Bima mendengar suara ponsel terdengar dari balik saku celana. Ia menatap ke arah layar persegi itu, dan ia lalu menyungging senyum. Ternyata Indah lah yang menghubunginya. Ia yakin pak Roby telah menjelaskan kepada Indah bahwa ia menyetujui liburan ke Paris.
"Indah Calling,"
Bima memasang earphone telinga, ia lalu menggeser tombol hijau pada layar, sambil memandang lurus ke depan.
"Iya Indah,"
"Hai, Bima," Indah menahan senyum, karena papi tadi sudah memberitahunya bahwa Bima menyetujui keberangkatannya ke Paris. Emosinya yang tadi meledak, kini hilang begitu saja, malah kini berganti bahagia.
"Masih marah?," Bima, menahan tawa. Ia seakan bisa melihat wajah cantik Indah yang tersenyum malu di sana.
"Enggak kok,"
Suara Indah terdengar begitu merdu dan renyah, "Tadi kenapa aku telfon enggak kamu angkat," Bima mencoba menyelidiki.
"Habisnya aku lagi kesel sih,"
"Aku kan belum selesai ngomong, kamu malah matiin telfon aku,"
"Ya habisnya ...,"
"Tapi papi udah ngasi tau, kita jadi ke Paris," Indah menatap pantulan dirinya di cermin. Ia tidak bisa menutupi rasa bahagianya. Inginnya melompat kegirangan, liburan bersama Bima.
Bima lalu tertawa, jika berhubungan dengan wanita yang jauh lebih muda itu sungguh menyenangkan. Ia tahu bahwa wanita muda seperti Indah emosinya meledak-ledak, manja, ribet, dan banyak mengeluh. Tapi tentu saja ia bisa mengimbangi emosional Indah dengan kesabaran. Menurutnya Indah dan Mita itu hampir sama, sama-sama memiliki wajah cantik dan menyenangkan. Namanya juga masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa itu, Indah tentu saja mereka berpikir logis dan idealis. Karena mereka mulai membandingkan pendapat satu dan pendapat yang lainnya.
"Iya,"
"Kapan?,"
"Hari senin depan aja ya, soalnya aku masih banyak kerjaan juga,"
"Terus visa sama paspor kamu gimana?,"
"Tadi aku udah periksa, ternyata masih aktif hingga bulan depan," ucap Bima, karena tadi udah memerika dokumen-dokumennya di rumah. Ia pikir visa dan paspornya mati, karena sudah hampir setahun ia tidak liburan ke Eropa.
"Owh gitu, kirain,"
"Kamu enggak marahkan kalau kita perginya hari Senin," Bima mengarahkan mobil nya ke arah Padma Resort yang terletak di Payangan. Ya, memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya hanya membutuhkan setengah jam untuk sampai ke sana.
"Enggak kok, sekalian persiapan juga,"
Bima melepaskan sabuk pengaman, "Indah ...,"
"Iya Bima,"
"Jujur aku enggak bisa bahasa prancis loh ya, kamu bisa?," tanya Bima.
"Bisa sih dikit-dikit," Indah berjalan menuju tempat tidur.
"Aku hanya khawatir enggak bisa menyesuaikan diri di sana karena kendala bahasa. Berhubung kamu bisa ya enggak jadi masalah," Bima tersenyum penuh arti. Jujur ia tidak pernah belajar bahasa Perancis secara spesifik atau mengenyam pendidikan dasar dengan tujuan tertentu.
"Untuk itu tenang ajalah, lagian kita liburan doang," Indah mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya ia sama saja seperti Bima, bahasa Perancis tidak terlalu menguasai. Bodo amatlah yang penting liburan aja dulu, lagian google translate. Selama ini ia hanya menguasai bahasa Inggris dan Mandarin.
"Oiya tadi papi sempet bilang, kalau Bima jangan beli tiket lagi, papi udah siapin untuk kita,"
Bima mengangguk paham, akomodasi ternyata sudah disiapkan oleh orang tua gadis ini. Setidak ia memakai fasilitas yang pak Roby. Ia tidak ingin mengecewakan beliau karena telah menolak terlalu banyak. Lagian ia bukan berpergian dengan sang kekasih. Di sini hanya menemani Indah liburan saja. Membuat gadis itu senang selama liburan panjangnya.
"Iya,"
"Makasih ya Bima, udah nemenin aku ke Paris,"
"Iya sama-sama. Kamu sudah makan?," tanya Bima, ia menghentikan mobil di area parkiran Padma resort .
"Belum,"
"Kenapa belum,"
Indah melirik jam menggantung di dinding kamar menunjukkan pukul 18.30, "Bi Narsih belum manggil aku buat makan malam,"
"Yaudah, jangan lupa makan, salam buat papi dan mami kamu,"
"Iya," ucap Indah tersenyum bahagia.
"Bima lagi dimana?," tanya Indah.
"Lagi mau ketemu temen,"
"Hati-hati di jalan ya Bima,"
"Iya,"
"Ketemu di hari Senin ya Bima,"
"Iya," ucap Bima mengakhiri percakapannya. Ia lalu menggeser tombol merah pada layar.
Bima membuka sabuk pengaman dan ia tersenyum penuh arti. Ia tidak dapat membayangkan berdua di Paris bersama Indah. Bocah kecil itu sungguh membuatnya gila sepanjang hari. Suasana hatinya kini sedikit lebih membaik karena mendengar suara Indah.
Bima membuka hendel pintu, ia mengedarkan pandangan ke area Padma resort. Resort ini berlatar hutan bambu yang menenangkan. Lampu-lampu taman menghiasi setiap sudut area resot. Resort ini menawarkan karya seni dan arsitektur Bali kontemporer dalam nuansa alam.
Bima menatap ke arah layar ponsel, ia menekan tombol hijau pada layar. Ia menghubungi teman Gista yang bernama Jasmine itu. Resort seromantis ini pergi sendiri, yang benar saja. Pasti wanita itu benar-benar kesepian. Bima melangkahkan kaki menuju lobby hotel. Suara sambungan terangkat,
"Halo," ucap suara wanita dari balik speaker.
"Hai, saya Bima temannya Gista,"
"Owh, Bima,"
"Saya ada di lobby," Bima menatap area lobby nampak sepi. Ia memandang receptionis yang sedang berjaga dan ada bule yang duduk di sana sambil menikmati secangkir kopi.
"Kamar saya di lantai empat, nomor 4010. Kamu lewat lift kiri nanti ada pintu masuk. Soalnya aku baru selesai SPA," ucap Mimin mencoba menjelaskan, kepada Bima. Ya, memang seperti itulah kenyataanya.
"Iya," ucap Bima, ia melangkahkan kakinya menuju lift sebelah kiri, mengikuti intruksi Mimin.
Beberapa menit kemudian ia mendapati nomor kamar 4010. Jujur ia tidak pernah menginap di hotel ini sebelumnya. Hotel ini benar-benar memanjakan mata karena suasananya dingin dan dikelilingi pohon yang rindang. Ia tidak kepikiran untuk mengajak Mita ke sini dulu, dan malah memilih ke hotel sebelah. Ah, sudahlah lagian itu sudah berlalu. Bima menekan bell di dekat daun pintu.
Sedetik kemudian pintu terbuka, ia memandang wanita berpakaian dress mini floral berwarna merah. Wanita itu sepertinya sengaja memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus. Ini Bali, sudah seharusnya Mimin berpakaian seperti itu, toh di luar sana banyak sekali wanita berpakaian jauh lebih sexy dan terbuka.
Aroma wangi mawar putih menyeruak dihidung dan terasa begitu manis. Bima menelan ludah karena godaan itu. Jelas saja Mimin begitu wangi karena baru saja melakukan SPA. Bima memperhatikan Mimin, wanita itu sekarang jauh lebih cantik dari pertama kali ia bertemu. Tubuh wanita itu sedikit lebih berisi dan behel hijau itu sudah tidak terlihat.
Bima menyungging senyum, "Hai," ucap Bima. Itulah kata yang pertama kali ia ucapkan, karena mereka memang baru bertemu. Tidak ada kata yang lebih pantas untuk ia katakan selain "Hai".
Mimin memperhatikan laki-laki tampan dihadapannya. Laki-laki itu sama sekali tidak berubah sejak pertama kali bertemu. Bima mengenakan kaos putih dan celana jins. Seperti biasa terlihat sangat keren di mata nya. Ia tidak menyangka bahwa laki-laki itu benar datang bertemu dengannya. Gista sungguh hebat bisa memiliki sahabat seperti Bima tanpa memiliki rasa apa-apa. Jika ia menjadi Gista, mungkin ia akan jatuh hati kepada laki-laki ini berkali-kali.
"Hai juga," ucap Mimin diberinya senyuman kepada laki-laki itu.
Mimin memperlebar daun pintu, "Masuklah," ucap Mimin mempersilahkan Bima masuk ke dalam.
Bima melangkahkan kaki masuk ke dalam, ia memperhatikan ruangan kamar. Ruangan kamar begitu besar dan luas, lengkap dengan fasilitas yang disediakan. Ia melirik balkon kamar yang terbuka, lalu ia memilih duduk di salah satu sofa. Bima melirik Mimin yang sedang menutup pintu dan berjalan mendekatinya.
"Maaf ya ngerepotin kamu, jauh-jauh datang ke sini,"
"Enggak apa-apa, lagian rumahku dekat," ucap Bima tenang.
Mimin memandang penampilannya di cermin, ia mengambil lipstik berwarna nude sambil melirik Bima dari balik cermin.
"Tadi siang aku dari Denpasar naik taxi, aku tanya aja sama supirnya, resort terbaik di sini di mana. Eh, aku di bawanya ke sini,"
"Rekomendasi supir taxi itu bagus banget, aku enggak nyesal deh ke sini. Suasananya tuh tenang banget, terus tempatnya dingin, kamarnya luas lagi. Sayang nya aku belum sempat berenang, soalnya tadi ketiduran," Mimin menceritakan, ia menyimpan lipstiknya di meja.
Mimin berjalan mendekati Bima yang memperhatikannya, "Aku juga baru pertama kali ke sini,"
Bima berdiri berjalan menuju balkon, angin malam menerpa wajahnya. Jujur view dari balkon ini begitu romantis. Ia melirik Mimin yang kini sudah berada disebelahnya.
"Kata Gista kamu buka restoran ya," Mimin menatap Bima.
"Restoran kecil-kecilan aja,"
"Udah punya tiga cabang, masa' di bilang kecil. Buka nya di Jakarta lagi," dengus Mimin.
Bima lalu tertawa, "Kamu mau kemana?," mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya mana aku tau, kan kamu yang paham daerah sini,"
Bima lalu berpikir, "Kamu mau wisata kuliner atau nonton tari kecak?," tanya Bima memberi opsi kepada Mimin.
"Tari kecak mulainya jam berapa?,"
Bima meliril jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 19.12 menit. Sepertinya ia masih cukup waktu untuk mengajak Mimin menonton tari kecak,
"Jam setengah delapan,"
"Lama enggak?,"
"Palingan sejam udah selesai,"
"Pertunjukkanya di mana?,"
"Di Pura Dalem, dekat kok dari sini,"
"Yaudah nonton tari kecak aja dulu, setelah itu kita cari kuliner," Mimin, melangkah masuk ke kamar, mengambil tas di meja.
Bima mengikuti langkah Mimin, wanita itu tersenyum ke arahnya. Mereka lalu keluar dari kamar, menuju lift. Sepanjang perjalanan menuju parkiran tidak ada yang mereka ucapkan. Hingga akhirnya mobil meninggalkan area hotel. Mimin menyandarkan punggung di kursi, sesekali ia melirik Bima yang fokus dengan kemudi setir.
"Kata Gista kamu buka kantor notaris,"
"Iya,"
"Berarti lulusan hukum,"
"Iya,"
"Di mana?," tanya Bima penasaran.
"UI,"
Alis Bima terangkat mendengar bahwa Mimin lulusan UI, "Pinter dong kamu bisa masuk sana,"
"Biasa aja lagi,"
"Berarti kamu strata dua,"
"Ya gitu deh,"
"Awalnya aku enggak ada niat mau buka kantor notaris. Setelah mendengar wejangan dari papa, akhirnya aku putuskan buat kantor sendiri dan sekolah lagi. Setelah lulus, aku langsung magang di tempat papa selama setahun untuk melengkapi syarat hukum yang telah ditentukan. Prosesenya memang seperti itu, lumayan lama," Mimin mulai menceritakan.
"Yaudah sekarang aku jalani aja apa yang telah aku kerjakan,"
"Kamu menarik sekali," ucap Bima, ia yakin inilah alasan Gista ingin menjodohkan dirinya kepada Mimin. Karena Mimin salah satu wanita yang cerdas dan berambisi menggapai sesuatu.
Bima menghentikan mobilnya di area parkiran pura Dalem. Mereka keluar dari mobil, dan berjalan menuju pintu masuk. Tidak lupa mereka membeli tiket,
"Kayaknya udah mulai," ucap Bima karena ia mendengar suara "cak cak cak" dari dalam pura.
"Enggak apa-apa, yang penting nonton,"
Bima menatap penampilan Mimin, "Pakaian kamu terlalu sexy untuk pura,"
"Enggak boleh ya,"
"Setidaknya sopanan dikitlah ini kan untuk ibadah. Lagian aku takutnya kamu digigitin nyamuk,"
"Iya sih,"
"Aku enggak maulah digigit nyamuk, kalau digigit kamu aku enggak bakalan nolak," ucap Mimin sambil terkekeh.
Alis Bima terangkat mendengar ucapan Mimin, ia lalu ikut tertawa. Oh Tuhan, ternyata Mimin memintanya cukup jelas dan terdengar vulgar.
"Kalau aku gigit, nanti kamunya malah keenakkan,"
"Kalau enak, ya mau lagi mau lagi,"
Tawa Bima dan Mimin lalu pecah, Bima lalu merangkul bahu Mimin masuk ke dalam Pura. Mereka memilih duduk di belakang, karena memang mareka tidak kebagian tempat duduk yang strategis.
***