Satu: Bermula Dari Kebaikannya

1471 Kata
“Fio, nanti lo yang bawa embernya keatas ya. Biar si Juan aja yang ngepel, gue mau ke ruang OSIS dulu.” Fiona menganggukan kepalanya pada Dena yang sudah berlari menuju koridor. Fiona mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sekolah masih sangat sepi padahal bel masuk akan berbunyi 15 menit lagi. Benar-benar hebat murid SMA Bhakti Negara ini. Gadis tersebut menutup keran air, saat embernya sudah terisi cukup penuh. Tanpa banyak bicara, ia mulai mengangkat ember yang cukup berat itu. Ketika dirinya tiba tepat di ujung tangga, Fiona itu menghela napas berat sadar bahwa ia telah menyengsarakan dirinya sendiri untuk mengangkat ember sembari menaiki anak tangga menuju lantai 3 sekolahnya. “Sini gue bantuin.” Tanpa aba-aba, Aksa yang baru saja sampai langsung mengambil alih ember di tangan Fiona. “Lo bawa pelnya aja.” Pemuda tersebut langsung menaiki anak tangga, tak kelihatan kesusahan mengangkat ember berisi air dengan punggung masih membawa tas berisi buku-buku tebal. Mengingat hari ini, jadwal pelajaran cukup padat. Memang benar faktanya tenaga laki-laki berbeda dengan perempuan. Fiona hanya menurut saja, dan mengikuti langkah Aksa yang sudah menaiki anak tangga duluan. “Tumben datang pagian, biasanya juga 5 menit mau bel baru dateng.” Ucapan Fiona barusan tak sepenuhnya salah. Sebagai seseorang yang selalu datang paling pagi ke sekolah, ia sudah hapal betul siapa saja yang sering datang cepat dan siapa yang datang ketika bel hampir berbunyi. Aksa adalah salah satu orang yang datang ketika bel hampir berbunyi mengingat rumahnya yang sedikit jauh dari sekolah, dan melalui jalanan padat pengendara bermotor. “Gara-gara adik gue, hari ini dia kan latihan marching band buat lomba sabtu ini,” jelas Aksa singkat. “Bingung juga sih, baru aja masuk udah mau lomba aja.” “Lomba buat anggota barunya kali, gue juga nggak ngerti sebenarnya. Maklum IGPE.” “IGPE?” Aksa menaikkan sebelah alisnya bingung. Asing akan kata tersebut. “Apaan tuh?” Senyum miring diberikan oleh Fiona beberapa detik, “Ikatan Gak Punya Ekskul,” jelas Fiona yang langsung membuat Aksa geleng-geleng tak habis pikir. Sebenarnya dulu sekali Fiona sempat tergabung dengan ekskul pecinta alam. Alasannya apalagi kalau bukan mencoba hal-hal yang menantang. Sayangnya kali pertama dirinya ikut serta mendaki gunung, Fiona langsung drop dan dilarikan ke rumah sakit karena terserang DBD. Alhasil sang kakak dan ayahnya menyuruh Fiona bergegas keluar dari klub tersebut, sehingga dirinya tidak memiliki ekskul apapun saat ini. “Baru tau gue ada organisasi kayak gitu di sekolah.” “Ya, adalah organisasi ke...” Aksa yang awalnya menyimak baik apa yang dikatakan Fiona langsung mengeryit kala gadis di sebelahnya mendadak terdiam di saat mereka sudah mencapai lantai 2. Pandangan gadis itu terpaku pada satu hal, yang membuat Aksa juga ikut menatap ke arah sana. Perlahan senyum di wajah Aksa ikut memudar, menjadi wajah datar. Di depan lab Bahasa Inggris, Oji berdiri di sana dengan seorang gadis sembari bercanda. Ya, cewek itu Keysha gebetan baru Oji. Tidak, lebih tepatnya pacar jika kabar yang beredar benar adanya. Ketika hati Fiona yang belum sepenuhnya berhasil melepas mantannya tersebut, dirinya tidak pernah sadar akan sesuatu. Fakta bahwa laki-laki yang berdiri di sampingnya, memiliki hati yang sama patah seperti dirinya. *** “Nggak kantin Fi?” Fiona terhenyak, kala Aksa sudah duduk di depannya secara mendadak. Cowok itu tertawa pelan melihat ekspresi terkejut Fiona. Dia menyodorkan beberapa keripik dari kantong plastik yang ia bawa ke hadapan Fiona. Jam istirahat seperti ini biasanya Fiona akan berkeliaran di kantin, melahap semangkuk soto mie dan jus mangga lantas bercengkrama lama disana. Namun, mengingat kalau dia kesana akan menyaksikan pemandangan yang membuat perasaannya makin tak karuan. Ia memilih tidak ikut ke kantin. “Mau Fi?” Gelengan diberi oleh Fiona. Bukan menolak kebaikan teman sekelasnya tersebut, namun ia sungguh tidak memiliki nafsu makan saat ini. “Tumben lo gak bareng temen-temen lo.” Walaupun terlihat seperti banyak teman, sejatinya Aksa hanya dekat dengan beberapa orang saja. Di awal masa SMA-nya saja, Fiona tidak ingat pernah berbincang sekalipun dengan Aksa meskipun mereka sekelas. Mereka baru berbincang dengan satu sama lain, ketika di kelas 2 tak sengaja mereka disatukan dalam kelompok belajar yang sama. Setelah itu, mereka hanya akan berbincang perihal pelajaran saja. Tidak pernah lebih dari itu. Maka, ketika Aksa mendadak mengiriminya pesan di luar topik mengenai pembelajaran beberapa hari lalu. Fiona jelas dibuat heran. “Mereka main bola di lapangan. Lagi males gue, mending di kelas dingin.” jelas Aksa lantas melihat ke luar jendela. Kelas mereka yang berada di lantai 3, memungkinkannya melihat lapangan dari sini. Menyaksikan bagaimana teman sekelasnya sedang bermain bola melawan adik kelas. Pandangannya lantas teralih pada buku milik Fiona. “Lo gambar apa?” “Desain baju, gue ada rencanamau ambil tes masuk jurusan mode. Masih lama sih, tapi harus mulai siapin dari sekarang.” Fiona mulai mewarnai gambar desainnya. “Habis ini lanjut kemana lo?” Mengingat bahwa mereka sudah duduk di tahun terakhir sekolah menengah atas, wajar saja jika pembicaraan mereka lebih mengarah ke apa yang ingin mereka lakukan setelah tamat nanti. “Paling coba jalur undangan dulu, tapi belum tau mau daftar di kampus apa aja.” Aksa membuang bungkus somaynya ke tempat sampah di dekatnya. Ia terdiam sesaat, lantas mengernyitkan dahi. Seolah baru menyadari sesuatu. “Lo bukannya dapat kuota buat jalur undangan ya?” "Iya, dapat kok. Tapi gue nggak mau pakai." Sesaat Fiona meringis, sadar bahwa cara bicaranya sekarang cenderung terdengar sedang menyombongkan diri. "Bukan sombong atau nggak mensyukuri berkah dapat jalur undangan. Cuman jalur undangan tuh nggak bisa dipakai buat masuk ke kampus yang gue mau. Apalagi jurusan kita kan IPA, sementara buat apply ke jurusan mode tuh rata-rata hanya menerima murid yang sejak awal dari jurusan IPS. Mau apply ke kampus lain yang ada jurusan serupa, tetap nggak bisa." Benar juga apa yang dikatakan Fiona barusan. Jalur undangan bukan berarti mereka bisa bebas memilih hendak masuk kemana saja. Setiap jurusan sudah memberikan syarat, murid-murid dari rumpun pendidikan apa saja yang boleh mendaftar. Itulah kenapa jurusan mode yang tergolong rumpun humaniora membuat Fiona tidak bisa menggunakan tiketnya tersebut untuk mendaftar ke kampus yang memiliki jurusan serupa. Pilihannya hanya mendaftar dan menjalani tes lalu bersaing dengan pendaftar lain. "Udah ada pilihan mau ambil dimana?" “Ada, ESMOD. Tapi yang gue ikutin tes bukan Universitas yang disini.” Fiona menutup buku desainnya. “Tapi yang di Paris.” Seketika Aksa terdiam, antara takjub dan heran akan keputusan Fiona yang terbilang cukup berani. Paris, Kota dimana mode berkembang pesat, wajar saja kalau Fiona ingin masuk kesana. Keputusan berani dan penuh percaya diri tersebut, tidak mungkin bisa diambil tanpa adanya dukungan dari keluarga. Ia yakin sekali mimpi besar Fiona itu didukung penuh, yakin bahwa sang puan bisa mewujudkannya. Berbeda sekali dengan keluarganya. *** “Gue bareng Rizky nih, nggak papa kan kalau gue tinggal?” Yola menatap cemas Fiona yang belum dijemput juga, padahal matahari sudah benar-benar condong ke barat dan hanya beberapa murid yang masih ada di sekolah. Harusnya sang kakak menjemputnya sejak beberapa puluh menit lalu. Namun ditunggu-tunggu, mobil sang kakak tak kunjung muncul juga. “Udah gak papa, ini gue mau nelpon juga kok,” sahut Fiona mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. “Ky, langsung pulang ya. Awas lo ngajak dia ke tempat lain dulu.” Rizky mengangguk malas. “Iya elah, dia pacar gue ini. Nggak bakal gue apa-apain juga," dumelnya seraya mulai menyalakan motornya. “Karena lo pacarnya, gue makin nggak tenang,”gumam Fiona saat kedua pasangan itu sudah cukup jauh dari tempatnya. Tak lama ponsel Fiona bergetar, menampilkan sederet balasan pesan dari sang kakak yang akhirnya terdengar kabarnya. Mengingat seharian ini dia tidak mengirim pesan apapun baik secara pribadi maupun di grup keluarga mereka. Nuga Pratama: Eh,lo balik pake bis aja ya. Gue masih ada urusan sama anak BEM. Fiona mendengus kesal, kala membaca sederet pesan tersebut. Kalau masih ada urusan, bilang dari tadi kek. Masalahnya jarak dari sekolahnya ke halte cukup jauh, apalagi sekarang sudah masuk jam macet. Bisa-bisa dia sampai rumah ketika hari benar-benar sudah malam. “Mau bareng gue Fi?” Suara berat tersebut sangat Fiona hapal milik siapa. Ia mendonggak mendapati Oji sudah memarkirkan mobil tepat di depannya. Cowok itu tersenyum ramah, yang membuat Fiona ingin muntah. Kalau dulu dia suka senyum itu, sekarang dia merasa mual setiap melihatnya. “Makasih tapi nggak usah.” Tolak Fiona mentah-mentah. “Lebih baik gue pulang naik bis.” Oji hanya mengangkat bahunya tak peduli, dan tersenyum lagi. “Kalau gitu gue duluan ya,” pamitnya sebelum menjalankan mobilnya pergi dari sana. Tak lupa seulas senyum mengejek melihat keadaan Fiona yang terjebak di sekolah yang semakin sepi. Waktu benar-benar lucu, ia bisa mengubah perasaan sedemikian rupa. Dari yang sangat mencintai menjadi saling membenci. Fiona sangat membenci Oji saat ini, tapi bisa saja esok waktu mempermainkannya lagi. Bisa saja besok atau lusa Fiona akan kembali mencintai Oji seperti dahulu. Sebelum kesalahpahaman itu datang dan membuat mereka seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN