Masih Memikirkan Dia

855 Kata
Reiner terpaku untuk beberapa saat seolah dunia di sekitarnya terhenti begitu saja. Di dalam hati, Reiner mengutuk diri sendiri yang telah berani memuji penampilan Jasmine tanpa bisa ia cegah. Ya, Reiner tidak buta. Matanya jelas masih normal dan mengakui jika Jasmine ialah gadis cantik dengan tubuh proporsional. Kemolekan alaminya mampu membuat siapa pun yang melihatnya terpukau. Mungkin, alasan itulah yang membuat Reiner tergoda oleh Jasmine pada malam itu dua bulan yang lalu. Sial. Reiner mengumpat ketika Feli menuntun Jasmine untuk berputar dengan pelan, sehingga punggung polosnya terpampang nyata di depan Reiner. "Gimana menurutmu?" tanya Feli sekali lagi yang berhasil mengentak Reiner dari keterpakuannya. "Ganti dengan yang lain. Dia tidak pantas memakai gaun seperti itu." Reiner berkata tanpa ekspresi, lantas memfokuskan diri kembali pada ponsel. Jasmine sudah bisa menebak respons Reiner akan begini. Maka dari itu Jasmine sama sekali tidak merasa sakit hati dengan ucapan calon suaminya tersebut. "Tidak pantas kamu bilang? Sebaiknya habis dari sini kamu pergi ke dokter mata," sembur Feli tak habis pikir. Reiner mengangkat bahunya dengan cuek. "Kalau Kakak tidak mau mempermalukanku di pesta nanti, carikan dia gaun yang pantas dan tidak norak begini." Feli akan kembali menimpali ucapan Reiner yang menurutnya sangat tidak sopan, tetapi Jasmine lebih dulu menyentuh lengannya dan mengajaknya untuk mencoba gaun yang lain. Feli merasa tidak enak hati pada Jasmine atas sikap adiknya, meski terlihat tenang, Feli yakin Jasmine tidak baik-baik saja. Reiner mengamati pemandangan hiruk pikuk kota melalui jendela dengan pikiran berkelana. Penampilannya tampak rapi dengan tuksedo abu tua mengkilap yang dihiasi korsase atau hiasan bunga kecil di kerah jas bagian kiri. Sementara kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Ya, dia telah siap untuk melangsungkan pernikahannya bersama Jasmine hari ini. Tapi hatinya tak pernah benar-benar siap. Image nakal yang melekat pada diri Jasmine membuat Reiner sulit menerimanya. Reiner selalu menginginkan segala sesuatunya sempurna, begitupun dengan pasangan hidupnya. Meski Reiner tahu, tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu, Reiner sama sekali tidak mencintai Jasmine. Bagaimana bisa dia mencintai wanita lain, sementara ruang hatinya masih dipenuhi oleh seseorang. Seorang wanita yang Reiner sadari tidak akan pernah menjadi miliknya. Tapi sampai kapanpun, hati dan hidupnya tetap akan menjadi milik wanita itu. Cinta pertamanya. Nadira. Bahkan tidak ada satu wanita pun yang mampu menggeser posisi cinta pertama Reiner di hatinya. Apalagi gadis bernama Jasmine. Dilihat dari sudut manapun, Jasmine bukanlah tipe wanita idaman Reiner. Kebersamaan Reiner dan Nadira telah terjalin sejak SMA. Meski tidak pernah ada hubungan yang serius di antara mereka, tapi perasaan keduanya tumbuh makin lama makin dalam. Reiner dan Nadira bagaikan satu paket. Di mana ada Reiner di situ ada Nadira, begitupun sebaliknya. Mereka bahkan sama-sama kuliah di New York. Tetapi orang tua Nadira telah menjodohkan wanita itu dengan seseorang dari keluarga Mahatama. Gelar namanya. Dia adalah sepupu yang sudah Reiner anggap sebagai teman sendiri. Bahkan pernikahan mereka telah berjalan empat tahun yang lalu. Reiner sangat mencintai kedua orang tuanya. Dia akan melakukan apa pun untuk mereka. Termasuk menikahi Jasmine atas kesalahan yang dia perbuat malam itu. Meski sejujurnya ia belum percaya bahwa anak yang dikandung Jasmine adalah anaknya. Dan tanpa bisa dipungkiri, Reiner pun merasa bersalah pada Jasmine atas tuduhannya malam itu, yang menganggap Jasmine telah bekerja sama dengan musuh yang akan menjebaknya. "Kenapa masih di sini, Sayang? Acara sebentar lagi mau mulai, lho." Suara lembut yang terdengar dari arah belakang berhasil mengeluarkan Reiner dari lamunannya. Reiner berbalik, lalu tersenyum pada wanita cantik yang paling tidak mau Reiner sakiti. "Sengaja aku menunggu Mama. Biar saat aku keluar, aku digandeng oleh wanita secantik ini," goda Reiner dengan senyuman tipisnya. Sang Mama memukul bahu Reiner dengan pelan. "Kamu ini. Di saat-saat seperti ini sempat-sempatnya menggoda Mama kamu." Reiner terkekeh. Dia berjalan ke arah lemari untuk mengambil arloji kesayangannya. "Aku tidak bohong, Ma. Mama adalah wanita tercantik di mataku. Makanya aku tidak heran kenapa Papa selalu menempeli Mama ke mana-mana." Jemari Reiner menyusuri deretan jam tangan mewah yang ia bawa dari apartemennya ke kamar hotel ini. Pilihannya lalu jatuh pada Rolex yang belum pernah sekalipun ia pakai. Arloji tersebut adalah hadiah ulang tahun dari mamanya bulan lalu. "Dan kamu sangat mirip dengan papamu. Tukang gombal." Leica tersenyum lembut sembari membetulkan letak korsase pada jas yang dikenakan Reiner. Reiner terdiam sesaat sambil menatap sang mama dengan tatapan ragu. "Ma? Apa... aku bisa menjalani pernikahan ini? Sementara aku sulit sekali menghilangkan dia dari hatiku." Intonasi suara Reiner yang berubah pelan, ditambah tatapan kelam dari mata hazelnya, membuat Leica terdiam sesaat dan menatap putranya dengan tatapan menelisik. Meski sudah berusia dua puluh sembilan tahun, Reiner tak malu-malu mencurahkan isi hatinya pada Leica. Itulah kenapa Leica mengerti siapa dia yang dimaksud oleh Reiner. "Kamu masih memikirkan dia di saat akan melangsungkan pernikahan dengan Jasmine, hm?" Reiner tersenyum kecut. "Mama tahu aku sulit sekali melupakan dia." jawabnya tanpa ragu. Bahkan di saat-saat seperti ini pikirannya seakan dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu. "Nak, sampai kapan kamu akan terus begini? Sudah empat tahun dan kamu masih terjebak dengan masa lalu? Nadira sudah jadi milik Gelar, sepupu kamu. Dan sekarang saatnya kamu kembali menata hati. Kamu berhak bahagia dengan wanita lain, Sayang." "Tapi Nadira tidak bahagia menikah dengan Gelar, Ma." "Lalu, apa itu menjadi urusan kamu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN