DUA

1645 Kata
Dewi mengerjapkan mata. Riuh bandara membuatnya tersadar. Menyadari air mata menggenang, dia memejamkan mata perlahan, mengingat apa yang Benny katakan dan yang dia lakukan kemarin malam. Pagi tadi, Dewi masih berusaha meminta sang suami memeluknya sebelum mereka berangkat ke bandara. Lagi-lagi Benny menolak, beralasan jalanan yang macet dan tak mau Dewi terlambat. Tak ada pelukan, tak ada ciuman. Dewi mengusap matanya. Entah sejak kapan hubungan mereka jadi begitu dingin dan berjarak. Saat masih pacaran dulu, Benny selalu berinisiatif memeluk Dewi, sekalipun waktu itu harus mereka lakukan di dalam mobil. Basement mall hingga tempat parkir khusus untuk Benny di kantor menjadi saksi bisu hangat pelukan Benny untuknya. Begitu pula dengan ciuman mesra yang tak pernah absen diberikan pada Dewi tiap kali Benny mengantarnya pulang atau bahkan ketika laki-laki itu datang ke rumah. Awalnya Benny hanya berani mengecup pipi Dewi, sesaat sebelum dia turun dari mobil. Lama-kelamaan, Benny tak segan menahan Dewi agar tidak cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Bunga anggrek Mama mungkin bisa mengeluh bosan melihat Benny dan Dewi yang memanfaatkan beberapa detik untuk berciuman di teras rumah. Tingkah mereka sudah persis seperti maling, hanya saja mereka berusaha mencuri kesempatan bermesraan. Kalau Papa dan Mama memergoki mereka b******u, mungkin Benny sudah masuk blacklist dan tidak diizinkan bertemu Dewi lagi. Sekalipun begitu, Benny selalu berani mengambil risiko untuk mengungkapkan cintanya yang menggebu pada Dewi. Hal ini membuat d**a Dewi sesak. Setelah beberapa tahun menikah, dia tak lagi merasakan api cinta Benny. Rumah yang seharusnya menjadi ruang privat di mana mereka bisa dengan bebas b******u dan bercinta justru menjadi tempat yang dingin. Benny selalu bersembunyi di balik pintu ruang kerjanya. Benny menjauh dari dirinya. Suaminya itu sudah berubah. Benny yang dulu hampir selalu tersenyum hangat pada Dewi, kini digantikan dengan Benny yang ketus dan bermulut pedas. Kerlingan mata genit nan menggoda kini tergeser oleh pelototan atau tatapan tajam. Kalau mesin waktu sungguh ada, Dewi ingin sekali kembali ke masa ketika Benny memperlakukannya dengan manis dan penuh ekspresi cinta. Apakah pekerjaan Benny hal terpenting dalam hidupnya? Ataukah pekerjaan hanya sebuah alibi untuk menjauhi Dewi? Apakah Benny sudah bosan dengan dirinya? Apakah Benny punya perempuan lain? Dewi memegangi dadanya yang makin terasa sesak. Kepalanya menggeleng kecil, berusaha mengenyahkan pikiran negatif dan kekhawatiran yang berlebihan itu. Untuk mengalihkan perhatian, Dewi meraih tab dari dalam tasnya. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melihat kembali rancangan interior yang sudah timnya buat untuk proyek renovasi vila di Bali ini. Sambil meminum latte yang sudah bercampur es batu yang mencair, Dewi memastikan beberapa titik penting yang harus dia bahas dengan pemilik vila. “Wi! Dewi Anjani!” suara laki-laki mengagetkan Dewi. Di hadapannya kini berdiri seorang laki-laki gagah yang tampak tak asing baginya. “Siapa ya?” “Ini aku, Wi. Ryan!” Wajah laki-laki itu semringah, matanya berbinar bahagia. “Ryan?” Dewi seakan dibawa ke masa lalu, melihat laki-laki di hadapannya tanpa kumis tipis dan cambang. Ryan, laki-laki pertama yang mengatakan cinta pada Dewi. “Ryan!” pekik Dewi senang hingga dia berdiri dan mendekat pada laki-laki itu. “Apa kabar, Wi?” Ryan tak canggung memeluk Dewi. Laki-laki itu mundur satu langkah kemudian menatap Dewi dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Udah sepuluh tahun lebih kita enggak ketemu. Kamu makin cantik begini, Wi. Rasanya kamu enggak makin tua, makin muda kayak anak 17 tahun.” “Mana ada,” balas Dewi ketus, tetapi hatinya berbunga. “Duduk, Yan.” “Aku enggak bohong, Wi. Tadi aku sempat ragu mau menyapa, tapi ternyata firasatku benar. Kamu makin dewasa, makin menawan.” “Enggak usah gombal deh! Duduk, Yan,” kata Dewi menyilakan Ryan duduk di hadapannya. Ryan hanya tersenyum dan segera mengambil tempat yang ditunjuk oleh Dewi. “Kamu mau ke mana? Urusan kerja ya?” tebak Dewi melihat penampilan Ryan yang sangat rapi. “Aku mau ke Bali. Aku jadi konsultan bisnis salah satu hotel di sana.” “Wah sama dong mau ke Bali. Pesawatmu delay ya?” Ryan tersenyum lebih lebar. “Iya,” jawabnya sambil menggantung kacamata hitam di kemeja putih yang dikenakannya. “Sama lagi,” ujar Dewi sambil terkekeh. “Akhirnya kamu kesampean juga kerja di dunia hotel ya.” Laki-laki itu mengangguk. “Lumayan lah. Aku bisa keliling Indonesia jadi konsultan perhotelan begini. Kamu sendiri gimana, Wi? Ke Bali liburan atau kerja?” Dewi menutup tab yang tadi menjadi pengalihan perhatiannya. “Aku ada jadwal ketemu klien sekalian memantau perkembangan renovasi vila di Bali.” “Kamu beneran makin keren, Wi,” puji Ryan yang menatap Dewi lekat. Dewi berdeham, berusaha mengurangi kegugupan di hadapan mantan pacarnya saat SMA ini. “Kok sendirian, Yan? Istrimu mana?” Ryan bersidekap lalu menggeleng. “Istrimu enggak ikut?” Ryan menggeleng lagi. Melihat gerak-gerik Ryan, Dewi menopang dagu dengan tangan kanan dan menyipitkan mata menatap laki-laki di hadapannya itu. “Kamu enggak punya istri?” Ryan tersenyum lebih lebar dan mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Dewi. “Ah, bohong kamu, Yan. Masak enggak ada istri? Nanti istrimu marah loh.” “Aku memang enggak punya istri, Wi, tepatnya belum menikah,” jawab Ryan sembari menunjukkan tangan kanannya yang tidak mengenakan cincin. “Tapi, soon. Dua bulan lagi. Nanti aku kirim undangannya. Kamu dan suamimu harus datang.” Dewi mengernyit, “Dari mana…” “Dari mana aku tahu kamu sudah bersuami?” Ryan melengkapi kalimat Dewi yang tertahan. Laki-laki itu tersenyum. “Cincin di tangan kamu itu. Lagipula, siapa yang tidak kenal Benny Suryadjaja, pewaris tunggal Suryadjaja Konstruksi?” Dewi tersipu mendengar jawaban Ryan. Untuk menutupi kegugupan, Dewi meminum lagi latte yang masih setengah gelas. Ryan berdeham. “Are you happy, Wi?” Mata Dewi mengerjap, tak menyangka Ryan akan bertanya demikian. “Aku tahu dulu kita punya mimpi bersama. Tapi aku terlalu bodoh sampai enggak berani berjuang untuk kamu, untuk kita.” Ryan menyugar rambutnya. “Melihat kamu sekarang, aku cuma bisa berharap kamu bahagia dengan hidupmu, Wi. I will be very happy for your happiness.” Dewi tersenyum kecut. “Ya begitulah pernikahan, Yan. Tidak selalu diisi dengan bahagia kan?” “Ayolah, Wi, masa istri Benny Suryadjaja bilang sesuatu yang klise begini? Apa sulitnya bilang kalau kamu bahagia?” Ryan mengerling menutup kalimatnya. Tak ingin menjawab dengan gamblang, Dewi mengedikkan bahu. Dia membiarkan Ryan mengartikan sendiri maksud dari gestur yang dibuatnya. “Aku jadi penasaran loh, Wi,” ujar laki-laki itu sembari menyandarkan tubuh ke kursi yang didudukinya. Jari-jari panjang laki-laki itu mengetuk meja yang memisahkan mereka berdua. Dewi ikut menyandarkan punggung ke kursinya sendiri dan melipat lengan di depan dadanya. “Apa?” “Which one is the best kisser, me or him?” Pertanyaan Ryan itu membawa Dewi kembali ke gedung bioskop, tempat mereka kencan pertama kalinya. Dewi masih ingat betul Ryan memesan tempat duduk di ujung, barisan paling atas. Ketika film sudah setengah jalan, Dewi menyadari Ryan terus menatapnya. Dengan keheranan dia balas menatap Ryan, yang dibalas dengan kecupan lembut laki-laki itu tepat di bibir Dewi. Dalam gelapnya bioskop, kecupan itu berubah menjadi ciuman amatir dua siswa SMA yang dimabuk asmara. Dewi tak akan pernah bisa lupa ciuman Ryan yang mengajarkan pada dirinya apa makna dipuja dan diingini. “Gelo ah kamu, Yan.” Dewi tersipu dan tak sengaja menggerakkan kaki dan menendang kaki Ryan di bawah meja. Ryan terbahak sambil menahan sakit karena tendangan Dewi yang cukup keras. “I’m serious. Tapi kalau lihat reaksimu, I know it’s me, right? Ciumanku memang susah dilupakan.” “Aku kenal calon istrimu gak sih, Yan? Aku mau lapor calon suaminya main genit sama perempuan lain di bandara.” Sambil mengerling lagi, laki-laki itu menjawab penuh percaya diri, “Coba aja. Kalau perlu tambahin info, calon suaminya main genit sama mantan terindah yang namanya Dewi Anjani.” Sontak Dewi mengalihkan pandangan ke arah dinding kaca yang mengarah ke landasan pacu. Pesawat yang sedang berhenti di sana seakan ikut menggoda Dewi, membuat pipinya terasa amat panas. “Boleh. Kasih tahu siapa calon istrimu, sama nomor kontaknya sekalian.” Ryan tak dapat menahan tawa. “Kamu tetap Dewi yang dulu. Dewi yang percaya diri dan enggak mau kalah. Tapi, ada yang berubah sih, kamu makin dewasa dan memikat.” “Mana foto calon istrimu? Aku mau lihat.” Dewi berusaha membelokkan arah percakapan. Dia menanti Ryan membuka akses gawainya dan beberapa detik kemudian, laki-laki itu menunjukkan foto seorang perempuan berambut pendek yang masih sangat muda. Dewi bisa merasakan energi positif dari foto itu. “Wih, masih muda banget gini, Yan? Kelihatan energik dan cantik banget calonmu.” “Memang harus yang energik biar bisa menyamai aku yang awet muda begini. Jangan bandingin sama om suamimu.” “Enak aja! Suamiku masih muda juga ya!” sembur Dewi tidak terima. Ryan lagi-lagi tergelak. “Aku enggak jadi komplain karena pesawat delay kalau begini. Aku jadi bisa ketemu dan ngobrol sama kamu, Wi. Kita mesti ketemuan lagi, ngobrol-ngobrol lebih lama.” “Sure! Kamu bisa ajak calon istrimu, aku ajak suamiku. Kita double date gitu.” Percakapan Dewi dan Ryan terus mengalir, seakan ingin mencari tahu apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masing-masing selama sepuluh tahun mereka berpisah. Waktu berlalu begitu cepat, Dewi hampir melupakan rasa sesak dan kesal di hatinya karena Benny. Waktu boarding tiba. Dewi berdiri dan merapikan pakaian, lalu berniat mengambil travel bag kecil miliknya yang diletakkan di bangku. “Aku bantu, Wi.” Ryan dengan cekatan mengambil travel bag itu dari tangan Dewi.. “Thanks ya, Yan.” Hari Dewi berbunga-bunga. Entah kapan terakhir kali Benny memperlakukan seperti yang dilakukan Ryan saat ini. Mereka berjalan bersisian hingga di pintu pesawat. Ketika tiket mereka diperiksa oleh sang pramugari, betapa terkejutnya Dewi menemukan Ryan akan duduk tepat di sampingnya. “Silakan nomor 2A dan 2B, Bapak dan Ibu. Selamat menikmati penerbangannya.” Setelah meletakkan tas Dewi di kompartemen atas, Ryan duduk. Dan sembari mengenakan sabuk pengaman, dengan ringan laki-laki itu berkata, “Hari ini biarin aku cosplay jadi suamimu ya, Wi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN