Harus Fokus (A)

1054 Kata
“Lalu sudah di operasi?” tanyaku menatap Deris yang saat ini melihat beberapa dokumen dan dipisahkan untuk aku tanda tangani dan untuk aku review. Tak banyak yang tahu tentangku dan tak semua orang tahu siapa aku. “Belum. Terkendala biaya,” jawab Deris. “Keluarga Nona Bina itu sangat jahat kepadanya. Nona Bina di paksa menikahimu hanya demi uang operasi ibunya, namun Nona Bina dibohong oleh keluarga Wardana. Dan, imbalan setelah menikahimu tidak diberikan.” Deris menjelaskan membuatku terkejut mendengarnya. Aku baru tahu ada juga keluarga yang seperti itu di sini. “Tidak usah perduli kepada Nona Bina, dia itu hanya istri bayaranmu.” “Kenapa kamu bicara santai kepadaku?” Deris tersenyum dan berkata, “Bukankah kamu pernah mengatakan untuk menganggapmu teman?” “Tapi sikapmu menceritai Bina yang membuatku agak kesal,” jawabku. “Kamu marah ketika aku menceritai Nona Bina?” “Yes. Aku marah. Bagaimana pun juga dia tetap istriku.” “Kamu akan pergi meninggalkan Negara ini juga sesuai rencana kita.” “Tapi sebelum itu terjadi, aku akan menjadi suami yang baik untuknya, aku tak pernah menginginkan untuk mempermainkan perasaannya, selagi dia istriku dia akan aku lindungi dan akan aku bantu. Jadi, apa salahnya?” “Kamu hanya akan memberikannya harapan, Res.” “Harapan? No. Aku tidak memberikannya harapan. Aku hanya membantunya sebisaku.” Deris terlihat heran melihatku, aku hanya tidak ingin Tsabina beranggapan bahwa dia adalah korban karena menikah denganku, aku pastikan dia tidak akan sedih dan hidupnya terjamin, walaupun tanpa sepengetahuannya. Deris mengangguk dan berkata, “Ini lah bagusnya kamu. Kamu memang yang terbaik.” “Aku tak suka mempermainkan hati seorang wanita, jika dia sudah menjadi istriku sebisaku akan ku lakukan apa pun demi dia. Kamu tahu kan dia korban? Dia di fitnah dan dia bukan orang yang semudah itu menjadi simpanan seorang pejabat.” “Kamu tahu apa? Bagaimana jika skandal itu benar?” “Skandal itu tidak benar. Aku sudah mendengarnya langsung dari Bina.” “Kamu percaya kepadanya?” “Ya. Dia korban di sini.” “Kamu bisa membuktikannya?” tanya Deris menantangku. “Kamu bukan asli negeri ini, kamu tidak bisa melakukan apa pun.” “Siapa bilang aku bukan asli sini? Ibuku dari Indo, dan aku punya darah di negeri ini.” Deris terdiam dan menatapku, dia sepertinya memahami apa yang ku katakan. Mungkin dia baru melihat sisi lainku. Jadi, dia beranggapan aku tidak mungkin bisa melakukan apa yang ingin ku lakukan. “Sudahlah. Kamu tidak perlu memancingku masalah Bina. Aku adalah suaminya dan aku bertanggung jawab penuh kepadanya.” “Jangan bilang kamu akan tinggal di sini seterusnya.” “Tidak. Hanya sementara.” “Lalu kenapa kamu terlalu baik kepada Nona Bina?” “Diam, Deris. Ini bukan urusan kamu.” Deris terdiam dan mengangguk. “Jangan lancang, lakukan saja tugasmu.” Deris mengangguk lagi. “Bayar biaya rumah sakit ibunya Bina. Semuanya, sampai sembuh.” Deris membulatkan mata, aku ingin sekali mencolok matanya. “Kamu serius?” “Uangku tidak akan habis hanya karena membayar biaya operasi ibu mertuaku.” “Wah. Kamu banyak berubah,” geleng Deris. “Lebih baik aku berubah menjadi lebih baik, ‘kan?” “Tapi, kamu kejam.” “Kejam pada orang lain, sementara pada istriku tidak.” “Sungguh, ternyata aku melihat sisi lainmu.” Deris tersenyum. “Jangan katakan kepada Bina bahwa aku yang membayarnya, suruh saja pihak rumah sakit yang mengatakan bahwa ada orang yang mau membayar biaya operasi ibunya, tapi jangan menyebut keluarga Wardana.” Deris mengangguk memahami apa yang ku katakan. “Aku pulang dulu,” kataku. “Kamu mau langsung pulang? Bukannya baru datang?” “Kamu urus semuanya. Jadwalku hari ini kosong, ‘kan?” Deris mengangguk lagi. “Ya sudah. Izinkan aku beristirahat.” “Pertemuan dengan pihak JS?” “Nanti saja. Aku pasti akan menghubungi mereka.” “Pertemuannya?” “Kamu yang bertemu dengan mereka.” “Terus kamu mau kemana?” “Aku harus mampir ke suatu tempat. Ada yang mau aku urus.” “Apa itu?” “Soal KL.” Deris paham, ia tahu apa yang ku maksud. Deris mengangguk lagi. Deris tak pernah menyalagunakan kekuasaannya. Dia yang menjadi asisten dan managerku. Dia memahami apa yang aku lakukan dan sesaat juga sering berdebat. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan kantorku. Aku tak pernah bermain dengan wanita, namun aku sering bermain dengan nyawa seseorang. Aku seorang mafia yang memiliki segalanya, bahkan bisnisku sudah mulai memperluas. Selain aku mafia, aku juga pemilik perusahaan investasi. Usaha dan bisnis ini bukan aku yang mendirikan, namun ini menjadi usaha keluarga. Sudah dua tahun aku bergelut dan pulang ke Manhattan lalu kembali ke Indonesia hanya mengurus bisnis ini. Aku menikah dengan wanita yang tidak aku kenal agar aku bisa memberi alasan aku sudah menikah, hingga aku tak di suruh pergi dari sini. Semua ini ku lakukan demi bisnis dan usahaku. *** Aku terpaku melihat pada seorang wanita yang tengah menyiapkan makanan diatas meja. Aku terpaku hingga langkah kakiku tak bisa berlanjut, aku terus menatapnya. Setelah dari KL, aku langsung pulang dan tidak mampir ke kantor. Walaupun Deris mau bertemu dan membahas sesuatu. Dia istriku? Apa aku harus bersyukur memilikinya? Aku percaya kepadanya bahwa skandal yang di beritakan hanya sebuah permainan yang dilakukan saingan bisnisnya dan menyebabkan kebangkrutan. Yang aku tahu seorang Tsabina Yiesha adalah designer ternama dan namanya sudah melambung tinggi hingga ke luar negeri. Namun, hanya karena skandal itu, membuat namanya terkenal menjadi seseorang yang mendapatkan keberhasilan dari cara yang tidak benar. “Mas Ares? Ayo masuk, apa yang kamu lakukan didepan pintu?” tanyanya. Aku hanya tersenyum mendengarkannya, lalu aku hendak melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. “Apa yang kamu lakukan? Sepatunya di lepas dong,” katanya. “Tapi biasanya?” “Biasanya memang kamu tak pernah melepas sepatumu, tapi sekarang harus dibiasakan.” “Kenapa?” “Karena aku tinggal di sini dan semuanya sudah ku bereskan.” Aku mengangguk lalu hendak duduk di sofa. “Jangan langsung duduk, kamu mandi dan ganti baju, aku sudah siapkan makan malam.” Aku yang hendak duduk langsung melangkah menuju kamar mandi. Aku tersenyum lagi, aku malah merasa senang Tsabina cerewet seperti ini, aku malah menikmati suaranya. Aku menggeleng kuat, aku tidak boleh mempengaruhi diriku, aku di Indonesia bukan untuk jatuh cinta. Semoga saja aku bisa membantunya keluar dari skandal ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN