Bandara di Minggu malam masih saja sibuk. Barisan orang-orang yang segera terbang meninggalkan ibu kota seakan tak pernah habis. Kalau biasanya Dewi ditemani oleh pemandangan siang yang terik, kali ini dia tak merasa kecewa bisa melihat langit senja yang temaram sebagai latar pesawat yang bergantian datang dan pergi.
Seharusnya dia baru akan pergi ke Bali minggu depan. Namun, pagi tadi kliennya mendesak Dewi hadir di meeting dengan para vendor yang akan diadakan Senin pagi. Dewi bisa saja berangkat besok subuh, tetapi dia tak mau ambil risiko. Karena tak butuh lama bagi Dinda untuk mendapatkan tiket, sekalian saja Dewi bermalam di Bali dan memastikan diri menghadiri meeting di keesokan pagi.
Kali ini Dewi sengaja tidak duduk di kedai kopi. Dia mencari deretan kursi yang menghadap ke landasan pacu pesawat. Kaca tebal memisahkan tempatnya duduk di ruang tunggu bandara dengan area lapang yang panas dan berdebu di luar sana. Tetapi, Dewi mengizinkan pikirannya berkelana, seperti sedang menumpang pesawat yang menukik naik.
Kalau mata Dewi benar, ada rasa tak rela di raut wajah Benny ketika mendengar Dewi harus terbang ke Bali malam ini juga. Tapi, Dewi tak berani memastikan dugaannya. Buktinya Benny juga masih bersikap cuek ketika mengantarnya ke bandara. Masih tak ada pelukan. Juga tak ada ciuman.
Dewi menengadah dan menatap langit yang mulai gelap. Semburat jingga yang beberapa menit lalu menguasai kini sudah ditelan kelam. Cepat sekali berubah. Sama seperti perlakuan Benny semalam dan hari ini. Berbeda 180 derajat.
Apa semalam itu benar nyata? Atau hanya terjadi di mimpi Dewi saja?
Dewi jadi makin bingung. Apakah dia harus meneruskan rencana yang sudah dirancang oleh Ryan? Atau sebaiknya dia mundur teratur dan menanti keajaiban yang akan mengembalikan Benny seperti dulu?
“Dewi Anjani!”
“Eh!” seru Dewi kaget. Tangan kanannya menepuk dadanya sendiri. Mata Dewi langsung menatap sosok yang sudah duduk di sampingnya. “Gila kamu, Yan! Aku bisa mati muda dikagetin melulu.”
Ryan menyeringai senang melihat respons Dewi.
“Kamu nguntit aku ya? Kenapa bisa ketemu di bandara melulu sih?” Tubuh Dewi sedikit menjauhi Ryan dan matanya menatap Ryan tajam, sedangkan yang dituduh malah tertawa terbahak-bahak.
“Itu namanya jodoh, Wi. Sayang aja aku udah ditikung sebelum reuni.”
Dewi menepuk lengan Ryan keras. “Emangnya siapa yang mau sama kamu? Geer banget!”
Meringis kesakitan, Ryan mengusap lengannya yang menjadi korban pukulan maut Dewi. “Jangan KDRT gitu lah, Wi. Mentang-mentang kita gagal berumah tangga, kamu terobsesi menyiksa aku.”
Tak bisa menjawab lagi dan bingung harus berespons apa, Dewi memalingkan wajah dan menatap ke arah lain.
“Jadi, gimana? ‘Operasi Menaklukkan Om Suami 001’ sudah jalan?”
Dewi tak bisa lagi menahan tawa mendengar pertanyaan Ryan. Dia kembali menatap Ryan yang tampak juga menahan tawa.
“Cringe banget sih, Yan.”
“Ah, aku tahu. Pasti sudah kan? Gimana? Sukses jaya hajar terus pantang mundur?”
Pipi Dewi terasa panas mendengar prediksi dari Ryan. Dewi masih agak canggung membicarakan hal-hal privatnya kepada Ryan. Kalau bukan dia yang lebih dahulu meminta pertolongan pada Ryan, mungkin Dewi akan mengamuk dan memilih tidak menjawab pertanyaan Ryan.
“Ya begitulah,” jawab Dewi singkat.
“I knew it! Aku sudah tebak pasti Om suamimu enggak bisa nolak. Ya kan? Ya kan?” Alis Ryan bergerak naik-turun, tidak memberi Dewi kesempatan untuk mengelak.
Dewi berdeham kecil. Lalu sengaja menghadap ke arah luar dan kembali menatap langit. Ryan boleh saja menebak hasil akhir dari usahanya kemarin malam. Tetapi, mantan pacarnya itu tidak perlu tahu seluruh detailnya. Dewi masih ingin menyimpan kenangan privat itu di antara dirinya dan Benny saja. Tidak perlu orang lain tahu.
“Jadi pake yang mana, Wi?” tanya Ryan lagi, seolah tak akan berhenti sebelum semua pertanyaannya terjawab.
“Apaan sih, Yan? Kepo!”
“Gimana ceritanya sampe si Om bertekuk lutut di hadapan sang Dewi?” Kini badan Ryan diputar dan menghadap Dewi. Laki-laki itu memberi perhatian sepenuhnya pada Dewi yang masih tak mau menatap dirinya. “Kalo kamu malu, anggap aja kamu cerita sama angin lalu.”
Mau tak mau Dewi menoleh pada Ryan dan memberinya tatapan paling tajam. Dia ingin membuat Ryan berhenti menanyakan hal-hal seputar apa yang terjadi antara dirinya dan Benny.
“Masalahnya yang ada di sebelahku bukan angin lalu, tapi angin ribut. Berisik banget!”
Ryan tertawa terbahak-bahak lagi. “Duh, judes amat sih. Baru dikasih jatah kok malah ngegas begini? Apa lagi PMS ya, Wi?”
“Tuh kan, ada bunyi ‘wus wus wus’ keras banget di sini,” kata Dewi sambil mengibaskan tangan, seakan sedang mengusir sesuatu yang ada di udara, tepat di depan wajah Ryan.
Laki-laki itu hanya tersenyum. “Enggak usah malu gitu, Wi. Aku juga ikut senang kalau usahamu akhirnya berbuah manis.” Ryan kini melipat kedua lengannya di depan dadanya. “Aku sebenarnya yakin, kamu orang yang paling tahu apa yang disukai sama Om suamimu itu. Kamu cuma perlu lebih berani mengeksplorasi hal-hal yang bisa menghangatkan hubungan kalian lagi.”
Dewi teringat lagi pada peristiwa kemarin malam. Benny akhirnya menerima gelas berisi white wine kesukaannya. Suaminya itu bahkan menyesap anggur tanpa melepaskan pandangan dari Dewi. Ditatap dengan sangat intens membuat Dewi makin gugup dan membuatnya memutuskan untuk kembali ke sofa dan menyibukkan diri dengan makanan yang menunggu di sana.
Saking gugupnya, Dewi memilih film secara acak. Monitor di hadapannya kini menampilkan Sleepless in Seattle, sebuah film komedi romantis klasik. Mata Dewi terpaku pada monitor, dia berusaha keras untuk tidak menoleh ke arah Benny. Di pangkuan Dewi kini ada sepiring cake stroberi yang dia nikmati perlahan.
Belum lima menit film berjalan, dari sudut matanya Dewi menangkap gerakan sosok Benny dan mendaratkan tubuh di sampingnya. Laki-laki itu beberapa kali menyesap white wine di gelas yang dipegangnya.
“Mau, Ben?” tawar Dewi yang kini menyodorkan sendok berisi potongan cake stroberi ke hadapan Benny.
Benny langsung menyambut suapan Dewi dan melahap kue dengan krim lembut dan potongan stroberi segar itu. “Enak. Dari mana?” tanya Benny singkat.
“Dibawain kak Mita tadi.” Dewi menyuap cake untuk dirinya sendiri.
Untuk sesaat keduanya terdiam. Orang mungkin mengira mereka fokus pada film di hadapan pasangan suami-istri itu, sedangkan nyatanya masing-masing tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
“Tumben nonton yang sedih-sedih gini sih?” Benny berkomentar saat adegan film menampilkan seorang suami yang memutuskan membawa anaknya meninggalkan kota asal setelah istrinya meninggal karena sakit.
Dewi tak berkomentar. Bukan dia yang memilih, tetapi jarinya yang menentukan film secara acak. Sedetik kemudian, Dewi menahan diri tidak memekik saat tangan Benny melingkari bahunya dan mengusap lengannya yang tertutup kimono.
“Parfum baru, Wi? Sudah bosan sama yang lama?”
“Bukan parfum. Ini lotion, tadi dikasih kak Mita, oleh-oleh dari Jepang. Enggak suka ya, Ben?” tanya Dewi yang kini menatap pada Benny.
Bukannya menjawab, Benny kini mendekatkan wajahnya ke arah leher Dewi. “Suka.” Embusan napas Benny terasa hangat di lekuk leher Dewi. “Aku suka.” Kini sebuah kecupan ditinggalkan Benny di sana. “Banget.” Laki-laki itu mulai mencium leher hingga ke bahu Dewi setelah sedikit membuka kimono yang Dewi kenakan.
“Hayo! Bayangin apa sampe mukanya merah begitu?” Ryan tersenyum penuh makna melihat Dewi yang tidak menjawab pertanyaannya. Perempuan itu malah sepertinya membayangkan sesuatu yang sejak tadi enggan dia ceritakan kepada Ryan.
“Apaan sih, Yan? Rese banget kamu!” Dewi memukul lengan Ryan lagi.
Ryan tertawa lepas. “Aku senang kalau rencana ini berhasil buat kamu, Wi. Aku yakin si Om itu masih cinta kamu. Tapi, mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang membuat dia menjauh dari kamu. Yang pasti, ini bukan salah kamu, Wi. Jadi, kamu enggak perlu merasa bersalah.”