HOT MAN 5

1203 Kata
“Bu Tania, sehat?” Salah seorang bawahan Tania menegurnya. Dilihatnya atasannya itu mengurut pelipisnya sedari tadi. “Kamu bisa panggilkan Pak Vendra dan Bu Friska? Sekalian minta OB buatin saya jeruk panas.” Tania memberi perintah pada bawahan yang menyerahkan selembar kertas padanya. “Apa ini?” Dibacanya cepat kertas yang baru dia terima tadi. “E-mail dari pusat,” jawab bawahannya singkat. Segera setelah bawahan itu keluar, dua orang yang tadi dipanggil Tania masuk dan berbaris di hadapannya. “Ambil kursi. Ada yang harus saya bicarakan dengan kalian.” Keduanya pun mengambil kursi yang berada di sisi ruangan dan meletakkannya di depan meja Tania. Setelah keduanya duduk, Tania mulai memberi tahu apa maksud dia mengumpulkan mereka berdua. “Ini ada dua e-mail dari pusat. Satu pernyataan bahwa dana promosi kita disetujui dan satu lagi permintaan laporan penggunaan dana itu. Saya nggak paham. Dana apa, ya? Rasanya saya nggak mengajukan dana apa-apa ke pusat?” Tania memandang kedua bawahan yang menunduk di depannya. “Apa ada yang nggak saya ketahui?” tanya Tania tajam. “Itu pengajuan sebelum periode Ibu. Pengajuan lama tapi baru disetujui sekarang.” Akhirnya Friska, bagian keuangan Paramedia yang berbicara. “Memangnya kita kekurangan dana promosi? Paling apa, sih promosi selama ini? Buka table fair, nyebarin brosur atau promo pelanggan get pelanggan. Kayaknya itu cukup banget dan nggak menghabiskan dana sebesar ini. Seratus juta? Mau promo apaan?” “Kita bisa kerjasama dengan EO untuk bikin event di mall, Bu. Atau kalau kita bisa, handle sendiri.” Tania memandang Vendra, lelaki metropolis dengan cambang bergaya timur tengah. Entah kenapa ada bagian dari wajahnya itu yang mengingatkan dia sama Aryo. Astaga! Laki-laki itu lagi. Digelengkannya kepalanya kuat-kuat. “Kenapa, Bu? Atau ada usulan lain yang lebih baik?” “Bukan, bukan begitu. Saya hanya teringat hal lain saja. Nyewa EO bagus juga. Bisa kita minta proposal penawaran mereka nggak, ya? Saya nggak mau ngeluarin dana sia-sia.” “Saya tahu EO yang lagi hits di Batam. Rata-rata eventnya pasti sukses dan bisa mendatangkan pengunjung yang banyak. Memang ratenya agak tinggi, tapi menurut saya sepadan, sih.” “Mmm, gitu, ya? Bisa liat port folio mereka?” “Bisa saya carikan di internet.” Vendra menyanggupi. “Oke. Kalau gitu masalah ini teratasi. Dan … Friska, kamu bikin laporan setiap pengeluaran untuk event ini nantinya, ya. Saya nggak mau ada kebocoran sekecil apa pun.” “Baik, Bu.” Kedua orang itu pamit dan keluar dari ruangan Tania. Bikin event. Di mall. Tania terbayang kembali event yang dia datangi hari Minggu kemarin. Kalau semeriah itu, boleh juga, sih. Paramedia memang perlu promo besar-besaran untuk memikat konsumen baru. Selama ini dia sudah minta pada karyawan marketing untuk masuk ke perumahan-perumahan yang baru dibangun dan melakukan negosiasi dengan perangkat warga di tempat itu. Tetap saja, penjualan mereka masih belum bisa memenuhi target yang diminta pusat. “Kegedean targetnya ini. Mentang-mentang Batam, jadi disamain ma Jakarta,” keluh Tania. Sepertinya tugasnya di cabang Batam tidak akan semudah di kota lain. Menjelang makan siang, port folio yang dimintanya sudah ada di tangannya. Tania membaca sekilas dan dari event terakhir dia tahu kalau EO itu adalah EO yang membuat event di Nagoya Hill kemarin. Hatinya bersorak senang. Rupanya ada juga keuntungannya dia jalan kemarin. Karena tak sabar, dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan menghampiri Vendra di kubikelnya. “Oke, nih EO. Bisa kamu hubungin pemilik atau marketingnya? Saya mau ketemu. Lebih cepat lebih baik. Supaya kita bisa jalan secepatnya.” Vendra mengangguk patuh dan dia segera menghubungi seseorang melalui telepon. Tania masih menunggu di luar kubikel dengan kedua tangan bersidekap di atas papan kubikel. Dia menunggu Vendra mengakhiri teleponnya. “Orangnya bisa datang after lunch.” “Great! Saya makan dulu kalau gitu. Siapin ruang meeting dan minta sama Bu Friska dana untuk konsumsi, ya.” Vendra mengangguk. “Siap, Bu.” Tania tersenyum dan mengetukkan kukunya yang terawat ke papan kubikel. Dia berlalu meninggalkan Vendra menuju ruangannya. Menyambar tas dan pergi keluar kantor untuk makan siang sendirian. =*= Dipandanginya sepasang kekasih yang sedang menikmati hidangan dengan sikap malu-malu. Dulu dia juga begitu. Punya kekasih dan sebisa mungkin menghabiskan waktu berdua di sela kesibukan. Curi-curi di jam makan siang atau saling menemui sebelum dan sepulang kerja. Itu pun kalau tidak lembur. Akhir pekan mereka habiskan untuk saling memperhatikan. Jalan-jalan seharian atau hanya menonton dan malas-malasan di rumah. Semua dilakukan berdua. Semua begitu indah pada waktu itu. Masa depan mereka juga dirancang sempurna. Semua terasa mudah seandainya tidak ada campur tangan pihak lain dalam rencana pernikahan mereka. Itu dulu … semua sudah berlalu. Dia sendirian sekarang. Mengasingkan diri ke pulau perbatasan negara untuk menenangakan diri. Ya, permintaan mutasi ke Batam adalah atas inisiatif darinya. Tania ingin dijauhkan sejauh-jauhnya dari Jakarta dan juga Bandung. Kota tempat kekasihnya berada dan segala lukanya terjadi. Tania mendesah. Makan siang sendirian tidak enak. Sudah setahun lebih dia sendirian tapi rasanya masih belum juga terbiasa. Pikirnya dia butuh waktu lebih banyak. Tapi semakin banyak dia merasakan sendirian, semakin rasa sakit itu muncul dan mengorek-ngorek luka lama. Tania kesakitan sendiri. Tania kesepian sendiri. Ponselnya berdering, makan siangnya belum habis. Diseruputnya minumannya hingga tandas. Vendra sudah memanggilnya, dia harus segera kembali ke kantor. Sesampainya di kantor, Tania langsung ke ruangan meeting. Bawahannya bilang kalau dia sudah ditunggu di sana. Tania tersenyum pada seorang lelaki lemah gemulai yang terlihat akrab dengan Vendra dan seorang perempuan dengan rambut ash pink. Dijabatnya tangan keduanya. Lalu mereka duduk kembali. “Vendra sudah menceritakan garis besarnya?” tanya Tania. Kedua orang itu mengiyakan. “Kalau gitu mari kita dengar rencana kalian.” Beberapa jam ke depan, Tania terlibat diskusi menarik dengan kedua orang yang sangat supel itu. Dia menyukai mereka berdua. Orang-orang marketing memang selalu berpembawaan ceria dan menyenangkan. Seolah mereka menebarkan aura positif yang hangat. =*= Tania merebahkan tubunya di atas kasur. Masih berpakaian kerja lengkap. Tasny tergeletak sembarang di lantai, sepatunya berserak begitu saja di dekat pintu masuk. Dia lelah sekali hari ini. Mungkin karena cuaca Bata, yang sangat panas dan kering. Dengan lunglai Tania berjalan ke kulkas dan menyambar sebotol minuman mineral. Diteguknya habis, tapi belum juga dahaganya hilang. Dia mendesah keras ketika didengarnya pintu depannya di ketuk seseorang. “Tumben ada yang ngetuk pintu rumah? Rasanya aku nggak punya temen di sekitar sini. Kalau musuh mungkin iya. Ibu-ibu fansnya Aryo pasti jadi hatersnya aku,” guman Tania sambil berjalan ke pintu depan. “Hai! Aku punya kerjaan buat kamu. Ayo ikut sekarang juga!” Tanpa memberi Tania kesempatan berbicara, Aryo menarik pergelangan tangannya kuat-kuat dan memaksanya mengikutinya ke rumahnya. “Apa-apaan, sih? Lepasin, nggak! Malu dilihat orang!” “Oh, jadi kamu punya malu juga? Kalau kamu punya malu, sekarang cepet beresin rumah aku!” perintah Aryo kasar. “Astaga! Kamu males banget. Beresin rumah sendiri aja nggak bisa. Pe-ma-las!” ujar Tania ketus sambil berlalu kasar dari hadapan Aryo. “Oke kalau gitu.” Aryo mendahului Tania dan berjalan masuk ke rumah Tania. Segera saja Tania emngejar Aryo karena takut dia bakal berbuat aneh-aneh di rumahnya.” Dicarinya Aryo dan dia menemukan lelaki itu di dalam kamarnya. Yang dia takutkan tidak terjadi, tapi yang terjadi di depan matanya sekarang juga tidak kalah menakutkan. “Kamu! Apa yang kamu lakukan!” teriaknya.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN