***
Mansion Easton…
Di sebuah kediaman mewah dan megah, seorang pria paruh baya duduk sambil menyandarkan punggung pada sandaran sofa ruang keluarga, dengan sikap santai, satu kaki bertumpu di atas yang lain, menunjukkan kesan elegan dan berkelas.
Di sampingnya, hadir seorang wanita yang merupakan istrinya bernama Elif, menambah kesan kemewahan suasana. Sementara di depannya, seorang pria dewasa duduk berseberangan dengan tatapan serius, menciptakan ketegangan yang terasa di udara.
"Dad mendapat kabar bahwa selama kamu berada di luar kota, kamu bersama dengan seorang wanita. Siapa wanita itu?" Tanya pria paruh baya yang bernama Zion Easton, yang sering disapa Tuan Zion, dengan ekspresi serius dan penuh pertanyaan.
Pria dewasa di depan Zion terlihat menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang ayah, "Dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang teman biasa," dengan suara yang tenang namun penuh pertimbangan.
Sebelumnya, Zion menatap pria tersebut dengan tajam dan serius. "Benarkah? Kalian hanya teman biasa, namun menginap di hotel yang sama?" Tanya Zion dengan nada tajam, mencerminkan kecurigaan yang tak tersembunyi.
"Hanya sekadar bersenang-senang, Dad. Pekerjaanku menumpuk dan aku butuh... hiburan," jawab pria itu dengan nada lembut namun tegas, mencoba menjelaskan situasinya.
Zion menghela napas dalam-dalam, tatapannya kini memancarkan ketegasan. “Dad harap kau tidak lupa dengan siapa kau menjalin hubungan, Fernan,” kata Zion sebelum melanjutkan, “Helena berasal dari keluarga yang tak biasa. Kau tahu betul seperti apa lingkungan yang mengelilingi gadis itu. Jangan biarkan Dad merasa malu dengan tindakanmu, apalagi sampai mengganggu hubungan baik antara Dad dan keluarga Helena!" Tegas Zion, kali ini ia menegakkan tubuhnya dari sandaran sofa dengan sikap yang menunjukkan keseriusan.
Fernan tetap diam, sementara Elif di samping Zion melemparkan pandangan tajam pada putranya dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
“Kalau sampai kamu berbuat ulah, kamu tidak hanya merusak hubungan baik ku dengan Roberto, tetapi kamu akan menghancurkan semuanya! Ingat, perusahaan kita dengan Roberto sudah menjalin kerja sama selama bertahun-tahun, bahkan sebelum kamu dilahirkan ke dunia ini! Jadi, Dad peringatkan sekali lagi … jangan coba-coba menghancurkan semuanya atau … kau akan menanggung akibatnya!” Desis Zion Easton di akhir kalimat menggema di ruangan itu, menegaskan ancaman yang tak main-main kepada sang putra. Fernan terpaku menatap sang Ayah dengan serius.
Zion mendesah kasar sebelum akhirnya berdiri dari duduknya. Sang istri ikut berdiri, mencoba menahan lengan kekar Zion sebelum ia berlalu pergi.
“Sayang…” sang istri terdiam, terputus oleh Zion yang memotong cepat.
“Urusi putramu dan beri dia pemahaman. Itu adalah tugasmu sebagai Ibunya! Kerjakan dengan baik! Kau tahu, kan, aku tidak suka dengan wanita yang tidak becus!” Tegas Zion membuat sang istri langsung melonggarkan cekalan di tangannya, terpaku oleh kejelasan dan ketegasan perkataan suaminya.
Setelah itu, Zion meninggalkan ruang keluarga dan melangkah menuju mobilnya yang terparkir di teras depan. Sementara itu, Elif menatap sang putra dengan penuh perasaan setelah bayangan punggung sang suami menghilang dari pandangannya, memperlihatkan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kekhawatiran.
“Sudah berapa kali Mom mengingatkan, jangan menciptakan masalah dengan Daddymu, sayang!” Amuk Elif pada sang putra.
Fernan menatap Ibunya, kemudian menghela napas dan beralih pandang ke arah lain. Setelah memandang wanita paruh baya itu, ia bertanya, "Mom, apakah Mom juga menyalahkanku?"
“Mom tidak bermaksud menyalahkanmu, sayang. Tapi apa yang diungkapkan oleh Ayahmu benar. Mengapa kamu malah bermain-main di belakang Helena? Apa yang kurang pada gadis itu? Dia cantik, menarik, dan memiliki segalanya,” ucap Elif dengan nada marah.
“Kekurangan Helena adalah pemikirannya yang konservatif, Mom. Aku, seorang pria dewasa, bukan lagi seorang remaja. Aku lelah bekerja dan butuh hiburan, tetapi Helena tidak mau memberikan yang aku inginkan,” Fernan memberikan penjelasan sambil mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan, “Selain itu, setelah menikah dengannya, aku akan berfokus padanya. Mengapa semua ini jadi begitu berlebihan?”
“Sayang, segala sesuatunya tidak semudah yang kamu pikirkan. Bayangkan jika Helena mengetahui tentang apa yang kamu lakukan di belakangnya selama ini. Apakah kamu yakin dia tidak akan marah? Kemungkinan terburuknya, dia akan meninggalkanmu, sayang!” Suara wanita paruh baya itu terdengar penuh kekecewaan dan frustasi akibat perilaku sang putra.
Fernan terdiam, menatap Ibunya dengan ekspresi nelangsa. Dia menyadari bahwa sejujurnya, dia juga merasa takut jika Helena mengetahui apa yang dilakukannya di belakangnya, dan kemungkinan gadis tersebut akan marah dan meninggalkannya.
Tidak, Fernan tidak ingin hal buruk itu terjadi.
“Baiklah, aku akan memastikan Helena tidak akan mengetahui tentang hal ini,” ujar Fernan dengan suara mantap.
“Dan kamu pikir semua akan selesai begitu saja?” tegur sang Ibu dengan wajah jengah. “Seperti yang dikatakan Daddy mu, kamu seharusnya sadar akan siapa mereka, Fernan, agar kamu tidak membuat kesalahan seperti ini lagi!”
Elif mendesah kasar, menghela napas sesak berulang kali sambil menatap ke sekeliling sebelum akhirnya memfokuskan pandangannya pada putranya.
“Sudah berapa kali Mom mengingatkan tentang hal ini padamu? Daddy-mu bukanlah tipe pria yang mudah ditaklukkan, Fernan. Bukti nyata adalah bahwa sampai saat ini dia masih enggan untuk menyerahkan perusahaan kepadamu, meskipun dia seolah-olah tidak peduli dengan putranya sendiri!”
Fernan tetap diam, menerima dengan pasrah amarah dari Ibunya.
“Andai kamu tidak berhasil mendapatkan posisi sebagai pewaris Easton, setidaknya kamu sudah menjadi bagian dari Roberto! Kamu akan menjadi pemimpin utama di perusahaan mereka di Italia,” amukan Elif terus berlanjut.
Fernan kemudian mendesah kasar, kemudian menegakkan tubuhnya dan berdiri dari duduknya. Sebelum pergi meninggalkan Ibunya, Fernan berkata, “Aku akan menyelesaikannya. Tenanglah, Mom. Aku akan pergi sekarang untuk bertemu dengan Helena.” Setelah itu, tanpa menunggu respon dari sang Ibu, ia melangkah pergi dengan langkah mantap.
Elif kemudian mendesah kasar sambil menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Kini, ia benar-benar merasa frustasi. Zion marah padanya sejak semalam setelah mengetahui bahwa Fernan berada di luar kota.
Elif juga khawatir bahwa Zion semakin tidak akan mau mempercayakan harta kekayaannya kepada Fernan, anak tirinya. Elif menikah dengan Zion saat Fernan berusia 10 tahun, yang berarti Fernan bukanlah anak kandung Zion, melainkan anak Elif dari pernikahan sebelumnya.
Elif bercerai dari suaminya saat Fernan berusia 2 tahun. Pada suatu waktu, Elif mulai bekerja di perusahaan Easton Corporation sebagai sekretaris Zion. Dan dari situlah hubungannya dengan Zion dimulai.
Sementara itu, Zion adalah seorang pria yang sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Usianya dua tahun lebih tua dari Fernan. Zion terlibat skandal dengan Elif, sang sekretaris, yang akhirnya merusak hubungan rumah tangganya dengan mantan istrinya dan putra kandungnya.
•••
Setelah absen beberapa hari dari pekerjaan, hari ini Helena kembali aktif di cafe miliknya seperti biasa. Tubuhnya sudah pulih sepenuhnya sehingga Ibunya tidak memiliki alasan lagi untuk menahannya di Mansion.
Di ruang kerjanya, Helena terlihat penuh semangat saat menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang menumpuk selama hampir seminggu absen dari pekerjaan.
Tapi tidak masalah bagi Helena, karena dia akan menyelesaikannya dengan senang hati karena pekerjaan ini sangat dicintainya.
Helena memutuskan untuk berbisnis sendiri dengan membangun sebuah cafe dari penghasilan yang dia kumpulkan selama bekerja di perusahaan milik Ayahnya. Setelah semua modal terkumpul, Helena akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan Ayahnya, yang pada akhirnya membuat sang Ayah marah.
Karena pria paruh baya itu sangat mengharapkannya, dia diminta untuk membantu sang kakak dalam mengurus perusahaan. Perusahaan keluarga mereka tidak hanya beroperasi di Wellington, tetapi juga di Italia, negara asal Riccard Roberto.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan fokus Helena dari pekerjaannya. Dia menarik pandangannya dari layar laptop yang terang dan beralih menatap ke arah pintu sebelum akhirnya memberi izin, "Silakan masuk!" Perintahnya tegas kepada seseorang yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya.
Ceklek!
Pintu terbuka lebar, menampilkan sosok seorang pria yang berdiri sambil tersenyum pada Helena.
Helena pun ikut tersenyum melihat kekasihnya. Ternyata, pria itu lah yang mengetuk pintu ruang kerjanya tadi. Fernan.
“Fer...” Helena memundurkan kursi tempat duduknya sebelum berdiri.
Fernan melangkah masuk, menutup pintu dengan rapat, dan mendekati meja kerja Helena yang terletak di tengah-tengah ruangan luas dan elegan.
Dengan penuh kelembutan, Fernan mencium bibir Helena sebelum berhenti. Dia menatap sang kekasih dengan penuh cinta. "Aku sangat merindukanmu," ucap Fernan sambil membelai lembut garis wajah Helena.
Helena tersenyum dan meraih tangan besar Fernan yang ada di wajahnya, menggenggamnya hangat. “Ayo, kita duduk di sana,” ajak Helena sambil menunjuk sofa yang tersedia di ruang kerjanya dengan dagu.
Saat hendak melangkah, tiba-tiba Fernan menahan lengan Helena, membuat sang gadis menatapnya dengan rasa penasaran. “Kamu tidak membalas, mengapa? Apakah kau tidak merindukanku?” Tanya Fernan dengan suara agak kecewa.
Helena terkekeh pelan. “Jadi aku harus mengungkapkannya? Aku pikir sikap antusiasku saat menyambutmu sudah cukup membuktikan bahwa aku juga merindukanmu,” ucapnya sambil menatap serius Fernan.
Fernan mengangguk pelan sebelum menjawab, “Aku sangat mencintaimu, mungkin alasan mengapa aku agak berlebihan seperti ini. Maaf,” katanya sambil menatap tulus mata Helena. Namun, perilakunya di belakang Helena tak sejalan dengan ucapannya.
Sejenak, Helena terpaku menatap serius pada Fernan. 'Apakah mungkin dia benar-benar berselingkuh? Namun, aku bisa melihat cinta yang sangat besar di kedua matanya untukku,' batin Helena.
“Aku juga merindukanmu,” ucap Helena sebelum menuntun Fernan menuju sofa di ruangan itu.
Kini, mereka duduk berdampingan, dengan Fernan menggenggam erat tangan kanan Helena di atas pahanya.
“Aku kira kamu belum pulang,” Helena membuka percakapan di antara mereka.
Sambil terus memandangi wajah cantik Helena, Fernan pun menjawab, “Aku sengaja tidak memberitahumu karena aku berniat datang kemari dan memberikan kejutan padamu.”
Helena tertawa pelan. “Dan kamu berhasil, Tuan Fernan. Aku terkejut melihatmu tadi. Terima kasih.”
Fernan membalas senyum Helena dengan senyum yang tak kalah lebar, sebelum mendekatkan wajahnya dan dengan lembut meraih tengkuk Helena. Fernan menyatukan bibirnya dengan bibir kenyal Helena.
Sejenak, mereka berciuman mesra, pelan, dan menikmatinya. Namun, ketika salah satu tangan Fernan mulai menjelajahi sekitar pinggang ramping Helena dan berniat naik ke d**a, Helena menahan pergelangan tangan pria itu dan menyudahi ciuman mereka.
“Hanya berciuman. Jangan melewati batas, aku tidak suka,” ujar Helena secara terang-terangan.
Fernan tampak keberatan atas penolakan Helena. “Apa yang salah, honey? Kau adalah kekasihku dan sebentar lagi kita akan menikah. Aku juga mencintaimu, dan aku tahu bahwa kau juga mencintaiku.”
“Aku tahu, tapi aku tidak mau melakukannya lebih dari sekadar berciuman sebelum kita menikah,” tegas Helena dengan penuh keyakinan.
“Bukankah sama saja, sekarang atau nanti ujung-ujungnya kita juga akan melakukannya, bukan?” Fernan menjeda sejenak dan menatap agak kesal pada Helena. “Sebenarnya, apakah kamu benar-benar mencintaiku atau tidak, hm? Mengapa selalu menolakku?”
Kali ini, Helena tidak menerima keraguan yang diutarakan oleh Fernan. "Apakah kamu mengira aku wanita bodoh sehingga akan membuang-buang waktu menjalin hubungan denganmu tanpa benar-benar mencintaimu?"
Fernan tertegun, wajahnya menampakkan kepanikan yang mendalam atas ucapan Helena. Ia mencoba meraih tangan sang kekasih, namun ditolak dengan tegas.
"Seharusnya bukan kamu yang bertanya seperti itu, melainkan aku. Apakah selama ini kamu mencintaiku karena nafsu, bukan karena ketulusan?"
Deg!
Terdengar suara keras ketika pertanyaan tersebut terucap, mencerminkan ketegangan di antara keduanya.
"Yang selalu kamu pikirkan saat kita bersama hanya hal-hal yang erotis. Kamu tidak pernah membahas tentang visi dan misi kita di masa depan, tidak pernah membahas bagaimana kehidupan kita setelah menikah, dan bahkan tidak pernah membahas bagaimana kita akan membangun rumah tangga. Semuanya hanya soal pikiran kotormu!" ujar Helena dengan tegas, wajahnya benar-benar marah.
Helena langsung berdiri dari duduknya, diikuti dengan cepat oleh Fernan. "Sayang, bukan itu maksudku. Kamu salah paham," rayu Fernan.
"Aku tidak ingin melanjutkan perdebatan ini. Sebaiknya kamu tinggalkan aku sendiri," ujar Helena sambil menghindar saat Fernan hendak meraih tangannya.
“Helena…” Fernan tak dapat melanjutkan karena Helena memotongnya dengan cepat.
“Tinggalkan aku sendiri!” Dengan tatapan tajam, Helena menatap Fernan.
Fernan mengangguk pelan. “Baiklah. Setelah perasaanmu tenang, aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya sebelum meninggalkan ruang kerja Helena.
***