Dua: Sisi Berbeda

1768 Kata
“Praktek sama siapa?” “Panggil aja Din. Jangan di taro di sana.” Fiona menahan diri untuk tidak tertawa melihat teman sekelasnya yang mengelilingi Adin saat ini, ketua kelasnya. Hari ini adalah jadwal praktikum pertama mereka di kelas 12. Setelah 1 bulan lebih terpisah dari alat-alat lab, kini mereka memakai kembali jas putih mereka. Berbeda dengan murid lain yang sibuk mencari siapa rekan praktik mereka. Fiona memilih menghampiri meja alat, sembari mengenakan jasnya. Daripada nanti berebutan, lebih baik dia mengambil alat-alatnya terlebih dahulu. Bisa kacau kalau tubuhnya yang pendek harus tergencet sana sinidan saling sikut dengan teman-temannya yang lebih tinggi, akan ada 1 atau 2 alat praktikum yang pecah kalau itu sampai terjadi. “Aksa sama Fiona di meja 7!” Sayup-sayup suara Adin terdengar menyebutkan nama kelompok praktik kali ini. Dengan cepat Fiona meraih baki berisi alatnya dan segera menghampiri mejanya, di mana Aksa sudah duluan meletakkan alat praktikum miliknya di sana. Ia tersenyum lebar, merasa mendapatkan jackpot besar mengingat Aksa dijuluki si jenius dari teman seangkatan mereka. “Alhamdulillah sekelompok sama yang jenius.” Fiona meletakkan bakinya, dan melirik jam tangannya. “Tapi bukannya nanggung banget ya praktik hari ini? Udah mau pulang loh.” Aksa menaikkan bahunya tak tau menahu. “Paling dijadiin pr tugas kelompok nanti,” ujarnya mulai menyusun peralatan ke atas meja. “Lagian percobaan tekanan udara ini, ya gampanglah.” “Guru Fisika kita bukan Bu Eyi lagi loh Sa. Bikin laporannya nggak akan semudah sama dia.” Fiona mencoba mengingat perkataan salah satu kakak kelasnya mengenai guru fisika mereka sekarang ini. “Bu Yaya kalau minta bikin laporan udah 11-12 sama skripsi katanya.” “Sok tau.” Aksa tersenyum penuh meledek. Tidak terlihat sekali panik akan fakta barusan. Mungkin karena sesusah apapun permintaan dari guru-guru ia tetap bisa mengerjakannya sesuai arahan. “Semoga aja sama kita nggak kayak gitu.” Fiona hanya menganggukan kepalanya setuju. Diam-diam ia juga berharap akan hal itu. “Aamiin deh.” *** “Gila, mesti dikumpulin besok? Gue ngerjainnya kapan anjir.” Davina menyandarkan kepalanya ke dinding lorong kelas 10. Tak menghiraukan tatapan adik kelasnya yang melirik kearahnya yang terlihat akan menceburkan diri ke danau sebentar lagi. Kalau saja teman sekelompok Davina bukan Raka, ia pasti tidak akan sefrustasi ini. “Emang Raka gak bisa ngerjain sekarang?” Yola ikut bersender ke dinding, menunggu Rizky yang sedang mengeluarkan motornya. “Hari ini kan anak sepakbola nggak ngumpul, Rizky aja ntar malem ngerjain tugas dirumah Dena.” “Doi lo tuh beda sama Raka, Yol. Masih agak mendingan. Tadi gue ajakin tapi katanya nggak bisa, udah ada janji sama temennya.” Davina semakin memegang kepalanya yang mumet akan tugas. “Mana disuruh pake kata pengantar, kutipan jurnal internasional dan nasional, lalu pembanding dengan penelitian sebelumnya. Belum lagi sama yang lain-lain, udah kayak mahasiswa bikin skripsi tau nggak!” “Bikin di rumah gue aja, kalau selesainya malam nginep aja.” usul Dena memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Yang lain mau ikutan sama kelompoknya juga nggak papa, biar bisa saling bantu.” “Gue sih sama Zahra, oke-oke aja kita mah sekelompok.” Wilsa merangkul Zahra, yang langsung ditepis cewek itu. “Lo Fi? Ikut juga nggak sama Aksa?” Fiona menggeleng pelan. “Enggak deh kayaknya, gue nggak tau dia mau ngerjain bareng atau enggak. Dia mau jemput adeknya dulu, makanya gue masih nunggu disini.” Seolah teringat sesuatu Aurel menjentikkan tangannya tiba-tiba. “Bukannya hari ini lo juga ngirim desain ke panitia penerimaan ya?” Fiona mengangguk lesu. “Tinggal rapihin doang sih, tapi gue nggak tau mau desain yang mana dikirimnya,"jawabnya sudah kelelahan duluan membayangkan ia akan begadang malam ini. “Itu Rizky, gue duluan ya,”pamit Yola setelah melihat motor sang kekasih akhirnya keluar dari parkiran. “Nanti di grup bilang aja jam berapa mau ngerjain, biar gue bilangin Juan juga.” Dena mengacungkan jempolnya kearah Yola yang mulai menjauh. “Ayo, kita pulang juga. Udah mau sore,” ajaknya kearah Aurel yang sigap mengeluarkan kunci mobilnya. “Duluan ya Fi.” Lambaian tangan Fiona arahkan kepada kelima temannya yang mulai berjalan menjauh. Ia melihat ke sekelilingnya dan langsung menemukan Aksa yang baru saja turun dari anak tangga, bersama adiknya Tari. Cowok itu menyerahkan kunci mobilnya ke arah Tari sebelum berhenti di dekatnya. “Ngerjainnya habis maghrib bisa nggak ya Fi? Gue mau jemput adek gue satu lagi di SD.” Aksa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa tidak enak sudah membuat Fiona menunggunya seperti ini.“Nggak papa deh gue yang kerumah lo, ntar lo chat aja alamatnya. Nomornya yang digrup kelas ya.” “Oh yaudah.” Fiona melirik ke gerbang dan melihat Nuga sudah menunggunya disana. “Balik duluan ya gue, nanti gue chat. Dah.” Aksa mengangguk ikut melambaikan tangannya sebelum Fiona mulai beranjak pergi. *** “Siapa ya?” Senyum ramah Aksa berikan pada orang yang ia yakini Ibu Fiona di depannya ini. “Permisi Bu, saya Aksa. Temannya Fiona, mau ngerjain tugas bareng.” “Oh Nak Aksa toh, ayo masuk Fionanya di depan TV” Paras, ibu Fiona segera mengajak Aksa masuk ke dalam rumah. “Kamu udah makan? Kebetulan tante lagi nyiapin makan malam nih.” “Nggak usah tante,” tolak Aksa halus, tak ingin merepotkan kehadirannya malam-malam seperti ini. “Saya udah makan dirumah.” Paras mengangguk paham. “Dek ini ada temen kamu!" sahutnya memanggil si bungsu yang tak menyadari keberadaan temannya yang ia bilang akan datang untuk kerja kelompok. Fokus Fiona yang tertuju pada laptopnya pecah, lantas langsung menoleh. “Eh Sa, udah dateng. Sini," ujarnya memberi kode agar Aksa mendekat. Menunjuk sofa-sofa kosong ya ada di sekitarnya. Suasana ruang tengah sedikit berantakan dengan berbagai kertas berserakan di mana-mana. "Duduk di atas aja, jangan di bawah." Kalimat Fiona barusan Aksa abaikan, tetap memilih duduk di atas karpet seperti apa yang temannya lakukan. Aksa meletakkan tasnya di dekat Fiona. Ia sedikit kaget melihat apa yang sedang dikerjakan Fiona. Sebuah desain baju, yang sudah setengah jadi. “Maaf ya, malem ini pengumpulan desain terakhir. Jadi gue harus buat desain final hari ini,” jelas Fiona seolah bisa membaca pikiran Aksa. Ia meletakkan tablet gambarnya di atas meja. Terlihat sedikit panik. “Nggak masalah kok.” Aksa mengeluarkan laptopnya. “Karena lo harus sambilan ngerjainnya, lo aja yang bikin kata pengantarnya biar gue nyari materi di internet.” “Thanks ya Sa.” Aksa tak menjawab, mulai fokus pada tugasnya. Untuk pertama kalinya setelah hampir 3 tahun mengenal, Fiona baru tau Aksa bisa seloyal ini. Padahal biasanya murid pintar itu pelit nilai, dan enggan membantu lebih dari tugasnya. Tidak seingatnya, Aksa memang selalu memastikan orang yang satu kelompok dengannya mengerjakan apa yang sudah menjadi bagiannya. Tidak peduli apapun yang terjadi. Fakta bahwa Aksa membiarkan Fiona mengambil tugas yang gampang, jelas sebuah hal langka. Akan selalu ada pengecualian untuk segala sesuatu bukan? *** Adin Prananti: Woy tadi gue di SMS Bu Yaya, katanya latar belakang minimal 3 halaman. Aksa mendengus kesal, membaca sederet pesan yang baru saja masuk dari grup kelasnya. Ia jadi kesal sendiri, bikin laporan praktikum ribetnya minta ampun. Untuk apa pula latar belakang sebanyak itu, yang penting kan hasil penelitian dan landasan teori. Benar kata Fiona, guru fisika mereka kali ini ribetnya bukan main. “Bisa copas di internet aja nggak?” tanya Fiona yang sudah membaca pesan tadi, sudah capek. Sampai pasrah untuk mencopas asal saja semua yang ada di internet tanpa harus melakukan parafrasa kalimat. “Kita aja belum selesai bikin penuturan prakteknya.” Teman sekelasnya tersebut juga tak kalah frustasi, ini sudah sekitar jam setengah 10 malam. Bisa-bisa tugas mereka selesai tengah malam nanti, kenapa sih mesti dikumpulin besok. “Coba deh lo cariin, biar gue lanjutin yang ini dulu.” Nuga yang sedaritadi memperhatikan mereka ikut angkat suara. “Bu Yaya ya? Jangan tanya itu guru kalau ngasih tugas nggak nanggung-nanggung,” gumamnya yang memang alumni dari sekolah mereka juga. Pemuda yang duduk di bangku kuliah itu kini mengalihkan pandang pada sang adik. “Teman lo ajak nginep disini aja, lagian udah malam. Lagi rawan begal juga sekarang.” “Nggak usah Kak, saya juga nggak bawa seragam buat besok. Lagian ngerepotin juga," tolak Aksa enggan merepotkan keluarga Fiona. Kekhawatiran Aksa tersebut, nampaknya tidak sejalan dengan apa yang ada di kepala Nuga saat ini.“Pake seragam lama gue aja sementara, di elo masih muat harusnya,”balas Nuga santai. “Nggak usah pake saya-sayaan deh, berasa lagi ngomong sama dosen.” “Boleh Fi?”Aksa melirik Fiona yang masih melakukan pencarian jurnal penelitian tambahan sembari mewarnai desainnya yang sudah hampir selesai. Fiona mengangguk kecil “Kalau Abang gue udah ngomong kayak gitu, ya gue setuju aja," ujarnya santai, mengingat sang kakak adalah pemegang keputusan tertinggi ketika sang ayah tidak ada di rumah. Iya, lantas tersenyum meledek. “Kan dia satpam disini.” Tepat setelah itu sang puan mengaduh, memegangi puncak kepalanya yang baru saja mendapatkan jitakan keras. “Kurang ajar lo! Gue bilangin Bunda entar,” kesal Nuga setelah melayangkan satu jitakan ke kepala Fiona. “Bilang keluarga lo dulu aja.” Perintah Nuga yang disampaikan dengan nada otorite, membuat Aksa hanya bisa mengangguk sembari menahan senyum. Lucu saja melihat interaksi antara Fiona dan kakaknya yang bagaikan anjing dan kucing. Ia mengirim pesan pada orang tuanya dan Tari agar ia berangkat sendiri besok. Fiona sendiri mengambil alih laptop Aksa dan mulai memindahkan hasil pekerjaannya, agar bisa digabungkan dengan milik laki-laki tersebut. “Bang bantuin apa! Desain gue lanjutin warnainya dulu bentar. Udah mepet waktunya.” Fiona nampaknya sudah kewalahan, sebab dia kini menatap kakaknya galak, memaksa Nuga turun tangan membantu. Dengan ogah-ogahan, Nuga meraih pen tablet diatas meja dan mulai mengerjakan. “Yang lagi lo warnain aja ya.” “Udah biar gue aja.” Aksa mencoba mengambil alih laptop di tangan Fiona yang langsung ditepis oleh sang puan. Ia mengerjap, menatap Fiona yang bersikeras menyelesaikan tugas mereka. "Punya lo lebih penting Fi." “Ini kan tugas berdua, nggak mungkin gue cuman bikin kata pengantar doang," gumam Fiona tenang. "Udah lo ngemil aja dulu, biar gue kerjain. Nanti baru kita gantian." Walau mengenal Fiona selama hampir 3 tahun, tapi ia tidak pernah menyangka gadis itu cukup profesional dalam mengerjakan tugas. Dirinya jarang sekali satu kelompok dengan gadis tersebut. Meski dirinya sering memaksa rekan sekelompoknya mengerjakan bagian mereka, tetap saja Aksa berakhir menyempurnakan tugas tersebut. Mengingat karena dirinya yang dianggap pintar, membuat orang-orang terkesan bergantung padanya atas tugas kelompok. Seolah tau bahwa Aksa tidak mungkin mengumpulkan tugas yang pengerjaannya tidak bagus. Siapa sangka, gadis yang ia kenal sebagai cewek jutek dan tukang ‘galau’ bisa lebih dewasa dibanding temannya yang lain..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN