"Lo jadi ke Paris?," tanya Mila, masuk ke dalam kamar Indah.
"Jadi dong, gue udah telfon Bima tadi malam," Indah tersenyum menatap Mila, ia tidak menutupi rasa bahagianya akan liburan ke Paris.
"Gue bilang apa, si Bima berubah pasti pikiran. Dibilangin enggak percaya, lo sih belum apa-apa udah emosian," ucap Mila, membaringkan tubuhnya di samping Indah.
"Habisnya dia nyebelin tau,"
"Kapan lo berangkat?,"
"Senin,"
"Senin depan maksud lo?,"
"Iya,"
"Jangan lupa oleh-oleh coklat buat gue ya," ucap Mila.
"Beres,"
Mila merubah posisi tidurnya memandang Indah, "Ini pertama kalinya kan, lo keluar negri berdua sama cowok bukan siapa-siapa lo,"
"Iya, emang kenapa?,"
"Kayak kakak gue aja lo, bulan kemarin habis nikahan langsung ke Paris bulan madu,"
Indah lalu tertawa, "Apaan sih,"
"Kayak mau pergi bulan madu aja lo sama Bima," timpal Mila.
"Liburan doang masa' disamain sama bulan madu, ngaco lo,"
"Oiya gimana tadi malam lo sama Niko," ucap Indah mengalihkan topik pembicaraan. Masalahnya jika diterusin percakapan itu nyerempet kemana-mana. Tau sendiri Mila itu kayak apa,
"Biasa aja sih, enggak gimana-gimana. Dia tanya gue mau kuliah di mana? Basa basi doang kayaknya," ucap Mila mulai menceritakan.
"Gue sih daftar di UI dulu, kalau enggak lolos ya kayaknya ke luar deh,"
"Terus Niko mau lanjut dimana?," tanya Indah.
"Katanya sih Sydney, dan lo kuliah enggak sih?,"
Indah mengedikkan bahu, "Liburan dulu deh, baru aku mikir kuliah,"
"Lo pinter, ngapa enggak kedokteran aja sih,"
"Enggak ah, ngeri gue liat darah. Gue masih bingung, liat entar deh,"
"Terserah lo aja sih,"
Mila memicingkan mata menatap Indah, "Oiya, gue masih kepo deh sama yang namanya Bima. Mana sih orangnya,"
Indah lalu mengambil ponsel di dekat bantal, ia mencari kontak Bima. Ia akan memperlihatkan foto di layar ponsel itu kepada Mila.
"Ini dia yang namanya Bima,"
Mila menatap laki-laki sedang duduk di meja kerja, foto itu di ambil secara selfie oleh sang pemilik ponsel. Ia tidak menyangka bahwa wajah Bima setampan ini. Ia pikir Bima itu aki-laki berkumis dan bertubuh gemuk. Lihatlah dia begitu tampan, pantesan Indah ngebet banget mau liburan Bima. Secara Bima modelnya kayak gini, ini mah si Indahnya aja yang mau, dengan alasan enggak mau bawa bi Narsih dan mang Diman. Ia tau akal busuk si Indah kayak apa. Dasar nih orang cabe-cabean.
"Gila keren banget In?,"
"Gue bilang juga apa, Bima itu enggak kayak om om dipikiran lo,"
"Ini sih lo yang kecentilan mau jalan sama nih cowok," timpal Mila.
Indah lalu tertawa, "Tau enggak sih lo, Bima itu mirip Nicholas Saputra,"
"Iya, mirip sih sekilas. Gue juga mau kali liburan sama Bima, kalau modelnya kayak gini,"
"Beh, kemarin aja lo negatif mulu sama nih cowok,"
"Habisnya ketuaan buat lo,"
"Tapi keren tau,"
Suara ketokan pintu terdengar, Mila dan Indah menoleh ke arah pintu. Ternyata yang mengetok itu adalah bi Narsih,
"Iya bi,"
"Di suruh sarapan neng sama papa," ucap bi Narsih.
Indah melirik Mila, "Sarapan yuk,"
"Ya, ampun gue lupa In," Mila menepuk jidatnya.
"Lupa kenapa?,"
"Tadi gue ke sini mau ngajak lo joging, eh malah gosip sama lo,"
Indah menegakkan punggungnya, "Udah kesiangan kali mau joging, udah yuk sarapan dulu,"
"Enggak enak gue, numpang makan di sini mulu," ucap Mila lalu berdiri.
"Biasa aja lagi, tiap hari lo juga gini," Indah berjalan menuju pintu utama dan Mila menyeimbangi langkah Indah.
"Habis sarapan kita joging ya,"
"Enggak ah panas, nanti kulit gue item,"
"Item itu keren kali, exotis,"
"Yaudah lo aja yang exotis, gue enggak,"
"Bule bule suka loh sama cewek yang exotis,"
"Gue enggak doyan bule," timpal Indah.
"Jadi lo doyan model kayak Bima,"
"Ya, iyalah,"
"Dasar kecentilan," dengus Mila.
***
Setelah puas berenang Bima dan Mimin akhirnya memilih beristirahag sejenak, sebelum pergi ke Monkey Forest. Bima duduk di balkon sambil menunggu Mimin mengenakan pakaian. Ah, ia tidak tahu kenapa ia malah menikmati liburan itu bersama wanita baru di kenalnya. Wanita itu sungguh menarik, bukan karena dia pandai bermain musik atau dia pandai bercerita hingga membuatnya betah ngobrol hingga larut malam seperti sahabatnya Gista.
Tapi ini adalah Mimin, wanita itu bertingkah lepas tidak ada lagi citra dimatanya. Terkadang tingkah yang ia lakukan sepontan lucu dan tidak tahu malu. Tidak ada lagi namanya jaim, dia benar-benar menjadi dirinya sendiri tanpa perlu menjadi orang lain.
Gestur sederhana yang dia perlihatkan, membuat dia betul-betul peduli soal penampilan. Saat menggulung rambut ke atas, dia terlihat begitu menarik.
"Hei, ngelamun aja," ucap Mimin lalu duduk di samping Bima.
Bima tersenyum menatap Mimin, ia juga tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Ia memperhatikan penampilan Mimin, wanita itu mengenakan dress berwarna kuning berbahan lembut. Rambut panjangng di gulung ke atas sehingga menampakan leher jenjangnya.
"Aku boleh bertanya?," ucap Bima, ia menatap Mimin.
"Boleh dong, mau tanya apa," ucap Mimin.
"Kanapa dulu kamu pakek behel ijo?," tanya Bima penasaran.
"Waktu itu aku perawatan gigi aja, soalnya gigi aku dulu enggak rata. Sekarang udah aku lepas lah udah rapi gini, sekalian bleaching juga waktu itu," ucap Mimin menyandarkan punggungnya di kursi.
"Owh gitu," ucap Bima, memandang iris mata Mimin.
"Aneh ya aku pekek behel waktu itu,"
"Iya,"
"Pasti jelek ya,"
"Iya,"
"Ih kamu jujur banget sih," dengus Mimin.
Bima menahan tawa, ia merangkul bahu Mimin, menatap wajah cantik itu,
"Orang yang jujur itu mendapatkan tiga hal, yaitu kepercayaan, cinta dan rasa hormat,"
Mimin yang mendengar itu lalu menoleh ke arah Bima. Jantungnya seketika berdesir.
"Kamu mau mendengarkanku bercerita," ia hanya ingin Mimin tahu apa yang ada di dalam pikirannya.
"Hanya cerita singkat, tentang seorang laki-laki mengenang cinta,"
Mimin lalu terdiam, suasana seketika menjadi sunyi, iris mata itu begitu dalam. Mimin lalu mengangguk dan mendengarkan apa yang akan di ceritkan Bima kepadanya.
"Ada sebuah cinta di ujung cerita,"
"Waktu itu ku tulis sebuah surat untuk mengenangnya,"
"Hanya berisikan tentang cinta sederhana,"
"Tapi aku malah tidak bisa menulis apa-apa,"
"Entahlah, mungkin waktu itu aku sedang cepek, kerena terlalu lelah,"
"Lelah memikirkan dia yang tiada,"
"Aku akhirnya tahu bahwa cinta tak pernah salah,"
"Aku tidak mungkin menitikan air mata, jika tidak mencintainya,"
"Waktu terus berlalu, dulu di kejar waktu, kini menunggu waktu,"
"Wajah-wajah baru menghampiriku, memulai hidup baru,"
"Hari haru menjadi biru,"
"Rasanya begitu menyiksa, kata-kataku lalu berubah menjadi lebih puitis dari biasanya,"
"Wanitaku, mengakatakan cinta,"
"Tertawa dan bercengkrama, hanya kita yang tahu,"
"Bercerita tentang tujuan hidup dan kehidupan,"
"Wanitaku, membelaiku lalu berlalu lebih mesra,"
"Sayangku, sejujurnya aku ingin mati disisimu,"
"Mendekap lebih dekat dan cinta,"
Bima menahan nafas, menatap wajah cantik Mimin, ia memebelai wajah itu. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap wanita ini. Karena dia mengingatkan kekasihnya dulu.
"Suatu malam aku melihat lampu taman dan bersama angin malam,"
"Aku mengadu ingin bertemu,"
"Aku temui dia mirip denganmu,"
"Maaf, tadi malam aku sudah mendustaimu,"
"Karena aku telah b******u mesra dengan bukan wanitaku,"
Mimin tidak tahu air matanya kini jatuh dengan sendirinya. Ia menepis air mata itu. Kata-kata itu begitu dalam dan sarat makna. Sejujurnya ia tidak terlalu tahu tentang sastra, dan ia tidak terlalu mendalaminya.
Cinta memang tidak pernah salah, sering kali menjadi lirih. Ya, begitulah cinta seolah memiliki kehidupan sendiri tanpa mengerti sebabnya. Kepingan-kepingan hidup, terangkum menjadi dalam kata cinta.
Ah sudahlah, ini kehidupan ada jumpa pasti ada pisah. Adakalanya badai menghampiri, dan cinta juga selalu di uji. Karena ia tahu hahwa cinta adalah sebuah keajaiban.
"Terima kasih sudah mendengarkanku,"
Mimin tidak berkata-kata lalu berdiri, ia melangkah masuk ke dalam kamar, mengambil tisu di meja. Ia usap air matanya dengan tisu, kata-kata itu membuat hatinya sesak. Kenapa ia bisa sesedih ini, padahal ia sama sekali tidak mengerti apa yang di ucapkan Bima.
Bima melangkah mendekati Mimin, wanita itu memandangnya dari cermin. Bima lalu memeluk tubuh ramping wanita dari belakang. Tidak lupa di berinya kecupan di puncak kepala itu.
"Maaf, aku hanya bercerita,"
"Aku tidak tahu ceritaku, malah membuatmu sesedih ini,"
"Tepis air matamu, jangan menangis lagi,"
"Aku begini, mungkin aku butuh teman bicara,"
"Sahabatku yang dulu kini tidak lagi sama,"
"Terlalu banyak kisah yang aku lalui, lebih banyak diam dan bersembunyi,"
"Mungkin aku terlalu bosan dan lalu lepas kendali,"
"Aku hanya sekedar bercerita,"
Mimin kembali menepis air mata. Oh Tuhan kenapa bisa Bima seperti ini. Mimin memutar tubuh memandang wajah tampan itu. Ia memeluk tubuh Bima dengan segenap perasaanya. Otaknya seketika buntu tidak tahu berbuat apa selain menangis dipelukkan itu.
"Aku berbicara kepadamu tentang cinta dan ketulusan,"
****