Ketukan di pintu kantor membuat Benny mengalihkan perhatian dari kertas-kertas yang ada di mejanya. Seharian ini dia sedang pusing menghitung ulang budget pembangunan di sebuah proyek yang ternyata melebihi dari nilai yang ditetapkan oleh sang pemilik. Proyek ini seharusnya selesai bulan depan. Kepala Benny berdenyut hebat memikirkan proses pembangunan yang belum dimulai sama sekali.
“Masuk,” kata Benny yang sedang memejamkan mata, sedangkan satu tangannya memijat pelipis dahi.
Deham seorang perempuan memaksa Benny untuk membuka mata.
“Pak Ben, mau dibuatkan kopi atau dibelikan sesuatu?” Sekretaris Benny, Dinda, mendekat pada laki-laki itu membawa beberapa map dokumen.
Benny menatap perempuan muda di hadapannya itu. Rambut Dinda, yang dipotong bob sedikit di bawah telinganya, tertata rapi. Dress merahnya serasi dengan warna bibir perempuan itu. Semakin dekat jarak mereka, Benny dapat mencium wangi vanila yang menguar dari tubuh Dinda.
Merasa lelah dan tercekik, Benny melepaskan dasi yang dikenakannya. “Boleh buatkan teh jahe aja, Din? Sama kalau boleh, saya minta minyak kayu putih ya.”
Kecemasan langsung menyelimuti wajah Dinda. Dia meletakkan map yang dibawanya ke atas meja, lalu berdiri di sisi Benny. “Bapak sakit?” Tangan Dinda meraih dasi yang dilepas Benny dan merapikannya. “Saya bantu ya, Pak.” Dinda meminta izin sebelum jari-jarinya membuka kancing teratas kemeja Benny, agar bosnya itu dapat bernapas lebih lega. “Saya pesankan bubur ikan dari resto kesukaan Bapak ya?”
Senyum terulas di wajah Benny. Ketika awal menggantikan Papi sebagai pimpinan di perusahaan kontraktor ini, ada Tante Helen, sekretaris papinya dulu, yang membantu Benny. Baru dua tahun lalu, ketika Tante Helen pensiun, Dinda masuk sebagai sekretaris Benny. Dan sejak saat itu, Benny selalu dapat mengandalkan Dinda.
Tangan Benny menepuk lengan Dinda. “Terima kasih ya, Din. Saya tunggu teh jahe dan bubur ikannya.”
Dinda tersenyum manis. “Tunggu sebentar ya, Pak. Schedule hari ini apa mau ditunda saja kalau Bapak kurang sehat?”
“Hari ini saya ada meeting ya?”
Perempuan itu mengangguk. “Siang ini ada jadwal meeting dengan Pak Budi membahas proyek apartemen yang lagi on going. Setelah itu ada meeting dengan pihak real estate untuk review budgeting dan reschedule jadwal pembangunan, Pak.”
Kepala Benny bertambah berat mendengar pertemuan yang harus dia hadapi di sisa hari ini.
“Bagaimana kalau saya hubungi pihak real estate untuk tunda meetingnya, Pak? Besok jadwal Pak Benny masih kosong. Kita bisa mundurkan ke besok. Lusa juga masih bisa Tapi, mohon maaf banget, Pak, pertemuan dengan Pak Budi agak sulit ditunda lagi. Saya enggak mau buat posisi Bapak jadi sulit.”
Rasanya beban Benny sedikit terangkat mendengar sekretarisnya begitu saksama membantunya. Inisiatifnya mengaturkan jadwal membuat Benny makin yakin dia tak salah pilih sekretaris. Terlebih, Dinda cukup tahu situasi keluarga Benny, sehingga menyarankan Benny untuk tetap melanjutkan meeting dengan Pak Budi, papa mertua Benny sendiri.
Mertuanya ini salah satu pegawai kepercayaan Papi. Kejujuran dan ketelitian seorang Budi Setiono sudah teruji waktu. Benny masih ingat bagaimana Papi memuji beliau ketika pertama kali dia berkenalan dengan laki-laki itu.
“Pak Budi ini bukan cuma namanya yang sama dengan Papi, Ben, tetapi kejujuran dan ketekunannya juga. Papi sangat percaya dengan kemampuan Pak Budi.” Benny yang baru bergabung ke kantor cukup kagum melihat Pak Budi yang penampilannya sederhana tetapi terlihat begitu tenang dan bijak. “Mohon bantuan Pak Budi untuk mengajari Benny ya, Pak. Anggap saja Benny anak sendiri, jangan sungkan,” pinta Papi kepada tangan kanannya itu.
Siapa sangka, keterampilan seorang Budi Setiono itu juga diturunkan kepada putri bungsunya, Dewi, yang kini menjadi istri Benny. Saat Benny mengutarakan maksudnya mengejar Dewi, Papi langsung setuju. Budi Suryadjaja tentu tak akan menolak berbesan dengan Budi Setiono.
Menjadi mertua bos, tak membuat Budi Setiono lupa diri dan berubah watak. Performanya masih tetap sama. Kedisiplinan dan ketangkasannya membuat beliau disegani banyak pegawai di kantor, termasuk Benny.
“Iya, Din, meeting sama Pak Budi jangan diutak-atik. Biar saja. Saya masih mampu.”
Mangkraknya pembangunan perumahan yang Benny tangani dan kemacetan di beberapa proyek lain membuat perusahaan dalam keadaan sulit. Karena itu, proyek pembangunan apartemen yang sedang ditangani mertuanya itu sangat penting bagi perusahaan. Proyek itu tidak boleh gagal.
“Meeting untuk vila yang di Batam tunggu Bu Dewi pulang atau mau jalan dulu, Pak?”
Benny menghela napas panjang. “Yang itu biar Bu Dewi yang tangani langsung saja. Kita fokus di proyek perumahan ini. Semoga pembangunan bisa segera dimulai.”
Wangi parfum Dinda tercium lebih kuat seiring dengan langkah perempuan itu mengikis jarak dengan Benny. Jari-jarinya yang dimanikur rapi dan dipoles cat kuku berwarna merah menepuk lembut bahu Benny. “Saya yakin Pak Benny pasti bisa menyelesaikan proyek ini dengan baik. Pak Benny hanya sedang capek. Istirahat sebentar, Pak, supaya punya kekuatan untuk kerja lagi.”
Tangan Benny mengusap pinggang Dinda, kepalanya menengadah untuk menatap perempuan itu. “Terima kasih, Din. Entah bagaimana saya kalau tidak ada kamu yang bantu.”
Perempuan itu tersenyum manis. “Saya pesankan dulu makanan buat Bapak, sekaligus atur jadwal meetingnya ya.”
Setelah Benny mengangguk, sekretarisnya itu melangkah anggun menuju ke arah pintu. Pinggulnya berayun begitu luwes. Sebelum meninggalkan ruangan, Dinda menoleh dan mengerling pada Benny yang terus menatapnya.
Sepeninggal Dinda, kertas-kertas di hadapan Benny kembali menghantui seperti mimpi buruk yang terus datang. Beberapa tahun terakhir, perusahaan mengalami banyak kerugian dan kesulitan. Tak peduli seberapa keras Benny berusaha, dia belum bisa mengembalikan perusahaan ke puncak kejayaan seperti ketika Papi masih memimpin.
Benny sempat berpikir kesulitan ini disebabkan oleh resesi yang memang dialami oleh semua orang. Bukan cuma dirinya yang menghadapi tantangan untuk mengembangkan perusahaan. Banyak perusahaan lain yang mengalami hal yang sama.
Namun, setahun kemudian, masalah tak kunjung berakhir, keadaan tak kunjung membaik. Benny harus menelan pil pahit menyimpan harga diri dan meminta pertimbangan dari Papi. Dipercaya begitu rupa oleh Papi membuat Benny sangat malu karena tak mampu memenuhi ekspektasi sebagai penerus Suryadjaja Konstruksi.
“Enggak apa, Ben. Namanya usaha pasti ada turun-naik. Yang penting gimana kamu melihat peluang di setiap kesulitan itu. Tantangan itu kesempatan untuk belajar.”
“Benny udah buntu, Pi. Rasanya gak ada jalan.”
Di ruang tengah rumah Papi-Mami, Benny melihat Papi tersenyum optimis. “Masa kamu enggak bisa melihat ada jalan keluar yang begitu jelas di depan mata, Ben? Papi kira kamu masih menunda aja.”
Benny mengernyit. “Maksud Papi apa?”
“Dewi. Istrimu itu punya reputasi yang baik sekali sebagai seorang desainer interior. Papi sudah dengar beberapa teman Papi yang pakai jasa Dewi sangat puas dengan pekerjaannya. Kenapa kamu enggak ajak Dewi untuk gabung di perusahaan? Bikin divisi baru. Makin lengkap layanan yang bisa kita berikan, makin banyak customer yang berdatangan.”
Benny menggeleng. “Pi, Dewi sudah nyaman dengan pekerjaan sebagai desainer lepas. Benny gak mau membatasi ruang gerak Dewi.”
“Kita enggak membatasi Dewi, Ben. Justru kita sedang memfasilitasi kariernya. Jadi desainer lepas aja Dewi udah terkenal begitu, apalagi kalau dia jadi bagian dari Suryadjaja. Papi yakin, begitu Dewi masuk, ada peluang luar biasa yang terbuka buat perusahaan dan di waktu yang sama Dewi ada kesempatan untuk mengerjakan proyek yang lebih besar dan membuat dia lebih berkembang.”
Harus Benny akui, penilaian Papi tidak salah. Walau tak mudah membujuk Dewi, istrinya itu akhirnya mau bergabung dengan Suryadjaja Konstruksi dan membawahi divisi interior. Tak butuh waktu lama bagi Dewi untuk menarik banyak pelanggan. Dan walau berat, Benny harus mengakui bahwa kehadiran Dewi menyelamatkan perusahaan keluarganya.
Seharusnya Benny senang dan bangga. Tapi, entah mengapa tiap kali orang meminta Dewi secara khusus untuk menangani proyek, hati Benny seperti ditusuk. Orang tak lagi mencari Benny, penerus tunggal Suryadjaja. Banyak yang datang mencari Dewi, desainer interior yang naik daun.
Bahkan pegawainya pun tak lagi membicarakan Budi dan Benny Suryadjaja. Mereka malah terinspirasi oleh kinerja Budi Setiono dan putrinya, Dewi Anjani, menantu Suryadjaja yang berbakat. Benny merasa tak punya tempat di perusahaan keluarganya sendiri.
Dia mendorong Dewi untuk mengambil berbagai proyek penting yang membuat nama Suryadjaja makin dikenal. Namun, Dewi jadi sibuk sendiri dan tak lagi menyediakan dukungan bagi Benny yang berusaha keras menunjukkan pada Papi, Mami, dan dunia, bahwa dia mampu menjadi penerus yang mampu mengembangkan perusahaan hasil jerih lelah Papi.
Ketukan di pintu membawa Benny kembali ke kenyataan. Istrinya pergi ke Bali untuk proyek renovasi vila di sini dan dia ditinggalkan dalam keadaan kalut dan penat.
“Pak, buburnya sudah datang. Makan sekarang ya?” Dinda masuk membawa nampan. Ketika perempuan itu mendekat, Benny dapat mencium aroma bubur ikan kesukaannya dan secangkir teh jahe yang tadi dimintanya.
Dinda meletakkan nampan itu di sisi meja Benny yang kosong. Lalu dengan cekatan, dia merapikan kertas-kertas yang bertebaran di atas meja, menyediakan ruang kosong di meja tepat di hadapan Benny.
Dengan hati-hati, Dinda memindahkan mangkuk dan cangkir yang ada di atas nampan. Lalu dia menyodorkan sendok makan kepada Benny. “Makan dulu, Pak. Setelah ini minum vitamin. Kalau mau, masih ada waktu satu jam, Bapak bisa rebahan di sofa sebelum jadwal meeting dengan Pak Budi.”
Benny menyandarkan punggung ke kursi kerja lalu tersenyum pada Dinda yang begitu telaten melayaninya. Dia menerima sendok yang diulurkan Dinda kepadanya. “Kamu gak pesan makanan, Din?”
Dinda mengangguk. “Ada, Pak. Nanti saya makan setelah Bapak selesai makan.”
“Kamu rencana makan sendiri di meja kamu gitu?” Benny menarik tangan Dinda, memberi tanda agar perempuan itu mendekat.
“Iya, Pak. Masa makannya di sini?” Dinda tertawa kecil sambil terus menatap Benny.
Tangan Benny meremas lembut tangan Dinda. “Ya pasti boleh dong. Bawa sini aja makananmu, Din. Kamu temani saya makan siang.”