Praaank!
Suara pecahan kaca, dari kamar Arash, membuat sang pemilik kamar, yang tengah berada di ruang tengah, mengalihkan perhatian dari layar benda pipih di tangannya. Kedua pemuda dengan wajah serupa itu saling melempar tatap, kemudian bangkit dari posisi mereka, dan berlarian hendak masuk ke dalam kamar.
Ternyata, suara tersebut berasal dari sebuah figura foto, yang jatuh dalam posisi tertelungkup di atas lantai. Tak ada angin, bahkan tak ada getaran apapun, figura foto yang semula terpajang di atas nakas, samping tempat tidur Arash, tiba-tiba terjatuh, hingga kaca yang melindungi foto di dalamnya, pecah berserakan.
Kedua pemuda yang tengah berdiri di ambang pintu, kembali saling melempar tatap. “Rash, ada setan? Anjir, gue merinding. Lu masuk duluan! Gue di belakang lu!” titah Aresh. Pemuda tampan yang terlihat sangat ketakutan itu, tidak berani masuk ke dalam kamar terlebih dahulu, dan justru meminta sang Kakak, untuk lebih dulu masuk ke ruangan tersebut.
Pemuda tampan berkaus hitam itu pun segera berjalan masuk ke dalam kamar, berjongkok, lalu mengambil figura tersebut, yang ternyata tersemat foto Zeira dengan dirinya tengah saling merangkul satu sama lain.
Deg!
Entah kenapa, memandang wajah Zeira dalam foto itu, membuat d**a Arash tiba-tiba terasa sangat sesak. Rasa khawatir, rasa takut, rasa gelisah, begitu saja menggelayuti perasaannya. Pemuda itu kembali berdiri dari posisinya, lalu berlari keluar dari kamar untuk mengambil ponsel yang ia taruh di atas sofa ruang tengah.
Aresh yang merasa kebingungan melihat tingkah sang Kakak, ikut berjalan ke luar, lalu berdiri di hadapan pemuda, yang saat ini tengah mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya.
“Ada apa? Lu bikin gue jantungan aja!” gerutu Aresh.
Bukannya menjawab, pemuda dengan raut wajah risau itu, kembali menghubungkan panggilan yang sempat tidak mendapat jawaban itu, sekali lagi. Akan tetapi … hasilnya tetap sama, pemilik nomor yang ia hubungi tak memberikan jawaban apapun.
“Lo bisa temenin gue? Gue pake motor, lo pake mobil. Gimana?” tanya Arash, sangat gelisah.
“Ke mana? Ada apa, sih? Lu jangan bikin gue ikutan panik, dong!”
“Kita ke apartemen Zeira. Feeling gue gak enak, Resh. Di tambah, Zeira, Om Oris, bahkan Tante Rhea, gak ada yang jawab satu pun panggilan dari gue. Gue khawatir terjadi apa-apa sama Zeira,” jawab Arash.
“Kita ganti baju dulu. Lu jangan panik gini, dong. Gue, kan, jadi ikut deg-deg-an,” protes Aresh.
Arash yang nampak tak menghiraukan omelan adik kembarnya, memilih berjalan memasuki kamar, untuk berganti pakaian. Begitu juga dengan Aresh.
Setelah selesai, sebelum benar-benar pergi, Arash membereskan terlebih dahulu bekas pecahan kaca figura tersebut dengan tangan kosong, menumpuknya di atas selembar kertas tebal, bersama beberapa patahan kayu figura tersebut.
Namun tanpa sengaja, pecahan kaca yang tengah diambilnya justru melukai jari telunjuk Arash, hingga darah segar menetes di atas lantai.
“Aaah!” gumamnya, mengaduh sangat pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Aresh yang baru saja selesai berganti pakaian, dan kini berjalan menghampiri sang Kakak.
Sembari menggerutu, Aresh mengambil alih kertas tersebut, lalu menggantikan Arash, memunguti serpihan kaca tersebut dari atas lantai.
“Otak lu lagi di mana, sih, Rash? Bisa-bisanya, luka kena pecahan kaca!” omel sang Adik.
Namun, saat Arash hendak menjawab pertanyaan adiknya, suara getar ponsel dari dalam saku sweater hoodie hitam yang tengah dikenakannya, berhasil menyita perhatian pemuda tampan itu. Arash pun segera merogoh benda pipih tersebut dari dalam saku, lalu terdiam sesaat, ketika melihat nama sang penelepon yang tertera di sana.
Dengan ibu jarinya yang tiba-tiba bergetar, pemuda itu menggeser tombol hijau ke atas, kemudian menempelkan ponsel tersebut pada telinganya.
“H-Halo, Om,” sapa Arash. Ia mencoba bersikap setenang mungkin, walau hatinya sangat gelisah.
“Rash, Zezei lagi sama kamu gak?”
Mendengar nada kekhawatiran dari suara ayah Zeira, semakin menguatkan firasat buruk yang sejak tadi ia rasakan.
“Gak ada. Arash di rumah, Om. Justru, Arash tadi hubungin Om, karena Zezei gak bisa di hubungi,” sahut Arash, nada suara pemuda itu mulai terdengar sedikit bergetar.
Entah kenapa, nada helaan napas panjang, yang diperdengarkan oleh pria paruh baya di seberang telepon sana, membuat jantung Arash berpacu semakin cepat, dibarengi rasa khawatir akan kondisi sahabatnya yang sangat ia lindungi.
“Aresh juga ada di rumah?” tanya Oris lagi, nada bicara pria paruh baya itu, terdengar semakin khawatir.
Arash mengalihkan tatapannya pada Aresh, lalu tanpa sadar menganggukkan kepala. “Aresh ada di rumah. Zeira belum pulang, Om?” Akhirnya pemuda itu pun memberanikan diri, menanyakan keberadaan Zeira, setelah ia berperang batin, karena takut jika kerisauannya ternyata berbuah kabar buruk.
“Ya Allah, ke mana itu anak?” gumam Oris sangat pelan, namun lebih kepada dirinya sendiri.
“Ga ada, Ris? Duh … Zezei ke mana, sih? Udah hampir jam sepuluh malem, loh. Gak biasanya, jam segini dia masih belum sampai rumah!”
Mendengar perbincangan kedua orang tua Zeira, Arash yang sejak tadi terdiam, segera berjalan cepat ke luar kamar, mengambil kunci motor miliknya, lalu pergi meninggalkan apartemen dengan tergesa-gesa.
Aresh yang baru saja membuang pecahan kaca ke dalam kantung plastik pun, ikut bergegas mengambil kunci mobilnya, dan berlari menyusul saudara kembarnya, ke luar dari apartemen tersebut, sembari menghubungi orang tua mereka, yang sedang berada di sebuah acara pertemuan dengan para rekan bisnis Oliver Grup.
“Yah, Arash sama Aresh keluar sebentar. Pawangnya Arash, ilang!” ujar Aresh, sesaat setelah panggilan dengan Nathan terhubung.
“Ha? Siapa yang hilang? Kamu di mana sekarang?” tanya Nathan, dari seberang telepon. Pria paruh baya itu terdengar sangat terkejut.
“Zezei, Yah. Tadi Om Oris telepon Arash. Nanti Aresh jelasin, sekarang Aresh harus nyusul Arash, buat bantu cari Zezei. Dah, Ayah!”
Belum sempat sang Ayah membalas ucapannya, Aresh sudah lebih dahulu memutuskan panggilan telepon tersebut, lalu berlari menyusul Arash yang tengah berdiri di depan pintu lift, nampak tengah sibuk menghubungi seseorang.
“Ge, pulang sekolah tadi, lo lihat Zezei, gak?” tanya Arash pada salah satu temannya yang lain, yang ia hubungi beberapa detik lalu.
“Tadi sore, sih, gue lihat dia sama Bagas. Gue gak sempet susul, karena tadi, Pak Dominik minta bantuan gue buat bawain tugas anak-anak. Ada apa, Rash?” sahut Gege.
“Bagas? Di bawa ke mana sama si batang toge?” tanya Arash lagi.
“Coba lo tanya Yoga. Tadi, si Yoga papasan sama Zezei dan Bagas.”
Setelah mendengar jawaban dari teman satu kelasnya, Arash segera mamutuskan panggilan tersebut, dan mencoba menghubungi teman sekelasnya yang bernama Yoga. Bertepatan dengan itu, pintu lift yang sedari tadi ditungguinya, terbuka. Arash dan Aresh pun segera masuk, dan menekan salah satu tombol, menuju halaman parkir baseman apartemen tersebut.
Cukup lama, panggilan itu menghubungkan, hingga akhirnya … suara seorang pemuda mulai terdengar menyapa gendang telinga Arash.
“Haluha!”
“Yoga, Zeira sama Bagas, ke mana?” tanya Arash, to the point.
“Njir, to the point amat lu, Rash,” gerutu Yoga dari seberang telepon.
“Gak ada waktu buat basa-basi! Kata Gege, lo tadi papasan sama Zezei. Lo lihat, gak, ke mana mereka pergi?” tanya Arash lagi.
“Gue gak tahu, sih, tepatnya mereka pergi ke mana. Gue cuma lihat selewat, Zezei di gandeng Bagas ke belakang sekolah,” jawab Yoga, dengan yakin.
“Digandeng? Lo yakin, bukan diseret?” tanya Arash, meyakinkan.
“Hmmm … namanya cewek, kalau diseret sama mantan pasti berontak. Gue lihat, si Zezei ngikut gitu aja pas pergelangan tangannya di pegang dan ditarik sama si Bagas,” sahut Yoga.
Mendengar hal itu, Arash yang sudah mengetahui alasan, mengapa Zeira memilih diam, dan mengikuti Bagas, hanya bisa menghela napas dalam-dalam, sembari memejamkan matanya sesaat.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Arash memutuskan panggilan telepon tersebut, lalu menurunkan tangannya ke bawah secara perlahan.
“Bagas!” gumam Arash, dengan rahang terkatup rapat.
Aresh yang tengah sibuk mengabari Nerissa melalui pesan singkat, seketika menoleh, dan menatap saudara kembarnya dengan dahi berkerut. “Batang toge? Kenapa lagi dia?”
“Si Yoga lihat sendiri, Zezei di bawa Bagas ke belakang sekolah, Resh,” jawab Arash.
“Sialan, tuh anak kagak ada kapok-kapoknya. Mending kita lapor, deh, Rash, sama Om Oris dan Tante Rhea. Biar setidaknya, orang tua Zeira bisa laporin kelakuan Bagas ke kepala sekolah, dan cowok itu dapet hukuman setimpal, minimal orang tua dia ikut di panggil ke sekolah, di DO, terus bawa ke kantor polisi! Kita gak bisa sembunyiin hal sepenting ini dari orang tua Zeira, dan pihak sekolah,” sahut Aresh, memberi usulan.
Arash menganggukkan kepala. “Nanti, gue bakal coba ngomong sama Om Oris dan Tante Rhea, tanpa sepengetahuan Zeira. Lo tahu sendiri, dia udah ngewanti-wanti sama kita, untuk gak lapor ke orang tuanya, soal kekerasan yang Zeira terima dari Bagas selama ini, sampai dia terkena Agoraphobia!”
*** (Agoraphobia adalah trauma karena rasa takut atau cemas berlebihan pada tempat atau situasi yang membuat penderitanya merasa panik, malu, tidak berdaya, atau terperangkap. Umumnya, agoraphobia timbul ketika penderitanya sudah pernah mengalami satu kali serangan panik atau lebih, terlebih penderita pernah mengalami kekerasan fisik hingga otak mengontrol rasa takut).
Mengingat hal itu, Aresh seketika berdecak kesal, sembari mengepalkan kedua tangannya. “Gue yakin, sore tadi … Agoraphobia dia kambuh, pas ditarik si batang toge!”
Lagi-lagi, pemuda tampan bersweater hitam itu menghela napas dalam, lalu menganggukkan kepala. “Dan sialnya, gue gak ada di samping Zeira, saat dia ngalamin hal itu!” gumamnya, melirih.
Sedangkan di lain tempat, seorang pria paruh baya, yang tengah berjaga malam di sekitaran gedung sekolah, tengah berjalan berkeliling, dengan sebuah senter besar di tangan. Pria tua tersebut, nampak menyusuri halaman belakang, menyorotkan lampu senter ke setiap sudut gelap, termasuk ruang penyimpanan alat-alat praktikum para siswa, yang menempel dengan benteng pembatas sekolah.
Namun, tepat saat pria pruh baya itu menyorotkan lampu senter pada pintu gudang di balik benteng, penjaga tersebut merasa curiga, karena melihat pintu berkarat di bangunan itu terbuka lebar. Khawatir ada pencuri yang bersembunyi di sana, pria tua berbadan tegap itu, segera membuka pintu darurat di sisi kanannya, kemudian berlari secepat mungkin menuju tempat tersebut.
Dan tepat saat pria paruh baya itu tiba di depan pintu, lalu menyorotkan lampu senter di tangannya ke dalam, matanya seketika membelalak, saat melihat seorang siswa berambut panjang, dengan wajah dipenuhi luka, memar dan darah, tergeletak di atas lantai.
“Astagfiruloh!” ucapnya, panik.
***