Ayana Disambut Hangat Oleh Kedua Orang Tuanya Akbar.

1302 Kata
Aku disambut oleh pemandangan menakjubkan rumah ini. Di bagian depan adalah sebuah pagar besi yang terbuka secara otomatis, ketika Pak Akbar menekan tombol yang ada di remot kecil yang ia gabungkan bersama dengan kunci mobil miliknya. Kemudian kami masuk, dan pagar itu pun kembali menutup setelah kami berada di dalam, tentu saja karena Pak Akbar kembali menekan remot nya. Belum habis rasa kagum ku pada pagar besi tinggi yang berwarna putih itu. Dari dalam aku kemudian kembali menemukan pemandangan indah lainnya. Sebuah air mancur yang jernih dan penuh dengan ikan hias bewarna warni menyambutku ketika aku membuka pintu mobil ini. "Ayo masuk!" Pak AKbar menegurku, mungkin karena melihatku seperti orang yang sedang linglung. Aku melihatnya tersenyumn ramah, dan aku segera menundukan kepala karena merasa amat malu padanya. Aku pasti di kira sangat udik olehnya. Kami pun masuk ke dalam rumah yang bercat abu abu dan berpaduan dengan warna kayu itu. Rumah ini sangat indah dan aku menyukainya. Dari dalam seorang perempuan setengah baya berhijab menyambut kami, dan memeluk Banyu. "ya ampun, anak ini bikin nenek cemas saja," dia telihat gemas, namun juga sepertinya amat rindu pada anak laki laki itu. setelah beberapa saat bersama Banyu, barulah perempuan cantik berhijab itu menemukan ku. "Eh, hay. ini siapa?" ia menatap Pak Akbar. "Ada yang belum kamu ceritain sama ibu ya?" dia menatap Pak AKbar dengan senyuman dan penuh desakan. "Ayolah, bu. Tidak seperti yang ibu pikirkan.Akbar mohon ibu jangan mengganggunya dan memberikan dia pertanyaan pertanyaan yang membuatnya bingung." Perempuan itu berdecak dan menggeleng gemas. "kamu ini." dia kembali tersenyum padaku dan mengajak ku untuk duduk. Pak Akbar masuk ke dalam, sedangkan aku bersama Banyu. Herannya anak itu mendekati aku terus. Seorang pelayan datang dan membawa minuman dingin untuk ku. "Ayo di minum nak. Ini cola, kam--" "Ibu jangan kasih Ayana cola." Aku mendengar suara Pak Akbar agak nyaring dari lantai dua. Hal itu membuat perempuan cantik berhijab itu menautkan kedua alisnya. "Oh, kenapa?" "Ayana sedang hamil. Kasih jus saja, ke embak." usulnya. "Oh, baiklah baiklah." perempuan itu memanggil kembali pelayan rumah itu, dan memintanya untuk mengambil jus. "Ibu, terima kasih. Ayana minum air putih juga bisa." ujarku, karena terus terang saja aku merasa enggak enak dengan kebaikannya itu. "Tidak apa apa,nak. ibu hamil memang enggak boleh minum kola. Mmm ... kamu istirhat di sini, ya. ibu masuk dulu. nanti kita makan malam bersama ya." Aku termangu. Bagaimana bisa perempuan ini sangat baik pada seorang perempuan hamil yang bukan milik anaknya. Maksudku, beliau ini bepikiran positif dan begitu mempercayai anaknya. Tidak! tentu saja, aku enggak membayangkan antara ibunya Pak Akbar dan mertuaku. Aku hanya merasa bahwa betapa beruntungnya seorang perempuan yang menjadi menantunya beliau. Banyu mengajak ku berjalan jalan di rumah itu, ketika langkah ku terhenti aku mendengarkan percakapan antara anak dan ibu itu. "Tidak bu ... aku enggak merebut istri orang lain." Aku mendengar penyangkalan dari Pak Akbar. nadanya lembut dan sepertinya ibunya menggodanya dan tidak terdengar seperti sedang menuntutnya. "terus kenapa dia ada di sini hem? apa akbar mau menjelaskan sesuatu pada ibu?" "Bu ... ayana ini tadi yang nemuin Banyu. Dan karena ini sudah mau maghrib, dan juga karena Sonia datang mau merebut banyu dariku, maka aku bawa saja ayana pulang, Kasiha bu dia." "memangnya ayana tinggal di mana? masa suaminya enggak nyariin dia?" "Mmm ... saya juga enggak tahu, bu. Nanti lah kita bicarain ini lagi. Ayo bu kita ajak ayana makan malam dulu?" Aku lega, mereka tidak menghakimi ku dan mau mendengarkan semua penjelasan ku terlebih dahulu. "Dia cantik, ibu pikir kamu suka sama dia." "Ayolah, bu. Jangan begitu, akbar enggak enak sama dia, kalau dia denger ini." Aku segera membawa banyu ke arah ruang tamu. Takut kalau mereka mengetahui, bahwa aku mendengarkan pembicaraan mereka. Banyu mengajak ku bermain mobil mobilan dan aku mengikutinya. "nak ayana, ayo makan malam bersama kami." aku melihat Nyonya Naya dan Pak Akbar menghampiriku. "terima kasih, bu, pak akbar. Saya sepertinya harus segera mencari kontrakan. Karena kalau kemalaman takutnya pemilik kontrakan sudah pada istirahat." "Kontrakan?" Pak Akbar terlihat kaget dengan pengakuan ku. "Kamu ngapain nyari kontrakan?" tambahnya. "saya mau pindah rumah." jawabku pelan. "Pindah rumah? memangnya rumah kamu kenapa?" "itu rumah suami saya, bukan rumah saya. " hening sesaat. Sepertinya mereka mulai mengerti dengan keadaan ku saat ini. "Mmm ... ayo kita makan dulu, nak." Nyonya Naya menggandeng lengan ku, dan membawaku ke dapur. Aku bisa merasakan kepedulian yang begitu besar yang diperlihatkan oleh beliau. Dan Aku juga merasakan tatapan simpatik dari pak akbar. Kami ke dapur, dan aku makan malam. Di sana ada ayahnya Pak Akbar, dan juga adik perempuan nya yang cantik bernama Aira. Dia sangat cantik sekali, persis dengan ibunya. "Kak Ayana ayo makan yang banyak. Biar dede nya sehat." Aira mendorong daging dan juga sayuran ke arah ku. Aku sungguh terharu melihat bagaimana kebaikan mereka. Setelah makan malam, aku berada di ruang tamu bersama Pak AKbar. "jadi saya mau tanya sesuatu sama kamu. Dan saya harap, kamu mau menjawabnya dengan sejujur jujurnya. Saya tahu ini bukan ranah saya. Namun karena kamu berada di rumah saya, maka kamu harus menjelaskan semuanya padanya saya kan?" "Iya, pak. Saya minta maaf, karena telah merepotkan bapak pada akhirnya," "Oh, tidak. Bukan seperti itu maksud saya, ayana. Saya hanya harus tahu seperti apa masalah kalian kan?" "Iya, saya memang akan mengatakannya." "Jadi kenapa kamu membutuhkan sebuah kontrakan?" Aku terdiam sejenak untuk menyiapkan semua jawaban ini. "Hubungan saya dengan suami enggak sedang baik baik saja. Suami dan mertua saya enggak percaya kalau anak yang dikandung oleh saya ini adalah anaknya. saya diusir dari rumah, sehingga saya harus mencari rumah lain untuk saya tinggali sementara waktu." "Astagfirullah, tega sekali suami mu itu, nak." Nyonya Naya mengusap bahuku. "Kamu jangan khawatir, kamu bisa tinggal di sini sama ibu kan?" "Bu ... apa kata tetangga." keluh Akbar. "Memangnya tetangga mau bilang apa? kamu ko peduli sama omongan tetangga!" ku lihat Nyonya Naya mencolek pinggangnya Pak Akbar, dan membuat laki laki itu meringis. Hubungan mereka begitu manis dan harmonis. membuatku ingat pada kedua orang tuaku yang telah tiada. "Lalu kedua orang tua kamu, ke mana sayang?" tanya Nyonya Naya lagi, "mereka sudah meninggal enam bulan yang lalu, bu. " jawabku dengan suara bergetar. Hal itu membuat Nyonya Naya semakin kerap mengusap bahuku. "Aduh, maafin ibu yang banyak tanya. Kamu jangan khawatir. Kamu tinggal saja sama kami. Kami akan membantu kamu dan bayi kamu kelak. " "terima kasih, bu. Tapi saya memang sedang kerja di restoran sebelah. Saya di sana jadi kasir, dan karena itu lah saya membutuhkan kontrakan kecil. Agar saya bisa tetap kerja di sana," "Oh restorannya Rudy ya ... kami juga kenal dengan beliau. Karena HGt tehno sekarang memesan makanan di sana." Aku dan kedua orang tuanya Pak Akbar mengobrol sampai setengah jam kemudian. Lalu setelah itu Pak Akbar mengantarkan aku ke kamar di mana aku bisa beristirahat. "Saya minta maaf, kalau banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh ibu saya," Kami berhenti di depan pintu kamar tamu itu, Pak Akbar membuka kan pintu kamar untuk ku. "Tidak apa apa, pak. Saya mengerti sekali." "Ibu saya itu bawel. Apalagi karena kamu seorang perempuan yang sedang hamil, dan istri orang lain pula. " kekehnya. "Iya, pak tidak apa apa. Saya lah yang harusnya meminta maaf, karena telah merepotkan bapak dan keluarga." "saya senang bisa membantu. Ayo kamu masuklah dan beristirahat. Kalau kamu membutuhkan bantuan, kamu segera telpon saya. Atau kamu ketuk kamar ini, ini kamar saya." Dia ternyata tinggal di samping kamar tamu ini. Sungguh membuatku semakin enggak nyaman." "Ba-baiklah pak." Aku hampir saja masuk ke dalam kamar besar itu. Namun entah kenapa aku tersandung karpet, sehingga membuat ku limbung, kalau saja Pak Akbar tidak dengan cekatan menahan ku, mungkin aku akan jatuh. "Hati hati ayana!" Lengan kekar itu melingkari tubuhku dan membuatku mematung. Jarak kami dekat sekali dan aku merasa seperti kehilangan napas ini. karena napasku seolah diambil habis olehnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN