mengernyitkan keningnya dalam-dalam saat melihat Tiara yang saat ini malah menyunggingkan senyum manis padanya.     “Saya sendiri tidak merasa ingin mendapatkan permintaan maaf darimu, Tuan. Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan perihal perjodohan itu?” tanya Tiara tenang, seakan-akan dirinya tidak terpengaruh dengan perkataan tajam yang ia dengar sebelumnya. Darka yang mendengar pertanyaan Tiara mau tidak mau mengernyit.     Ketenangan yang ditunjukkan oleh Tiara tersebut tentu saja membuat Darka merasa terganggu. Darka sendiri sadar, jika semua perkataan yang ia tujukan pada Tiara, adalah perkataan tajam yang seharusnya membuat seseorang merasa sakit hati. Khusus bagi perempuan, Darka yakin jika perkataannya itu lebih dari cukup untuk membuat kaum hawa itu menangis karena merasa begitu terluka dengan perkataan tajam yang sama sekali tidak pandang bulu tersebut. Namun, alih-alih menangis, Tiara malah menyunggingkan senyum manis, dan ketenangan yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya oleh Darka.     Namun, saat ini bukan waktunya Darka teralihkan oleh hal tersebut dan memikirkan masalah yang tidak penting. Untuk saat ini, hal yang lebih penting adalah perkataan yang akan ia ucapkan pada Tiara. Ini adalah tujuannya mengajak Tiara berbincang, karena itulah Darka tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengatakannya. Darka menatap tajam sepasang netra indah Tiara yang menyorot polos padanya. Darka mengernyitkan keningnya saat merasakan sesuatu yang menggeliat di sudut hatinya. Hanya saja, Darka dengan cepat menekan perasaan tersebut dan kembali fokus dengan apa yang akan ia lakukan.     Tiara sendiri, saat ini tengah menyiapkan diri dengan apa yang akan dikatakan oleh Darka. Meskipun baru dua kali bertemu dengan Darka, Tiara sudah lebih dari cukup bisa menyimpulkan jika Darka ini memiliki watak yang kasar dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Jadi, Tiara tidak merasa terkejut dengan perkataan kasar dan tajam yang kemungkinan akan kembali ia terima. Namun, Tiara memang harus menyiapkan diri untuk mendengar hal tersebut.     Darka pun buka suara dan berkata, “Batalkan perjodohan kita!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN