SEMBILAN

1244 Kata
“Kamu lagi sama Benny, Wi?” tanya Mami yang ada di seberang sambungan telepon ini. Dewi melirik ke arah Benny yang sedang menyetir mobil. Sejujurnya, Dewi sedang tidak ingin mengangkat telepon. Dia teramat lelah setelah perjalanan di Belitung dan setelah mendarat kembali di Jakarta, Dewi hanya ingin segera pulang dan tidur di ranjangnya sendiri. Namun, apa daya, Dewi tak bisa menolak atau membiarkan panggilan telepon Mami. “Iya, Mi. Dewi baru datang dari Belitung. Ini Benny jemput di bandara.” “Oh, kalian mau mampir ke rumah dulu? Kebetulan Mami baru masak gudeg kesukaanmu, pake telur bebek.” Sekali lagi Dewi melirik dan melihat Benny yang tampak sangat lelah. Kemejanya sudah berantakan, dasinya terlipat asal dan sedikit menyembul dari saku celananya. “Makasih banget, Mi. Tapi mungkin enggak hari ini ya, Mi. Dewi mau istirahat dulu.” Mata Dewi melirik ke arah jendela samping dan menyaksikan semburat senja yang begitu menenangkan. Andai saja Dewi bisa menitipkan sedikit beban di pundaknya kepada sang surya yang hendak beristirahat. Dari seberang, suara hela napas Mami terdengar jelas. “Wi, Mami sebenarnya mau kasih kalian obat. Ini ada teman Mami yang baru datang dari Malaysia. Katanya, anak teman Mami langsung isi begitu minum obat ini.” Dewi tertegun mendengar kalimat Mami. Cepat atau lambat, dia memang akan mendengar wejangan, nasihat, bahkan permintaan Papi dan Mami perihal penerus keluarga. “Mereka sudah menikah 10 tahun dan dokter sudah bilang akan sulit untuk punya anak. Eh, ternyata jalannya lewat obat tradisional. Kalau kamu dan Benny masih belum mau pakai bantuan medis, coba ini dulu aja, Wi. Enggak ada salahnya mencoba kan?” Dewi berdeham sejenak lalu menjawab, “Iya, Mi.” Belum juga mencoba solusi yang diberikan Ryan untuk masalah relasi mereka, sekarang Dewi disodori tantangan lain dari Mami. “Mami enggak pengen membebani kamu, Wi. Tapi, bulan depan Benny sudah 32 tahun. Kamu juga sudah 30 kan? Jangan ditunda terus, Nak. Mami tahu masalah perusahaan sedang berat, tapi kalau menunggu masalah selesai, mau sampai kapan?” – Sepulang dari rumah Mas Rama, seperti biasa, Benny langsung menuju ke ruang kerjanya. Padahal ini hari Sabtu. Rasanya sukar dipercaya ada klien yang menghubungi Benny di Sabtu sore seperti ini bukan? Dewi tak mau membuat keributan lebih dulu. Dia beranjak ke taman belakang, tempat dia menjemur beberapa pakaian yang dia cuci pagi tadi. Ryan tidak main-main. Ketika tiba di rumah kemarin, Dewi melihat ada paket untuk dirinya. Untung saja Benny tidak protes ketika Dewi menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Ya, Dewi membuka paket itu di dalam kamar mandi. Sekalian mencoba beberapa lingerie yang Ryan kirim. Ada sebuah gaun tidur satin berwarna biru tua yang jatuh tepat di atas lutut Dewi. Gaun tidur ini juga dilengkapi dengan kimono dengan warna yang sama. Lalu, pakaian dalam berenda warna merah yang Ryan kirim fotonya pada Dewi. Yang terakhir, gaun tidur lain dari bahan kain tulle halus berwarna putih, lengkap dengan dalamannya. Dewi sempat menggeleng sendiri membayangkan harus mengenakan baju-baju itu. Rasanya dia benar-benar tak nyaman harus memakainya di depan Benny. Namun, anehnya, ketika dia nekat mencoba pakaian itu satu per satu dan melihat pantulan dirinya di cermin, Dewi merasa… luar biasa. Rasanya sulit bagi Dewi menggambarkan perasaannya. Pakaian itu memang sangat terbuka dibanding dengan gaya berpakaian Dewi biasanya. Tetapi, melihat dirinya sendiri, Dewi merasa ada sisi lain dari dirinya yang belum pernah dia rengkuh sepenuhnya. Pakaian itu membuatnya merasa cantik dan percaya diri. Merengkuh segala lekuk dan sudut dirinya, semua kelebihan dan kekurangannya sebagai seorang perempuan. Kini pakaian itu berbaris rapi di tiang jemuran. Tenang saja, Benny jarang sekali menginjakkan kaki di taman belakang, terlebih memeriksa baju-baju yang dijemur. Sejak pagi mereka juga sudah berangkat ke rumah Mas Rama untuk acara ulang tahun Grazie. Dewi meyakinkan dirinya bahwa Benny tidak melihat barisan pakaian “baru”-nya itu. Perlahan, Dewi melepaskan pakaian itu dari gantungan baju, satu per satu. Ketika menyentuh kembali bahan yang terasa lembut di kulitnya, Dewi mengingat pesan yang dikirimkan Ryan semalam. Yang biru bisa tuh dipakai di rumah. Jangan pakai kaus butut dan celana pendekmu yang udah lubang-lubang. Yang lain, kamu atur sendiri. Good luck, the Goddess! Jantung Dewi sudah berdebar membayangkan akan mengenakan pakaian ini di hadapan Benny. Dia membawa masuk setumpuk pakaian itu lalu merapikannya di tempat penyimpanan bajunya. Dewi memutuskan untuk mandi sebelum menyiapkan makan malam untuk Benny. Makan malam, di ruang kerja, sambil nonton. Benak Dewi mengulang hal-hal yang berkaitan dengan rencananya malam ini. Dewi tidak berharap muluk, dia hanya berharap Benny mengurangi sikap dinginnya. Paling tidak, malam ini Dewi ingin bisa bermanja pada Benny. Karena itu, dia menuruti saran Ryan untuk mengenakan gaun tidur biru tua dan kimononya. Tidak ada parfum malam ini. Dewi justru mengenakan lotion beraroma berry yang tadi diberikan kak Mita, oleh-oleh dari perjalanan mereka ke Jepang bulan lalu. Debar di d**a Dewi tidak berkurang. Tapi Dewi tidak berusaha memeranginya, dia malah menggunakan debar itu sebagai bahan bakar menyiapkan segala hal yang dia butuhkan. Untung saja kak Mita membawakan seloyang pizza dan cake stroberi yang memang disediakan untuk Dewi dan Benny. Dewi bergegas mengupas dan memotong beberapa buah kesukaan Benny. Lalu tak lupa Dewi memilih sebotol anggur putih kesukaan Benny yang memang disimpan di lemari khusus. Dewi menata semua makanan itu di troli kecil dan mendorongnya ke arah ruang kerja. Sebelum mengetuk pintu, Dewi sengaja membuka simpul tali kimono dan membiarkannya terbuka; menampakkan gaun tidur dengan tali kecil yang dia kenakan. “Ben,” panggil Dewi lembut sembari mengetuk pintu. Dia masuk dan mendorong troli itu perlahan. “Masih sibuk? Makan sebentar yuk?” “Nanti dulu, Wi. Nanggung.” Benny tidak juga menengadah atau menatap pada Dewi. Dia tetap tertunduk dan berfokus pada kertas-kertas yang berserakan di meja kerjanya. Dewi mengangguk. Dia sudah mengantisipasi respons seperti ini. Sudah beberapa waktu itu Benny selalu bersikap tak acuh kepada dirinya. Ini sudah makanan sehari-hari. Namun, Dewi sudah bertekad untuk memainkan kartu lain malam ini. “Iya, gak apa, Ben.” Segera setelah Dewi menjawab, Benny terdiam. Dewi bisa melihat tangan Benny yang memegang pulpen berhenti bergerak. Walau Benny tidak juga menengadah, Dewi tahu laki-laki itu sedang berpikir. “Kalau aku nonton di sini, kamu enggak masalah kan? Kalau kamu lapar, ambil aja makanan di sini, sudah aku siapin.” Tak menunggu Benny menjawab, Dewi mengarahkan troli ke samping sofa yang menghadap ke monitor 100 inci yang tergantung di salah satu dinding ruang kerja Benny. Awalnya, mereka membeli monitor ini dengan alasan pekerjaan. Tentu akan lebih nyaman untuk melakukan review desain pada layar yang besar. Namun, terkadang mereka menggunakan monitor itu untuk menonton film atau membiarkan monitor itu menonton mereka berdua yang bermesraan di sofa. Dewi menahan diri untuk tidak menoleh ke arah Benny. Sebelum duduk, dia sengaja membuka sebotol Sababay Moscato White Wine yang sudah dia siapkan. Perlahan Dewi menuangkan anggur putih itu ke dalam dua gelas. “Aku bawain wine kesukaanmu, Ben. Seminggu ini pasti kamu sibuk dan capek banget. Kamu bisa rileks sebentar.” Dewi menyunggingkan senyum tetapi masih tidak menoleh ke arah Benny. Setelah menaruh botol wine ke atas troli, Dewi meraih dua gelas yang setengah terisi wine beraroma buah itu dan melangkah ke arah Benny. Diulurkan satu gelas kepada Benny yang pandangannya tak lepas dari dirinya. Benny masih memandangi Dewi. Jantung Dewi makin berulah dan tangannya mulai berkeringat. Kalau Benny tidak segera mengambil gelas itu dari tangan Dewi, mungkin gelas itu akan tergelincir jatuh. Dewi berusaha mempertahankan senyumnya di hadapan Benny. “Hm?” Habis sudah kata-kata Dewi. Dia hanya bisa bergumam sembari mengulurkan gelas itu lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN