Bab 10. Merasakan Kehangatan Tubuh Kakakku

1647 Kata
“Semuanya sudah siap, kan?” tanya Ani kepada Sierra yang baru saja mendapatkan kiriman baju dari butik. “Sudah, Ma. Semuanya sudah siap,” jawab Sierra. “Bagus. Kita tinggal siapkan diri untuk acara itu. Aah … semoga berjalan dengan lancar,” kata Ani. Sierra hanya mengangguk lemah. Lusa, pernikahan Sehan akan digelar di sebuah hotel dengan meriah. Semuanya sudah disiapkan oleh sang mertua hingga bagian terkecil sekalipun. Ani tidak mau acara yang sederhana. Ia mau sesuatu yang megah yang bisa diingat oleh semua tamu yang akan datang. Tak lama kemudian, Sehan masuk melalui pintu dapur yang tembus dengan garasi. Wajah pria itu tampak kuyu dan lelah. Sudah sebulan ia tak bertemu dengan Saskia dan hanya menghubunginya melalui sambungan telepon. Itu pun, Saskia jarang menerima panggilannya dengan alasan sibuk. Padahal Sehan tahu, sang adik sengaja menghindar. Bahkan berencana tidak pulang. Untunglah, sang mama berhasil membujuknya untuk tetap pulang esok hari. “Sehan, Oma sudah bilang. Ambil libur. Pernikahanmu tinggal 2 hari lagi,” kata Ani. Sehan hanya mengangguk mendengar ucapan wanita itu. Mau apa lagi, hanya pekerjaan yang bisa membuatnya lupa mengenai pernikahan ini dan sang adik. Walaupun pada akhirnya, setiap kali Sehan melamun, hanya bayangan Saskia yang muncul di kepala. “Sayang, mau mama siapkan makan malam?” tanya Sierra yang juga cemas dengan keadaan sang putra. “Masih kenyang, Ma,” sahut Sehan. Sierra membuang napasnya dengan kasar. Ia tahu Sehan terbebani dengan ini semua. Ya, ia tak menyukai Sinta. Namun, tetap harus menikah karena permintaan sang Oma. Tubuh pria itu juga tampak kurus. Sehan tak lagi rajin sarapan dan tidur terlalu malam. Semua karena memikirkan pernikahan ini. “Kamu urus Saskia besok. Jangan sampai dia berulah dan membuat Sehan berubah pikiran,” kata Ani yang kemudian berlalu. “Iya, Ma.” Sierra mengangguk lemah. Ia tahu, sejak lama Ani memang tidak menyukai Saskia. Tentu saja, karena ketika ia mengandung Ani merasa tertipu sebab ia dan Pram telah menikah siri sebelumnya. Ani meragukan kehamilan Sierra hingga hampir menuduhnya hamil dengan pria lain. Saat itu, Sierra hanya bisa diam saja. Toh, ia memang hanya bersama Pram selama itu. Bukan pria lain. Sementara itu di dalam kamarnya, Sehan membuang tubuhnya ke ranjang karena lelah. Hanya tinggal 2 hari dan ia tak bisa lari lagi. Setelah ini, semuanya akan berubah. Hanya perasaannya kepada sang adik yang akan tetap terjaga. Saat itu, tiba-tiba ponsel Sehan berdenting. Satu pesan masuk dari Sinta. Alih-alih membukanya, pria itu malah abai dan hendak menyambangi dunia mimpi. Sial, Sinta malah meneleponnya. Dan itu ia lakukan berkali-kali hingga Sehan kesal. Ia akhirnya menerima panggilan itu dengan terpaksa. “Halo, Sehan. Akhirnya kamu angkat juga. Buka chat, ya. Aku kirim foto baju pengantinku,” kata Sinta. “Kamu pikir aku peduli. Entahlah, Sin. Aku capek,” kata Sehan seraya menutup sambungan teleponnya. Sehan membuang napas kesal. Makin ke sini, ia makin sebal dengan Sinta. Segala hal ia laporkan. Semuanya ia sampaikan dengan harga dan kemewahan yang menaunginya. Sehan tidak habis pikir dengan semua polah gadis itu. Ia benci pamer berlebihan seperti itu. *** Sehan berlari ke garasi ketika mendengar mobil sopir datang. Itu adalah sang adik. Ia yang begitu ingin bertemu dengan Saskia segera menemuinya. Namun, Ani langsung mencegahnya untuk keluar dari kamar. “Nanti, kan, juga bisa ketemu, Han. Saskia akan tinggal sampai pernikahan kamu selesai,” kata Ani. “Sehan cuma mau lihat Saskia, Oma.” “Iya. Nanti saja. Sudah sana masuk ke kamarmu,” ucap Ani lagi. Sehan membuang napasnya dengan kasar. Pria itu kemudian masuk ke kamarnya dan menendang kursi hingga terlempar. Omanya benar-benar ingin memisahkan mereka. Tentu saja, Sehan paham hal itu. Namun, ia tak bisa menunggu nanti untuk bertemu dengan Saskia. Jadi, ia melompat ke balkon sang adik dan menunggunya di sana. Saskia dicegat oleh sang Oma sebelum masuk. Ani meminta gadis itu untuk tidak mengacaukan acara pernikahan sang kakak besok. “Iya, Oma.” “Jangan temui Kakakmu dulu. Tinggal saja di kamar,” ucap Ani. Saskia mengangguk lemah. Sejak hari mamanya sakit, Ani terus memintanya menjauhi Sehan. Bahkan kuliah di tempat yang jauh juga atas usul Ani. Saskia tahu, ini semua bertentangan dengan hatinya. Namun, ia melakukan semua itu demi Sehan dan sang mama. Gadis itu pun masuk ke kamarnya. Seperti biasa, ia membuka pintu balkon demi membuat udara di dalam kamarnya berganti. Saat itu, Sehan muncul dan membuat Saskia terkesiap. “Abang.” “Kia.” Sehan langsung memeluk sang adik karena rindunya sudah sangat dalam. Keduanya memejam dan menikmati momen itu karena sudah sangat lama tidak bertemu. Sampai akhirnya Sehan melepas pelukannya dan menghujani wajah Saskia dengan ciuman. “Aku kangen banget, Saskia,” bisik Sehan. Saskia pun mengangguk. Ia juga sama rindunya. Namun, ia harus menahan diri. “Abang harus balik ke kamar,” katanya. “Abang mau ngobrol banyak sama kamu,” kata Sehan. “Kita ngobrol nanti. Kia capek banget, Bang,” ucap Saskia. Sehan menatap gadis yang mulai berani berbohong padanya itu lekat. Ya, ia tahu Saskia berbohong. Namun, kenapa? Siapa yang memintanya melakukan ini? “Abang tau apa yang terjadi. Abang harap kamu tidak tersiksa karena berusaha membohongi dirimu sendiri.” Tanpa menunggu jawaban dari sang adik, Sehan keluar dari kamar itu melalui balkon seperti tadi. Sementara Saskia mulai menangis. Entahlah, rasanya ia benar-benar sakit melihat kenyataan ini. *** Hari pernikahan tiba. Semua orang bersiap, termasuk Saskia. Ia harus melihat sang kakak melangkah ke jenjang pernikahan. Namun, apakah ia sanggup? “Sayang, ayo kita berangkat,” kata Sierra. “Iya, Ma.” Saskia membuang napas kasar. Lalu, berjalan gontai menuju ke mobil. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya mereka sampai. Pram sudah di sana bersama Ani dan Sehan. Saat Saskia dan dan sang mama masuk, semuanya sudah siap dan hanya tinggal menunggu Sinta datang. Sehan menatap Saskia yang datang bersama sang mama. Pria itu tak lepas memaku pandangan pada sang adik yang berjalan mendekat. Aah … andai bisa. Ia akan langsung kabur dengan Saskia dan meninggalkan semua kegilaan ini. “Sudah siap semua, Pa?” tanya Sierra pada sang suami. “Sudah. Sebentar lagi Sinta keluar. Kita akan langsung melakukan akad,” ucap Pram. Dan benar, belum selesai Pram berucap, Sinta datang dengan gaun pengantin berwarna putih mendekat ke meja. Semua orang bersorak dan memuji kecantikannya. Namun, tidak dengan Sehan. Semuanya palsu, dan ia tahu hal itu. “Kita mulai sekarang,” ucap Pram kemudian. Sehan dan Sinta duduk bersisihan. Sinta terus menebar senyum, sedangkan Sehan tampak muram. Setelah membubuhkan tanda tangan, penghulu lantas memulai akad. Suara Sehan terdengar jelas menyebut nama Sinta hingga para saksi mengucapkan sah. Saat itu, air mata Saskia tak terbendung. Buru-buru ia pergi dari sana dan meminta sopir mengantarnya ke rumah yang disewa sang papa. Tidak. Ia tidak sanggup melihatnya. Sementara Sehan yang hendak mengejar ditahan oleh Ani yang terus mengultimatumnya. “Sialan!” Pria itu mengumpat dalam hati. Ia melirik Sinta yang terus tersenyum di sampingnya. Ia tak tahu jika rasanya akan seberat ini. Sehan masih terus bertahan sampai akhirnya resepsi selesai. Semua keluarga kembali ke rumah, sedangkan ia dan Sinta akan tinggal di hotel. Pria itu telah masuk lebih dulu dan disusul Sinta tak lama kemudian. “Akhirnya, kita udah sah jadi suami istri. Kita bebas melakukan apa pun sekarang,” kata Sinta. “Lakukan saja sendiri,” ucap Sehan ketus seraya pergi meninggalkan kamar itu. Namun, Sinta tak akan ambil pusing. Terserah apa yang dilakukan Sehan sekarang. Yang jelas, statusnya sudah menjadi suami Sinta. Sehan memilih pergi ke kelab demi menenangkan dirinya. Ia banyak minum hingga hampir tak sadarkan diri. Namun, pikirannya pergi ke mana Saskia berada. Apakah ia lebih baik ke sana saja? Sehan mengangguk lemah. Ia lantas memesan taksi dan meminta sopir mengantarnya ke alamat yang di tuju. “Ini jauh sekali, Pak. Apa Bapak yakin mau ke sana?” tanya sang sopir. “Ya, ambil semua uang ini dan antar aku ke sana secepatnya,” ucap Sehan. Melihat banyak uang yang diberikan Sehan, si sopir taksi bergegas. Ia mengendarai mobilnya menuju alamat yang dimaksud dan sampai di sana tepat tengah malam. “Ini alamatnya, Pak,” katanya. Sehan keluar usai membayar. Dengan sedikit sempoyongan, ia memasuki halaman rumah yang disewa Saskia. Lantas, menggedor pintu rumahnya dengan gusar. “Kia, buka pintunya. Ini Abang, Kia,” katanya. Saskia yang masih terjaga terkesiap. Ia tak menyangka jika Sehan akan menyusulnya ke sini. Buru-buru ia keluar dan melihat sang kakak yang tampak begitu kacau. “Abang kenapa ke sini? Ini malam pengantin Abang,” kata Saskia. Sehan tak langsung menjawab. Gegas ia masuk dan memeluk sang adik dengan erat. “Aku enggak mau sama Sinta, Kia. Aku maunya kamu,” ucap Sehan kemudian. Saskia tahu sang kakak sedang mabuk saat ini. Jadi, pikirannya belum waras. Gadis itu lantas menutup pintu dan membawa Sehan untuk beristirahat di kamar. “Abang mabuk. Saskia akan telepon sopir untuk menjemput Bang Sehan,” kata gadis itu. Namun, Sehan langsung menarik lengan Saskia dan mengungkungnya di ranjang. Keduanya saling tatap hingga pria itu membuka suara. “Aku mencintaimu, Kia. Jangan minta aku pergi,” bisik Sehan. Saskia akhirnya melunak. Ia pikir sang kakak memang hanya butuh tempat beristirahat. Namun, setelah itu Sehan tak lagi bisa menahan diri. Pria itu mendaratkan kecupan di bibir sang adik dengan lembut. Saskia tentu saja terbawa perasaan. Terlebih, sang kakak begitu piawai membuatnya kepayang. Sehan tak berhenti. Ia mau memiliki Saskia sepenuhnya. Jadi, tangannya yang bebas memilih membuka satu per satu kancing piyamanya sembari terus mencium bibir Saskia. Saat sentuhan pertamanya pada d**a gadis itu, Saskia melenguh. Ia membuka mata dan menyadari jika sang kakak telah berhasil membuatnya terangsang. Keduanya saling tatap ketika Sehan melepas ciumannya. Lantas, membuka suara. “Aku menginginkanmu, Kia. Aku mau kamu seutuhnya,” kata pria itu. Sehan kembali menyusup ke leher sang adik demi membuat dahaga kerinduannya lesap. Saskia pun tak bisa menahan diri. Ini terlalu nikmat untuk dilewatkan. Hingga ia tanpa sadar mendesah. “Bang Sehan …,” bisiknya ketika Sehan makin menggila di dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN