Dengan susah payah Dewi menelan ludahnya. Dia masih belum bisa mengartikan kalimat Melissa barusan. Apakah perempuan ini sedang menyindir dirinya? Apakah ini tanda perang terbuka di antara mereka? Apakah calon istri Ryan ini mendengar percakapan Dewi dengan laki-laki itu? Apakah dia sedang bercanda dengan Dewi? Atau apa? Dewi sungguh tak tahu harus menjawab apa.
Melissa kini menggerakkan jari telunjuknya untuk meminta Dewi untuk mendekat ke arahnya. Dia sendiri sudah lebih condong ke arah Dewi. Telapak tangan Melissa sekarang berada di sisi bibirnya, seperti hendak berbisik pada Dewi dan tidak ingin Ryan mengetahui apa yang akan dia katakan. Dengan gestur ingin bercakap secara rahasia atau mungkin berbisik, perempuan itu malah dengan lantang berkata, “Dia kan nyebelinnya pake banget.” Mata Melissa melirik ke arah Ryan. “Cuma perempuan hebat yang bisa tahan sama laki-laki kayak dia.”
Dewi tak bisa menahan tawa. Dia terbahak lepas disusul oleh Melissa yang juga tertawa lepas. Sementara itu, wajah Ryan berubah masam.
“Yang, kamu kok malah bikin sekongkol sama Dewi sih? Apa-apaan ini?”
“Uluh uluh, yang lagi jealous,” ujar Melissa sambil mencubit gemas pipi Ryan.
Dewi hanya bisa tersenyum simpul menyaksikan interaksi Ryan dan Melissa di hadapannya. Rasa khawatir dan ragu tentang reaksi Melissa bila tahu hubungannya dengan Ryan dulu mulai terkikis. Tetapi iri yang tadi sempat terusir mulai muncul ke permukaan.
Tak tahu kapan terakhir kali dia bisa bersenda gurau lepas seperti itu dengan Benny. Rasanya Dewi sudah lupa rasanya ditatap dengan penuh cinta oleh suaminya sendiri. Dewi tak ingat kapan terakhir kali dia dengan bebas bersentuhan fisik dengan Benny di muka umum. Biasanya interaksi fisik mereka tidak lebih dari Dewi yang menggandeng lengan bawah Benny, gestur sopan yang mereka tunjukkan di hadapan kolega atau kerabat di berbagai acara resmi.
Di depan mata Dewi kini, Melissa mengecup bibir Ryan beberapa kali, dengan kedua tangan yang masih ada di pipi laki-laki itu. Dewi jadi merasa salah tempat, ingin rasanya dia segera beranjak dan menjauh dari kemesraan yang dipamerkan tepat di hadapannya.
“Kayaknya aku harus mulai jaga jarak sama Dewi,” ujar Ryan tiba-tiba sambil melirik pada Dewi. “Bisa-bisa kamu diculik sama dia terus aku yang dianggurin sama kalian,” lanjut laki-laki itu.
Melissa tertawa renyah mendengar kalimat Ryan. Dia melepaskan kedua tangan yang awalnya menangkup pipi Ryan. Dan dengan tubuh yang masih berdempetan dengan calon suaminya itu, Melissa berujar ringan, “Oh ya jelas dong. Aku udah tunggu lama dikenalin sama Kak Dewi.” Perempuan itu lalu menatap Dewi dengan senyum yang begitu ramah. “Nanti kita jalan sendiri ya, Kak. Girls’ quality time gitu.”
“Dewi kok girl?” sindir Ryan yang kini menatap Dewi dengan mata yang berkilat jail.
Dewi memutar bola matanya, jengah dengan sindiran Ryan yang terus memojokkan dirinya. “Begini nih yang bikin aku males ketemu kamu, Yan.” Kini Dewi menatap Melissa. “Kayaknya bener, Mel, kita kudu pergi berdua aja. Si Kunyuk satu ini enggak usah diajak.”
Melissa mengangkat tangan mengajak Dewi melakukan tos, dan disambut dengan tepukan keras oleh Dewi. Mereka berdua tersenyum begitu lebar.
“Bener kan kataku tadi, kamu gak cocok jadi pelakor, Wi. Malahan sekarang kamu ngerebut istri aku,” kata Ryan yang mengerucutkan bibir sambil menahan tawa; sedang berpura-pura khawatir tetapi tak bisa menyembunyikan niat untuk menggoda Dewi.
Sementara Dewi memelotot, Melissa mengikik sambil berkata, “Aku jadi makin yakin kita bakal cocok, Kak.”
Sejujurnya Dewi juga memikirkan hal yang serupa. Semakin Dewi menatap perempuan di hadapannya, semakin dia yakin bahwa calon istri Ryan ini tidak hanya cantik, tetapi juga hangat dan ramah. Dia memang baru pertama bertemu dengan Melissa. Namun, ketika mereka bercakap-cakap, Dewi seperti sedang berjumpa dengan sahabat lama.
“Oh iya, Hon, kamu sudah bilang sama kak Dewi soal rumah kita?” Melissa yang baru menyuap sesendok nasi goreng petai milik Ryan tiba-tiba bertanya pada laki-laki yang ada di sampingnya.
Ryan menggeleng. “Belum. Kami baru ngobrol hal lain. Dan aku pikir, lebih enak kamu yang kontak langsung dengan Dewi. The house is all yours, Sayang. Kamu mau apain aja, aku bakal ikut.”
Melissa mengangguk. Dia kembali menyendok nasi goreng dan kali ini menyuapkannya pada Ryan. Melihat interaksi mereka, Dewi tak bisa menahan senyum. Dua insan di hadapannya ini begitu manis.
“Jadi gini, Kak Dewi, Kak Ryan ada beli rumah buat kami tinggal setelah menikah. Tapi rumahnya masih kosong. Waktu Kak Ryan cerita ketemu Kak Dewi, aku jadi kepikir mau minta Kak Dewi yang kerjakan interior rumah kami.”
Dewi yang masih mengunyah nasi dengan kuah sup iga cepat-cepat menelan makanannya. “Bukannya kalian menikah dua bulan lagi ya?” Dewi meraih gelas dan menyesap sedikit jeruk manis untuk melancarkan sumbatan yang tiba-tiba muncul di tenggorokannya.
“Gara-gara dia nih,” keluh Melissa yang memukul lengan Ryan. “Katanya sudah, sudah, tapi ternyata belum dibeli.”
“Loh, kan aku enggak salah.” Ryan membela diri. “Aku memang ngincar rumah di daerah situ, tapi enggak mau yang indent. Waktu ada yang ready stock, langsung aku kontanin dong,” pamer Ryan.
Dewi berdecak sebal. Ryan ternyata belum berubah. Dia bukan orang yang mudah percaya pada janji orang lain. Dia lebih suka melihat kenyataan daripada menunggu perwujudan janji, yang memang lebih sering meninggalkan jejak kekecewaan.
“Tapi kan jadinya kalian enggak bisa tempatin langsung, Yan. Kamu nih apa enggak bayangin istrimu juga pengen setelah menikah langsung menempati rumah baru?”
Melissa manggut-manggut mendengar kalimat Dewi pada Ryan. Dan Dewi melihat dengan jelas perempuan itu mengerling padanya. Ah, lagi-lagi mereka sepikiran.
“Masih ada 2 bulan. Apa sih yang enggak mungkin buat Ibu Dewi Suryadjaja?”
Kali ini Melissa mencubit pinggang Ryan, hingga laki-laki itu memekik kesakitan. “Kamu tuh, Hon, mana bisa kerjaan interior dikebut? Sehebat-hebatnya Kak Dewi, kasih deadline mepet tuh menyiksa ya.”
Dewi terkejut mendengar pernyataan Melissa, tak menyangka perempuan itu memahami banyak hal mengenai pengerjaan interior sebuah rumah atau bangunan. Selama ini, Dewi memang tak suka menerima proyek dengan deadline yang sangat singkat. Baginya, mengerjakan proyek interior butuh ketelitian dan ketelatenan yang tentu tak selaras dengan pengerjaan yang buru-buru demi memenuhi tenggat waktu.
Selain itu, Dewi juga berusaha menjaga kepercayaan klien. Dia tak mau mengobral janji pekerjaan cepat dan bagus, padahal dua hal itu jarang sekali bisa berjalan beriringan. Belum lagi harus mempertimbangkan banyak faktor tak terduga dan berbagai revisi dalam pengerjaannya. Karena itu, lebih baik Dewi meminta waktu yang cukup dan menjanjikan hasil yang terbaik. Bila timnya dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, tentu akan menambah penilaian klien bagi mereka.
“Bener banget, Mel. Aku bukan Wonder Woman ya, Yan. Butuh waktu untuk menangkap apa yang kalian mau dan menuangkannya di gambar. Setelah itu, juga butuh waktu untuk mewujudkannya di rumah kalian. Dan… kamu sendiri tahu, proyekku lagi banyak banget. Aku enggak bisa seenaknya geser jadwal klien.”
“Kalau gitu, berapa lama kamu bisa kerjain rumahku?” tantang Ryan pada Dewi.
Untuk sejenak, Dewi mencoba mengingat daftar proyek yang sekarang sedang dia kerjakan. Otaknya dengan cepat memilah proyek yang sedang dalam pengerjaan dan segera selesai, proyek yang masih setengah jalan, dan proyek baru yang masih dalam tahap perencanaan.
“Paling cepat ya, aku bisa mulai kerjain rancangannya bulan depan. Mungkin setelah kalian menikah, proyek baru bisa dikerjakan.”
“Selesainya, Kak?” tanya Melissa dengan mata berbinar bahagia.
“Semoga bisa selesai di first monthversary kalian.”
Melissa langsung menoleh ke arah Ryan dan berkata, “Kita ke sana sekarang?”
Laki-laki itu menjawab dengan anggukan. “Wi, lihat lokasi sekarang yuk. Nanti aku antar pulang.”
Dewi tertegun. Apa alasan yang bisa dia berikan pada Benny yang tadi berjanji menjemputnya?