Aku masuk ke café tempat biasa aku dan Giring bertemu, karena aku tahu dimana kita sering duduk, aku langsung menuju lantai dua dan melihat Giring tengah melambaikan tangan, tanpa ia melambai pun aku tahu dia duduk di situ. Aku menghampirinya lalu duduk dihadapannya, café ini dulu menjadi tempat favorit kita untuk menikmati kopi latte kesukaanku dan kopi americano kesukaannya, lalu kami bercerita tentang banyak hal, tentang masa depan dan keinginan kami hidup berdua. Semua itu seperti baru terjadi sebentar, lalu berubah sesaat. Aku pernah menggantungkan harapanku kepadanya, aku tidak pernah berhenti berharap kelak kami akan bahagia. Namun, sayang seribu sayang, Giring telah mendua hanya karena aku kehilangan semuanya. Bukankah seharusnya ia percaya kepadaku? Bukankah seharusnya ia yang