“Kalau begitu aku akan menyambutmu dengan memakai setelan biki baru yang aku miliki. Aku yakin kau akan menyukainya.”
“Aku lebih suka saat kau tidak mengenakan apa pun,” ucap Darka lalu memutuskan sambungan sebelum mendengar jawaban apa pun dari Vanesa.
Darka bersiul senang dan memasuki ruang ganti. Ia harus berganti pakaian dan terkejut melihat semua pakaiannya sudah tertata dengan sangat rapi, sesuai dengan warna dan kegunaannya. “Agak mengesalkan bagiku karena ia benar-benar terampil mengerjakan tugasnya hingga tidak memberikan celah bagiku untuk mencela.”
Tidak membutuhkan waktu terlalu lama bagi Darka berganti pakaian. Setelah mengambil ponsel, dompet dan kunci mobil, Darka pun turun dari lantai dua. Saat akan mencapai pintu utama, Darka berpapasan dengan Tiara yang baru saja ke luar dari beranda di samping kediaman minimalis tersebut. Masih dengan wajah polos tanpa make up, dan daster lusuh, Tiara menatap Darka dengan tatapan penuh tanda tanya. “Darka akan pergi ke mana?” tanya Tiara sembari meletakkan alat penyiram tanaman di tempatnya.
Darka yang mendengar pertanyaan Tiara mengernyitkan keningnya dalam-dalam. “Apa aku perlu melaporkan ke mana aku pergi dan dengan siapa aku akan pergi?” tanya balik Darka dengan tajam.
“Bukan seperti itu. A—”
“Aku akan pergi bersenang-senang dengan wanita yang bisa memuaskanku. Apa kau puas dengan jawaban yang aku berikan? Jika iya, maka tutup mulutmu. Jangan berusaha untuk menghubungiku, karena aku akan bersenang-senang dan pulang esok hari,” ucap Darka tanpa perasaan dan beranjak meninggalkan Tiara begitu saja.
Tiara pun berbalik dan menatap kepergian Darka dengan sendu. Bohong rasanya jika Tiara mengatakan jika dirinya sama sekali tidak terluka dengan kepergian Darka untuk menemui wanita lain. Namun, Tiara tidak bisa larut dalam perasaan sedih tersebut. Memang benar, Tiara mengambil keputusan untuk menikahi Darka sebagai bentuk balas budinya pada Puti dan Nazhan. Tiara bahkan membuat kesepakatan dengan Darka mengenai pernikahan ini. Namum, Tiara sama sekali tidak bisa menyangkal jika dirinya juga bisa merasakan sakit yang sama dengan perasaan yang dirasakan oleh para istri lain, ketika suaminya pergi dan menemui perempuan lain di luar sana. Itu terlalu menyakitkan untuk Tiara, yang bahkan belum mengecap manisnya sebuah pernikahan.
“Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus ingat dengan kesepakatan yang sudah dibuat bersama Darka,” ucap Tiara sembari menyentuh dadanya yang terasa tersengat sesuatu.
Setelah mengatakan hal tersebut, Tiara pun beranjak untuk mengerjakan apa yang perlu ia kerjakan. Dari merawat taman, membersihkan rumah, mencuci baju hingga memasak. Tiara tidak terlalu kesulitan untuk mengerjakan semua pekerjaan tersebut karena memang sudah terbiasa melakukan hal yang sejenis saat berada di panti asuhan. Ya meskipun Tiara tentu saja tidak bisa berbohong dengan mengatakan jika dirinya baik-baik saja dan tidak merasa lelah dengan semua yang ia kerjakan itu. Mengingat panti, Tiara pun teringat dengna ibu asuh dan para adiknya di sana. Sudah tepat satu minggu dirinya menikah dan itu artinya sudah satu minggu ia tidak bertemu dengan mereka. Karena Tiara tidak memiliki ponsel, ia tidak bisa menghubungi mereka.
Ada telepon rumah pun, Tiara merasa jika dirinya tidak bisa menggunakannya untuk menghubungi panti. Bukan karena Tiara takut jika dirinya akan mendapatkan kemarahan dari Darka, tetapi lebih kepada dirinya sendiri yang takut menangis saat menghubungi Sekar. Tiara takut jika dirinya akan lemah dan menangis mengeluhkan keputusan yang sudah ia ambil sebelumnya. “Kamu harus kuat. Ini keputusan yang sudah kamu ambil. Meskipun terasa berat dan melelahkan, jika dihadapi dengan berani pasti bisa berjalan dengan baik,” ucap Tiara menguatkan dirinya sendiri.
Malam hari pun tiba, dan Tiara sudah mengenakan gaun tidur yang dibelikan oleh mertuanya. Ini gaun tidur yang terasa nyaman dan tidak tipis. Karena itulah, Tiara bisa mengenakannya dengan nyaman dan tidak perlu merasa canggung karena mengenakan gaun yang terlalu tipis hingga tampak pakaian dalam yang ia kenakan seperti saat di hotel. Tiara menutup semua masakan yang sudah ia masak untuk makan malam dengan tudung saji. Sebelumnya, karena merasa sangat lapar, Tiara makan sedikit. Hal itu sengaja Tiara lakukan agar nanti dirinya bisa makan bersama dengan Darka, meskipun Darka sampai saat ini masih belum mau memakan masakan buatan Tiara.
Tiara menatap jam dinding, ini sudah jam delapan malam, dan Darka belum pulang juga. Memang benar, Darka mengatakan jika dirinya tidak akan pulang malam ini dan akan pulang keesokan pagi. Namun, Tiara rasa tidak ada salahnya jika dirinya berharap dan berdoa agar Darka bisa pulang secepat mungkin sebelum tengah malam tiba. Tiara berharap, setidaknya Darka bisa menghabiskan waktu makan malam bersama dengannya. Tiara meremas tangannya. Ia jelas merasa kesepian ditinggal sendirian di rumah yang menurutnya besar ini. Di panti, Tiara terbiasa dikelilingi oleh anak-anak yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Lalu kini Tiara harus tinggal di rumah besar seorang diri, tentu saja Tiara merasa perbedaan yang sangat jauh.
Saat Tiara akan beranjak ke kamar, dan memutuskan untuk menunggu kepulangan Darka di sana, Tiara mendengar seseorang mengetuk pintu. Sejenak, Tiara ragu untuk membukakan pintu. Karena orang yang datang mengetuk pintu, sudah dipastikan jika ini bukan Darka melainkan seseorang yang memang datang untuk bertamu. Namun, siapa yang datang bertamu di jam ini? Bukankan sudah cukup larut untuk datang ke rumah orang lain? Di tengah kegelisahan Tiara itu, Tiara mendengar suara yang ia kenali. “Tiara, buka pintunya. Ini Papa dan Mama.”
Sadar jika yang mengetuk pintu adalah mertuanya, Tiara pun tanpa membuang waktu segera beranjak untuk membuka kunci pintu dan membukanya. “Mama, Papa?”
Puti dan Nazhan tersenyum lembut. Setelah mencium tangan keduanya, Tiara mempersilakan mertuanya untuk masuk ke dalam rumahnya yang tertata rapi dan bersih. Puti dan Nazhan tahu jika Tiara bekerja keras untuk memastikan jika rumah tetap bersih dan rapi dengan kemampuannya sendiri. Tiara sendiri segera beranjak membuat minuman untuk mertuanya dengan cekatan dan kembali dengan sebuah nampan. Tiara bertindak dengan sangat lues, seolah-olah dirinya memang sudah sangat terbiasa melakukan pelayanan semacam itu. Setelah menyajikan minuman, Tiara pun duduk di seberang keduanya.
“Kedatangan kami pasti mengganggu waktu istirahatmu, ya?” tanya Puti lembut.
“Tidak. Mama dan Papa tidak boleh berpikir seperti itu. Kedatangan kalian pasti akan Tiara dan Darka sambut dengan baik kapan pun kalian datang,” jawab Tiara tulus.
Seakan-akan baru sadar, Puti pun mengernyitkan keningnya. “Ah, iya. Di mana Darka?” tanya Puti.
Tiara terkejut dan bingung harus menjawab seperti apa. Tentu saja sangat tidak mungkin bagi Puti untuk menjawab jika saat ini Darka tengah menghabiskan waktunya bersama wanita simpanannya. Nahzan yang bisa melihat keraguan tersebut segera ikut dalam permbicaraan tersebut. “Apa Darka pergi ke luar rumah? Tidak perlu takut. Jawablah dengan jujur,” ucap Nazhan.
Tiara kesulitan mengatakan kebohongan. Jika pun bohong, Tiara tidak bisa melakukan hal itu. Puti dan Nazhan pasti dengan mudah bisa mengetahui kebohongannya. Tiara menggigit bibirnya, dan hal itu membuat Puti serta Nazhan yakin jika sang putra memang tengah tidak berada di rumah. Puti seketika merasa sangat marah. Rasanya, keputusannya untuk menarik bawahan yang ia tugaskan untuk mengawasi Darka itu salah. Jika tadi pagi Puti tidak menarik perintahnya, pasti Puti bisa menangkap basah putranya yang ke luar rumah dan keluyuran hingga malam seperti ini. Dengan mudah, Puti bisa membaca apa yang saat ini tengah dilakukan oleh Darka dan semakin kesal saja.
“Dasar anak itu!” seru Puti lalu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Darka.
Nazhan sendiri menghela napas dan mengurut pelipisnya. Darka ternyata benar-benar tidak bisa berubah. Sekarang saja ia kembali melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat. Nazhan menatap menantunya dan bertanya, “Darka ke luar rumah sejak kapan? Tidak apa-apa, jawablah dengan jujur. Apakah sudah lama?”
Tiara lagi-lagi menggigit bibirnya. Tentu saja ia tidak bisa mengabaikan kembali pertanyaan yang sudah diajukan oleh mertuanya ini. Jika ia kembali melakukan hal itu, sudah dipastikan jika dirinya pantas disebuat sebagai seorang menantu yang berdosa, karena sudah mengabaikan mertuanya. Tiara pun memutuskan untuk menjawab jujur. Toh, semuanya sudah terlanjur terungkap. Dengan pelan, Tiara menjawab, “Darka ke luar sejak pagi.”
Mendengar jawaban Tiara, Puti yang masih berusaha untuk menghubungi putranya, melotot penuh kemarahan. Bisa-bisanya Darka melakukan hal itu! Telepon Puti di angkat tepat sedetik kemudian. Puti pun bertanya, “Di mana?”
“Di mana lagi, kalau bukan di rumah, Ma,” jawab Darka santai.
“Oh, ya? Padahal sekarang Mama sedang di rumahmu, tapi Mama tidak melihatmu di mana pun.”
Ucapan Puti tersebut sanggup membuat Darka bungkam saat itu juga. Puti menggeretakkan giginya merasa sangat marah pada putranya. “Pulang sekarang juga, atau Mama coret namamu sebagai pemegang hak waris!”