BAB 02 - Lupakan Saja

881 Kata
Belum selesai Maura bicara, tubuh Abimanyu kini ambruk di atasnya dalam keadaan lemas. Habis sudah, Maura yang sudah mewanti-wanti dari awal mendadak kesal dan menepuk punggung pria itu. “Kenapa?” tanya Abimanyu tanpa dosa, padahal jelas-jelas dia salah. “Kamu sengaja melakukannya?” Tanpa basa-basi, Maura melayangkan tuduhan karena ekspresi Abimanyu terlihat mencurigakan. Tak segera menjawab, Abimanyu berpindah tidur di sisi Maura pasca menarik selimut hingga menutupi d**a wanita yang kini cemberut akibat ulahnya. “Sorry, aku tidak sadar … di luar prediksi, ternyata keluar lebih cepat.” “Alasan, seharusnya kamu bisa antisipasi,” kesal Maura beranjak bangun tanpa melepaskan selimutnya. “Mau kemana?” Masih dengan suara lelah, Abimanyu melontarkan pertanyaan klisenya. “Mandi.” “Mandi untuk apa? Sudah malam begini kita tidur saja,” ucapnya dengan mata yang kian mengecil. Bercinta dengan Maura ternyata cukup menguras tenaga, entah karena ini pengalaman pertama atau karena lawan mainnya seorang janda yang lama tak terjamah, Abimanyu tidak tahu juga. “Aku akan pulang sebentar lagi,” jawab Maura seraya memunguti pakaian yang kini tercecer dimana-mana akiba ulah Abimanyu yang asal lempar sewaktu memulainya. “What? Pulang?” Kening Abimanyu berkerut, sudah tentu dia tidak setuju sebenarnya. “Hem, aku rasa kamu belum tuli sampai harus bertanya berulang-ulang.” “Iya, tapi maksudku kenapa harus malam ini? Besok pagi, ‘kan bisa?” “Aku harus ke kantor pagi-pagi, lagi pula tidak mungkin aku kembali menghabiskan satu malam bersamamu di sini,” pungkas Maura kemudian berlalu ke kamar mandi. Meninggalkan Abimanyu yang kini terdiam dalam kesendirian, sesekali dia melihat ke arah pintu kamar mandi. Tidak munafik, memang ada keinginan Abimanyu untuk menerobos masuk dan kembali memanfaatkan kesempatan, tapi secepat mungkin dia menepuk kepalanya berulang. “Dasar gila, apa yang kau pikirkan sebenarnya,” bisik Abimanyu dengan wajah yang memerah. Padahal di sekelilingnya tidak ada siapa-siapa, tidak ada juga yang tengah berusaha menggoda, tapi anehnya justru salah tingkah. Selama menunggu Maura membersihkan diri, Abimanyu terus begitu seakan baru saja memenangkan undian di akhir tahun. Cukup lama dia menunggu, hingga kini Maura keluar dengan penampilan yang lebih segar dan lengkap dengan pakaiannya. Meski sudah dalam keadaan begitu, mata Abimanyu tetap saja membayangkan kemolekan tubuh Maura tanpa sehelai benang seperti beberapa saat lalu. Tak ayal, mata jelalatan Abimanyu membuat Maura salah menerka hingga dia bergegas meraih tas dan mengeluarkan dompetnya. “Thanks atas jasanya, dan tolong lupakan yang tadi,” ucap Maura seraya menyodorkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu tepat di depan wajah Abimanyu. “Okay … senang bisa bekerja sama, hubungi aku jika butuh bantuan lagi.” Sembari menerima upahnya, Abimanyu kembali menawarkan diri dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya. “Aku harap tidak lagi, yang tadi terakhir aku menggunakan jasamu,” ungkap Maura dengan setitik penyesalan yang tak bisa dia utarakan. Abimanyu terdiam sejenak, seolah menerka isi pikiran Maura. “Kenapa? Takut kebablasan lagi?” Wajah Maura seketika memerah, tapi detik itu juga dia mengatur napas demi mengendalikan keadaan. “Bukan, hanya saja jika aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi, itu berarti proses perceraianku sudah tuntas.” “Ehm, jadi masih proses perceraian?” “Iya, entah berapa kali aku harus mendatangi persidangan … lelah sekali rasanya,” ucap Maura tak segan berbagi cerita. Mungkin karena memang sudah muak, ditambah lagi dia sudah mengeluarkan sejumlah uang yang dia ketahui sebagai upah untuk Abimanyu dan hal-hal semacam ini memang termasuk tugasnya. “Turut prihatin dengan penderitaanmu, semoga lekas tuntas ya.” Tanggapan Abimanyu yang terkesan biasa saja tapi tetap terlihat simpatinya kembali membuat Maura merasa pria ini benar-benar menghargai wanita. Berbeda jauh dengan rekan kerja ataupun teman dekat yang cenderung akan banyak tanya, tapi sekadar ingin tahu saja. Lagi dan lagi, Maura meyakini bahwa sikap Abimanyu terbentuk secara alami karena tuntutan pekerjaannya sebagai pria penghibur. Bukan tanpa alasan kenapa Maura berpikir demikian, tapi memang begitulah yang diutarakan mantan suaminya tentang Soraya – si selingkuhan yang dulunya merupakan seorang pemandu karaoke sekaligus pekerja seks komersial. Selesai bersiap, Maura kemudian bermaksud untuk angkat kaki segera. Namun, di luar dugaan Abimanyu justru bangkit dan mengatakan akan mengantarnya. “Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri.” “Kalau pagi aku izinkan pulang sendiri, tapi berhubung malam jadi aku antar saja … ayo,” ajak Abimanyu berjalan satu langkah di depan Maura. Tidak punya pilihan lain, Maura juga bingung karena saat ini ponselnya mati total. Tidak ada salahnya dia menerima kebaikan Abimanyu, esok lusa belum tentu bertemu. Sama seperti perlakuannya sewaktu menjemput Maura di depan kost, begitu pulang Abimanyu masih memakaikan helm untuk Maura. Pertanda bahwa pria ini memang tipikal act off service dari sananya, bukan bersikap manis karena belum diupah. “Oh iya, sepertinya akan hujan, kamu pakai jaketku saja.” “Tidak us_” Ucapan Maura terhenti, Abimanyu sudah bertindak lebih dulu dan memakaikan jaketnya. Tanpa menerima penolakan, Maura bisa menyimpulkan pria ini sedikit keras kepala dan seenak jidatnya. Selama menyusuri perjalanan keduanya hanya diam, tidak ada pembicaraan dan Abimanyu fokus mengemudikan motor butut itu. Sesekali asapnya mengganggu pengemudi lain, Maura tersenyum simpul manakala ada yang menegur dari belakang. “Akhirnya sampai juga, sorry ya kalau bikin malu … motor ini sudah tua soalnya,” tutur Abimanyu seakan tidak enak hati setelah tiba di kediaman Maura. “Tidak apa, aku suka.” “Suka? Suka aku?” . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN